Niany, seorang aktivis mahasiswa yang berparas cantik juga sederhana. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan dengan membaca buku. Setiap minggu, ia mampu menghabiskan tiga sampai empat buah buku. Selain membaca buku, ia juga tak pernah absen dalam diskusi kemahasiswaan.
Setelah berdiskusi, Niany biasanya duduk di bawah pohon sembari menuliskan hasil diskusinya dalam buku catatannya. Suatu waktu, saya menghampirinya. Dia langsung menghentikan aktifitas menulisnya. Saya duduk di sebelahnya sambil memperhatikan mahasiswi lainnya berlalu lalang.
Saya dan Niany mulai bercengkrama membicarakan tentang diskusi dan konsolidasi mahasiswa. Saya memulainya dengan sebuah pertanyaan, “Gerakan mahasiswa hari ini gimana yah ?”. Niany pun menjawab “yah gitu-gitu aja,” jawabnya dengan raut wajah yang agak cemberut. “Kenapa kamu jawab pertanyaanku dengan ekspresi muka yang kayak gitu ?” tanyaku.
Niany pun menjawab pertanyaan saya, katanya gerakan mahasiswa hari ini sudah mulai mati suri dan tidak memiliki arah. Mahasiswa hari ini nalar kritisnya sudah dibungkam atau keberaniannya dalam berjuang sudah mulai menciut, contoh tersebut dapat dilihat dari absennya interupsi mahasiswa, mulai kasus papa minta saham sampai papa tabrak tiang.
“Apa yang sebabkan mahasiswa kehilangan nalar kritisnya?” Tanyaku lagi. Ada beberapa hal yang mempengaruhi, mulai dari minimnya aktifitas diskusi, paling proses diskusi dijadikan sebagai ajang pamer intelektualitas (baca : catatan najwa), bukan lagi untuk mendapatkan atau menambah pengetahuan. Perlu diketahui bahwa proses diskusi adalah roh dari gerakan mahasiswa. Suatu gerakan dimulai dari keresahan yang lahir dari diskusi-diskusi mahasiswa. Jadi, ketika aktifitas diskusi sudah langka dijumpai di kalangan mahasiswa, maka gerakan mahasiswa akan mati.
Selain diskusi, proses konsolidasi pun jarang dijumpai, baik konsolidasi internal maupun konsolidasi beberapa organisasi kemahasiswaan. Jangankan konsolidasi untuk melibatkan beberapa organisasi kemahasiswaan, konsolidasi internal di tataran kepengurusan suatu organisasi pun sudah jarang ditemui. Paling hanya beberapa organisasi saja yang masih mempertahankan budaya konsolidasi.
Pengurus organisasi harusnya menjadi inisiator dalam proses konsolidasi sendiri. Sayangnya, dia malah absen dengan berbagai alasan. Ada yang dilarang orang tua, tugas final atau kesibukan pribadi lainnya.
Menurut Niany, alasan tersebut seharusnya tak boleh dicampuradukkan dengan aktifitas organisasi. Alasannya, organisasi berbicara tentang kemaslahatan bersama. Seluruh anggota organisasi memiliki tanggung jawab.
Konsolidasi antar organisasi kemahasiswaan pun kini mulai berjalan sendiri-sendiri. padahal, kita tahu bahwa walaupun identitas organisasi berbeda-beda, pada hakikatnya memilik visi yang sama. Tapi, justru inilah yang seolah menjadi batas teritorial, sehingga proses konsolidasi sesama organisasi kemahasiswaan gengsi untuk dilakukan.
Hal inilah yang dikritik oleh Niany. Saat ini, organisasi kemahasiswaan cenderung asik dengan kelompoknya masing-masing, sehingga proses konsolidasi antara organisasi mahasiswa jarang lagi dijumpai. Tak heran, jika mahasiswa dari kampus lain datang ke kampus kita untuk membentuk kelompok gerakan yang mengatasnamakan aliansi mahasiswa.
Intinya, masalah gerakan mahasiswa berasal dari aktifitas mahasiswanya sendiri. Padahal, gerakan mahasiswa mengandung ideologi atau sesuatu yang dianggap benar. Semua itu datang dari proses diskusi atau konsolidasi.
Kita sama-sama merindukan kejayaan, masa di mana mahasiswa mampu menggerakkan seluruh massa organisasinya, meneriakkan kebenaran. Masa di mana organisasi kemahasiswaan melebur jadi satu. Masa dimana mahasiswa menggagalkan kebijakan yang kontra rakyat. Masa ketika tulisan-tulisan di media penuh akan kritik dan gagasan mahasiswa.
Mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan seharusnya kembali menggiatkan atau diskusi sebagai suatu kebutuhan. Sedekedar aktif kuliah hanya sampai pada ruang kelas. Namun, diskusi bisa diaplikasikan di mana saja anda berpijak dan berjuang. Diskusi melahirkan gagasan, kritik dan keresahan atas fenomena sosial.
Untuk bergerak dan berjuang, mulailah dengan konsolidasi di organisasi kemahasiswaan. Jangan lupa beranjak mencari kawan yang punya keresahan yang sama.
Sebelum saya dan Niany berpisah, Niany menitipkan pesan untuk saya dan gerakan mahasiswa “Punna sitangnga-tangnga ko, assulu’ko. Punna tojeng-tojengko, ewako!” . Ketika niat kamu hanya setengah dalam berjuang sebagai seorang mahasiswa, lebih baik mundur saja. Kalau kau benar-benar serius dalam perjuangan mahasiswa maka lawan lah!.
Muhammad Hidayat Djabbari
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi
Angkatan 2013