keterbatasan membuat orang kreatif, membuat orang terpecut untuk melakukan apapun. Keterbatasan tak ubahnya situasi yang dibuat tuhan untuk membuat seseorang lebih berjuang, agar apa yang diperjuangkannya bisa lebih berkesan- Hanum Salsabiela Rais, penulis buku Bulan Terbelah di Langit Amerika.
Apa yang dikatakan Hanum dalam bukunya itu ada benarnya, jika disandingkan dengan kisah penulis Fajlurrahman Jurdi, dosen Fakultas Hukum yang kini telah banyak melahirkan karya dari keterbatasan. Marilah kita membaca kisah singkat dari sosok jejak langkah identitas kali ini.
Sejak masih kuliah, Fajlu (sapaan akrabnya) sudah menerbitkan delapan buah buku. Buku pertamanya diterbitkan saat masih semester 2 pada tahun 2004. Kemudian di semester 6 lahir lagi tiga buah bukunya pada tahun 2007, selanjutnya empat buah buku lahir di semester delapan pada tahun 2008.
Menerbitkan delapan buah buku bukanlah hal yang mudah baginya. Saat itu, ia masih belum memiliki komputer untuk menulis, namun keterbatasan tersebut tidaklah dijadikannya alasan untuk tak menulis. Dengan meminjam laptop milik teman, ia mengumpulkan tulisannya hingga menjadi buku. Awalnya ia menuangkan tulisannya ke dalam sebuah kertas, lalu menyalinnya ke komputer teman. Terkadang ia harus menunggu sampai larut malam demi menyalin tulisannya ke dalam bentuk file.
“Dulu, saya menulis tangan terlebih dahulu, kemudian malamnya saya salin ke komputer teman. Kalau teman pakai komputernya untuk mengetik, saya tunggu sampai selesai, makanya saya pulang ke kos biasanya jam setengah tiga atau jam empat subuh,” kenangnya.
Beberapa judul buku dari 15 buah buku yang ditulisnya antara lain Membalut Luka Demokrasi dan Islam, Aib Politik Muhammadiyah, Predator-Predator Pasca Orde Baru, Hukum Dibawah Tekanan Oligarki, Pengantar Hukum Tata Negara, dan masih banyak lagi.
Banyak suka duka yang dilaluinya dalam menulis buku. Selain harus meminjam komputer temannya, Fajlu juga pernah kecurian laptop yang dipinjamkan pihak Fakultas Hukum kepadanya.
Selain itu, Ia juga pernah menulis sebanyak 220 halaman dengan maksud untuk menerbitkannya menjadi sebuah buku, namun saat hampir selesai, hard disk pada komputer yang dipinjamnya itu rusak. Ia harus menelan pil pahit menghadapi rintangan dalam menerbitkan buku. “Dari situ, saya akhirnya dendam. Sakit hati saya ketika naskah saya harus hilang,” katanya.
Lelaki kelahiran Bima 13 juli 1984 ini memang senang membaca dan menulis sejak masih mahasiswa. Jika tak melakukan kedua aktivitas tersebut, ia merasa ada yang hilang dalam melewati harinya. Namun hobi menulis tersebut tidaklah disalurkannya dengan mengikuti lomba menulis, karena baginya lomba menulis mengharuskan seseorang terikat dengan prosedur.
“Menulis adalah sesuatu yang inheren dalam diri saya. Saya tidak pernah mau ikut lomba menulis, karena saya tidak mau terikat pada prosedur,” Ujar dosen muda itu.
Menerbitkan buku tentu harus dibarengi dengan wawasan dan bacaan yang memadai. Hal ini disadari betul oleh laki-laki yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Republik Institute. Sejak masih kuliah, ia menghabiskan banyak waktunya dengan membaca. Sedangkan di hari libur, ia biasa menulis dari pagi hingga malam.
“Dulu saya target membaca 12-13 jam perhari, sedangkan menulis terkadang 15 jam perhari. Untuk itu, saya harus menghabiskan 10-12 buku untuk dibaca perharinya,” ujar anak ke lima dari sebelas bersaudara ini
Selain itu laki-laki yang pernah menjadi Tenaga Ahli DPR RI periode 2009-2014 ini juga mengaku pernah menjual telepon genggamnya demi membeli buku saat di kota Yogyakarta. Saat itu, ia ingin sekali memiliki buku yang telah lama diidam-idamkannya, namun uangnya tidak cukup, sehingga tak ada jalan lain baginya selain menjual telponnya itu.
Selain menulis buku, Fajlu juga banyak melakukan riset ilmiah, serta menulis artikel ilmiah yang dimuat dalam jurnal seperti Sistem Presidensial dan Masa Depan Demokrasi Politik dan Progressivity of Legal Protection in Realizing Social Justice for Domestic Workers.
Reporter : Norhafizah
Discussion about this post