Sering kali saya dan teman-teman bercerita tentang sebuah keinginan yang ingin diwujudkan, punya handphone baru, baju baru, buku baru, atau laptop baru. Tapi kami sering melewatkan satu hal penting.
Pernah suatu hari saya duduk melamun di kelas menunggu dosen datang. Lalu teman menegur, “Kenapa mukamu begitu, we?” . Saya lalu membalsnya “Maksudmu? Begini ji muka ku. Saya tau ji kau lebih ganteng dari saya,” kataku kesal.
Ia lalu menyangkal pertkataanku“Bukan, bukan itu maksudku. Kalau muka mu itu pas-pasan memang sudah fakta dari dulu bro. saya sebenarnya mau bilang, mukamu jelek sekali ternyata kalau lagi stres, Faqih.”
Saya pikir, apa yang dikatakan temanku itu ada benarnya juga. Wajahku memang pas-pasan, tapi yang yang membuat saya tersentak bangkit dari lamunan ialah perkataannya kalau saya lagi stres.
Menjadi mahasiswa membuat saya lebih sibuk dari masa SMA. Walau pun jam masuk kuliah lebih fleksibel dari masa putih abu-abu, tapi tugasnya ma’ syetan, lebih sulit sekaligus menantang dibanding masa SMA dulu. Banyak kegiatan kampus dan aktivitas lain yang membuat saya belajar untuk memanajemen waktu. Positif? Tentu. Negatif? Iya juga, kalau kita lupa akan sesuatu yang begitu dekat dengan kita. Setelah jam kuliah selesai, saya nongkrong, minum kopi sembari main game bersama, hingga lupa waktu.
“Bro, sudah waktunya nih!” ajak temanku Rizky yang sudah siap menuju musala.
“Sebentar, masih lama ji ikamah. Penting sekali ini,” kataku
“Lebih penting main game maksudmu daripada sholat?”
“Ah…. Kalah ma. Kau duluan mi sholat sana, nanti saya nyusul,” kataku dengan suara lantang.
“Assalamualaikum.” Rizky lalu pamit pergi sendirian meninggalkanku yang masih asyik bermain game.
Beberapa menit kemudian, muazin mengumandangkan ikamah, pertanda bahwa sholat akan segera dilaksanakan. Saya mendengarnya dengan jelas, tapi saya melewatkannya dan berambisi menyelesaikan game terlebih dahulu baru ke musalah.
Setelah sholat saya balik ke tempat tongkrongan. Di sana, Witama sudah menungguku.
“Bagaimana tugas desain mobil?”
“Hehehe… belum, Ta. Masih baru merencanakan modelnya.”
“Ah, kau dari kemarin begitu terus alasanmu. Bilang saja tidak bisa kalau memang kau tidak bisa kerja,” katanya dengan suara lantang.
Witama tampak marah dengan meninju meja di depanku. Itu adalah teguran kedua, artinya saya akan dikeluarkan dari tim riset mobil. Saya mengumpat dalam hati, semoga saja dia kecelakaan.
“Kenapa akhi? tanya Rizky yang datang menghampiri.
“Wita, dia marah lagi.” jawabku
“Wita marah karena apa,?” Rizky kembali bertanya
“Maksudmu?” saya malah bertanya balik
“Pulanglah dulu ke kos, tenangkan dirimu. Istighfar akhi.”
Saya lalu pulang ke kos. Saya istirahat sembari memikirkan masalah-masalah yang belum selesai kuhadapi. Saya menatapi layar handphone. Tiba-tiba teringat dengan pesan teman yang kuanggap saudara. “Coba introspeksi diri. Ingat kembali siapa dirimu dan kepada siapa kamu kembali,” kata-kata itu berseliweran dalam otakku
“Lebih penting main game maksudmu daripada sholat?” Kalimat kedua ini mengiang-ngiang di kepalaku. Kini saya akhirnya sadar kalau ternyata saya yang menjauh, bukan Allah. Mungkin, Allah memberiku banyak kesibukan yang tidak produktif. Mungkin Allah menangguhkan doa-doa yang kupanjatkan selama ini karena Dia ingin menegurku terlebih dahulu melalui cara ini. Saya sering kali meminta doaku untuk segera dikabulkan, tapi saya malah malas-malasan dan menunda-nunda ketika Allah memanggilku sholat.
Saya segera bangun, mengambil sticky note dan menulis. “Berdoalah kepada yang memberimu kehidupan, Allah adalah sumber dan solusimu untuk dunia dan akhirat.”
Saya tulis dengan jelas, kemudian menempelkannya pada dinding. Sticky notes yang akan selalu mengingatkanku untuk selalu berdoa kepada sumber solusi. Tak terasa hujan di luar sana mulai reda. Tulisan ini pun akhirnya tuntas. Bersamaan dengan itu, perasaanku akhirnya lega. Ada senyum yang mengembang di bibir. Ada sesuatu yang selesai.
Fuad Al Arifsyah
Penulis adalah Mahasiswa Teknik Mesin
Fakultas Teknik Unhas