Berada di tengah suasana perang adalah hal yang tidak akan terlupakan oleh narasumber wawancara khusus kali ini, Adek Berry. Fotografer perempuan ini merasakan ketegangan itu saat ia memotret perang di Afganistan. Kala itu, Adek mendapat penugasan dari kantor tempatnya bekerja, Agence France-Presse (AFP). Bukan hanya sekali, Adek bercerita bahkan tiga kali ia berkesempatan meliput bersama warga dan tentara di sana. Selain Afganistan, ia juga pernah mengambil gambar saat konflik Timor-Timor dan masa reformasi. Jejak karirnya itulah membuat wanita kelahiran 14 September 1971 ini dijuluki “fotografer spesialis perang”.
Bagaimana perjalanan karir Adek Berry menjadi seorang fotografer dan awal mula kecintaannya pada fotografi? Lalu, bagaimana pengalamannya saat mengambil gambar di daerah konflik? Berikut kutipan wawancara reporter identitas, Nurmala bersama Adek usai menjadi pembicara di acara Communication Fair 2018 oleh Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) Unhas di Aula Prof Mattulada, Selasa (6/3).
Bagaimana awal mula anda menyukai fotografi yang notabene menjadi profesi seorang laki-laki?
Saya serius menekuni fotografi dari tahun 1992 sampai sekarang. Tapi saya senang memotret sejak masih duduk di bangku SMP. Saat itu, saya masih memakai kamera saku atau pocket camera. Kemudian, menjadi seorang fotografer profesional saat bergabung di majalah Tajuk. Dan, pertama kali ke luar negeri, Bangkok Thailand pada tahun 2003 untuk memotret kegiatan APEC Internasional Meeting Leadership.
Memotret itu menyenangkan, saya merasa menemukan jati diri. Gambar mampu menjadi sejarah yang mencatat dateline, dan timeline.
Bagaimana awalnya anda dijuluki sebagai fotografer spesialis perang?
Sebagai jurnalis foto, kita memotret semua sisi kehidupan manusia. Dari segi politik, ekonomi, dan hukum. Tapi, mungkin orang lebih mengenal saya hanya memotret di daerah konflik dan disaster. Hal ini dikarenakan, saya pernah memotret saat Indonesia sedang berada dalam masa reformasi.
Selain itu, saya ditugaskan mengambil gambar di Afganistan. Mungkin jarang orang berangkat ke sana, sehingga yang orang tahu saya sebagai spesialis konflik. Sebenarnya tidak, karena saya memotret semuanya, baik itu sport, fashion style atau lainnya. Sebagai jurnalis foto itu sudah menjadi tugas saya.
Apa yang membuat anda berani untuk mengambil penugasan di daerah konflik?
Sebagai jurnalis fotografer, itu sudah menjadi fungsi dan tugas saya. Itu merupakan pilihan saya. Saya senang memotret, dan turun di lapangan. Jurnalis memasuki semua sisi kehidupan masyarakat, baik yang menyenangkan maupun sisi gelap, yang nyaman maupun medan sulit, tidak terkecuali meliput di wilayah konflik. Lalu, saya memiliki latar belakang organisasi pecinta alam, sehingga berada di kondisi sulit adalah hal biasa dan kita tetap senang.
Apa kendala yang anda hadapi saat memotret di daerah konflik?
Kesulitan itu banyak sekali, kita tidak tahu kondisi di lapangan. Mungkin berbahaya, dan tentu juga kondisi di sana tidak bersahabat, sehingga kita harus memahami budaya setempat, karena memang beda negara. Kondisi tersebut jelas mengancam.
Kondisi meliput di lapangan memang tidak mudah. Apalagi liputan bencana dan konflik. Terkadang, fotografer dapat mengejar momen di lokasi dengan mulus, meliput dengan lancar dan menyajikan berita fotonya dengan cepat. Namun, banyak faktor yang sering menjadi kendala, seperti transportasi, kondisi fotografer, dan jaringan untuk menghantarkan berita foto.
Bagaimana pandangan anda terkait fotografer perempuan di Indonesia?
Menurut saya bagus. Tapi sayangnya, banyak fotografer perempuan setelah menikah mengundurkan diri. Atau ketika mereka memiliki anak, mereka berhenti memotret. Saya melalui semua tahap itu, yakni hamil, melahirkan, punya buah hati, dan sekarang anakku sudah besar, dan saya masih di dunia fotografer.
Apa ada tips dan trik buat mahasiswa yang suka fotografi?
Mumpung masih muda, belajar dan investasi. Investasi yang saya maksud yakni investasi ilmu, investasi teman, investasi bahasa, investasi gambar, dan investasi praktik-praktik pun harus dilakukan. Investasi itu artinya menabung, dan dilakukan dengan belajar.
Misalnya ikut seminar atau bertemu dengan orang penting serta rajin melakukan praktik. Kalau jadi fotografer, jangan malah kameranya disimpan atau malas melakukan praktik. Tapi juga harus selalu hunting, dapat gambar bagus, belajar cara editing dan itu adalah cara untuk menghasilkan karya yang bagus. Tidak ada yang instan atau tiba-tiba menjadi bagus. Jangan Menunda-nunda waktu untuk praktik, lakukanlah mulai dari sekarang.