“Arbeit macht frei– kerja membuatmu bebas”
Demikianlah slogan yang tertulis di pintu gerbang kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz, Polandia. Sebuah seruan moral yang terinspirasi dari novel Jerman karya Lorenz Deifenbach, yang kemudian digunakan oleh elit Nazi untuk mempropagandakan semangat para tahanan Yahudi, agar mau berkerja (paksa) sebagai cerminan kebebasan. Lantas bagaimana sesungguhnya kerja yang membebaskan itu ? Apakah seorang buruh dapat mewujudkannya ?
Secara konseptual, buruh adalah orang yang bekerja untuk majikan dan mendapat upah dari kerjanya. Maka dalam konteks masyarakat modern hari ini, yang cukup sarat oleh spesialisasi pekerjaan dan beragamnya peristilahan yang disematkan, tidaklah mengaburkan secara subtansial untuk mengelompok mereka ke dalam kelas buruh. Mulai dari tukang sapu jalanan, karyawan perhotelan, pegawai perbankan, hingga arsitek pembangunan, semuanya adalah buruh dalam levelnya masing – masing.
Dalam perkembangannya, ada dua tipikal buruh/pekerja yakni orang yang bekerja sebagai upaya bertahan hidup (work as a job) dan orang yang bekerja sebagai panggilan hidup (workas a calling). Pada tipe yang pertama, mereka hanya berorientasi bagaimana cara menghasilkan upah demi memenuhi hajat hidup. Sementara tipe yang kedua, selain memikirkan cara memperoleh upah juga memikirkan apa makna dari pekerjaan yang sedang ia jalani. Proses pemaknaan ini sifatnya immaterial dan output yang dihasilkan dapat berupa kepuasan, kebahagiaan atau justru sebaliknya kesengsaraan.
Terang, kesuksesan pekerjaan seseorang semestinya tidak melulu dinilai dari seberapa banyak upah yang ia peroleh, tetapi seberapa bahagia jiwanya. Bukankah di balik ketekunan dan komitmen orang Jepang dalam bekerja terdapat indeks bunuh diri yang cukup tinggi disebabkan oleh rutinitas kerja yang menjenuhkan sarat tuntutan ? Oleh sebab itu, kerja bukan hanya tentang upah yang melimpah, tetapi mesti ditopang oleh jiwa yang merdeka.
Kerja dan Proses Pemaknaanya
Menurut Frans Magnis Suseno (2009) bahwa refleksi filosofi tentang kerja dapat ditemukan sejak 2400 tahun yang lalu. Pada masa itu, Hesiodotus menulis sebuah puisi tentang kerja yang berjudul work and days (versi inggris). Di dalamya, ia merefleksikan bahwa kerja adalah hakikat dari kehidupan manusia. Bergeser ke masa teologi Romawi, abad pertengahan, para Rahib Benedictus merefleksikan kerja sebagai sesuatu yang suci dan bentuk pengabdian. Selain sembahyang, mereka juga bekerja di ladang dan sawah secara bergantian. Begitupun dengan filosofi kerja dalam hikmah Islam yang dimaknai sebagai aktivitas ibadah, sehingga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendulang pahala di sisi Tuhan.
Namun memasuki abad modern, pemaknaan kerja menjadi bergeser. Kerja hanya dimaknai sebagai aktivitas mengumpulkan materi (uang), sebab paradigma kerja yang ditanamkan adalah paradigma ala Benjamin Franklin yakni “time is money”. Kemudian jamak pekerja memaknai pekerjaannya tak lebih dari sekadar rutinitas yang menjenuhkan. Mereka bak mesin yang dipaksa terus bekerja dari senin hingga jumat dengan menyisihkan waktu selama 8 – 9 jam sehari, demi memenuhi tuntutan produksi. Tentunya pihak yang paling menghayati kondisi ini adalah level kelas buruh kasar atau tak terdidik (uneducated labour).
Akibat dari pola kerja yang kaku seperti itu, para buruh hanya bisa mengharapkan waktu akhir pekan untuk menyegarkan kembali (refreshing) otak dan ototnya. Sehingga waktu akhir pecan hanyalah semacam kompensasi bagi para buruh karena mereka dapat menggunakannya untuk berlibur dan menghibur diri. Maka lahirlah kebiasaan liburan akhir pekan dan terlembagakan di tengah masyarakat modern perkotaan.
Mengenai kebiasaan berlibur akhir pekan, Herbert Marcuse (Filsuf Mazhab Frankfurt) menyinggungnya sebagai “masturbasi budaya”. Menurutnya, berlibur akhir pekan merupakan konsekuensi dari kenikmatan yang ditunda – tunda ketika pekerja tak lagi berkuasa atas waktunya karena harus bekerja sesuai SOP (Standard of Procedure) para pemilik kapital. Lantas, jika sudah seperti ini potret umum para pekerja yang tak memiliki kuasa penuh atas dirinya, maka slogan “kerja membuatmu bebas” hanyalah tinggal kata.
Mewujudkan Kerja Yang Membebaskan
Buya Hamka pernah berpesan bahwa “Jika hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup.Jika kerja sekedar kerja, kera juga bekerja”. Terang, dari petuah ini kita dapat memetik hikmah bahwa sejatinya pekerjaan yang dilakukan sepatutnya dapat dimaknai dan dihayati sebagai proses meraih hakikat kehidupan. Sebab yang membedakan kerja manusia dengan kerja mesin adalah kemampuan manusia menghadirkan kesadaran (jiwa) dalam melakukan sesuatu.
Oleh karena itu, Marcuse membedakan antara istilah “buruh” dan “pekerja”. Buruh adalah orang yang bekerja dengan menindas jiwanya, kerja hanya semacam bentuk keterpaksaan dan penindasan. Sebaliknya, pekerja adalah orang yang bekerja dengan mengikutsertakan jiwanya, kerja dihayati sebagai sumber kebahagiaan dan kebebasan.Tak berlebihan jika Marx mengatakan bahwa jika kau merasa menderita dalam kerjamu, maka sebenarnya kau berkerja bukan untuk dirimu, tetapi untuk orang lain (bosmu).
Tetapi kesemuanya itu hanyalah omong kosong belaka apabila sistem juga belum mendukung. Jika standar upah belum mensejahterakan, durasi kerja masih mengekang, serta iklim kerja tak memberdayakan, maka sulit untuk mewujudkan kerja yang membebaskan itu. Mari menengok Google sebagai contoh perusahaan dengan indeks pekerja paling bahagia di dunia. Upah memuaskan, durasi kerja tak mengekang, serta iklim perusahaan yang memanjakan adalah beberapa variabel yang masih sulit diterapkan di Indonesia.
Penulis : Achmad faizal
Mahasiswa Departemen Sosiologi Unhas
Angkatan 2013