Pulpen, kertas, dan kopi
Tertata rapi di atas meja.
Menungguku bercerita hari ini.
Mereka menunggu…
1 menit
8 menit
17 menit berlalu…
Namun, tanganku hanya siap dengan secangkir kopi yang mulai kehilangan kehangatannya.
Kertas dan pulpen bergeming.
Pikiranku berkecamuk.
Hati mulai menenangkan yang takkan tenang.
Apa yang harus kutulis di sana?
Cinta? Kebahagiaan? Ketentraman?
Sedangkan di luar sana, hanya ada tawa kemenangan dan rintihan kesakitan yang kudapati.
Hewan-hewan berdasi duduk berbincang dan tertawa.
Suapan-suapan salmon bertabur emas masuk ke perut-perut serakahnya.
Lalu, kesepakatan-kesepakatan dibuat dan hanyut dalam mimpi-mimpi kemewahan.
Kopinya dingin, tak layak diminum, pikirnya.
Sambil mengangkat tangan, “Wine” terucap dari lisan kotornya.
Di sudut lain,
Harimau diusir dari tanahnya agar gedung bertingkat tumbuh di atasnya.
Orang utan dipaksa meregang nyawa agar tengkoraknya menjadi pajangan.
Trenggiling kesakitan, tetapi didesak mati demi menjadi sebuah obat.
Cendrawasih kehilangan diri sebab bulunya diberus tuk memuaskan kekejian hasrat.
Tak bisa.
Tak mungkin.
Hariku buruk.
Tidak! Bukan hari, tapi dunia ini buruk.
dan kejam.
Cinta telah lenyap.
Kopi hanya hiasan belaka.
Akhirnya, dunia kehilangan arah dan makna.
Perlahan.
Aku menutup mata, telinga, dan hati.
dan otak berhenti bekerja.
Penulis: Keyrina Adinda
Mahasiswa Jurusan Antropologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas,
Angkatan 2019.