Jangan kira hidup di negara industri modern seperti Jepang, semuanya serba mengenakkan. Hal itu diakui Dr Ir Muh Iqbal Djawad, MSc, PhD, dosen Budi Daya Perairan (BDP) pada Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan (FKIP) Universitas Hasanuddin (Unhas).
“Selama empat tahun atau terhitung 4 Mei 2012 lalu, saya bertugas sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud), di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo Jepang. Hal yang berat saya alami, di sana suhunya -20o C, membuat kita harus bertarung dengan cuaca. Belum lagi harus berhadapan dengan orang Jepang, kita harus mengetahui budayanya,” ungkap Iqbal saat dikonfirmasi di ruangannya, Jumat (27/10) lalu.
Pria kelahiran Ujungpandang, 18 Maret 1967 ini menjelaskan, di Jepang, dirinya harus mengurusi lebih dari 300 ribu pelajar asal Indonesia yang sementara mengenyam pendidikan lanjutan di negeri yang terkenal dengan bunga sakuranya itu. Selain itu, dia juga harus memperkenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat negara Matahari Terbit itu.
Lantas, mengapa bisa menjadi Atdikbud di Jepang? Suami Meta Sekar Puji Astuti MA, PhD ini menceritakan, ketika Prof Dr Idrus A Paturusi masih sebagai Rektor Unhas, dirinya direkomendasikan untuk mendaftar Atdikbud. Tahap demi tahap dilaluinya, mulai dari persyaratan berkas yang harus dilolosi hingga tahap presentasi.
Ada tujuh orang yang mewawancarainya, termasuk dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI).
“Dari 69 orang peserta, kami sembilan orang bisa maju ke tahap selanjutnya. Presentasi adalah tahap terakhir yang harus saya lalui agar dapat menyandang gelar Atdikbud. Dalam tahap ini ada satu orang penguji yang datang dari Jepang dan menguji setiap peserta dengan menggunakan bahasa Jepang, tapi itu bukanlah hal yang sulit, karena saya alumni Hiroshima University,” ungkapnya.
Sebagai Atase di Tokyo, dia melakukan dua hal yaitu diplomasi pendidikan dan inteljen pendidikan. Diplomasi pendidikan merupakan peningkatan jumlah mahasiswa Indonesia yang akan belajar ke Jepang dengan melakukan kerjasama bagi para pemberi beasiswa, sebaliknya juga melakukan upaya menarik mahasiswa Jepang untuk belajar di Indonesia. “Sebagai inteljen saya melakukan “mata-mata” dalam hal yang baik di pendidikan dasar, menengah, dan tinggi,” ujarnya.
Menurutnya, mahasiswa dari Indonesia yang kuliah di Jepang memiliki potensi yang besar untuk bersaing. “Saya melihat mahasiswa kita sekitar 3.900 orang memiliki peluang besar karena jago-jago semua. Mereka tidak bertarung dengan hoax, maupun bertarung pencitraan, melainkan bertarung dengan prestasi,” bebernya.
Setelah kembali dari Jepang, Iqbal Djawad merasa tidaklah sulit mengembang tugas yang diberikan Rektor Unhas sebagai Direktur Kemitraan. “Saya memperhatikan dan belajar banyak terhadap budaya disiplin Jepang. Makanya, tugas baru sebagai Direktur Kemitraan, sesulit apapun akan saya laksanakan dengan baik, karena tugas sebelumnya sebagai Atdikbud, cukup mendukung,” kuncinya.