Bangsa yang menghancurkan tanahnya berarti menghancurkan dirinya sendiri. Hutan adalah paru-paru negri kita, memurnikan udara dan memberi kekuatan baru kepada orang-orang kita -Presiden Amerika Serikat 1933-1949, Franklin D. Roosevelt
Bernafas tanpa oksigen, manusia tidak mungkin bertahan hidup. Ini fitrah yang tidak bisa dihindari. Rahman pada jurnalnya; Analisis Kebutuhan Luasan Ruang Terbuka Hijau Kota Manado Berdasarkan Fungsi Penyedian Oksigen tahun 2018 menuliskan, rata-rata manusia mampu menghirup oksigen sebesar 3,07 liter per menit. Itu artinya sama dengan 4420,8 liter per hari. Hal ini menunjukkan betapa besarnya ketergantungan manusia akan oksigen. Dan beruntunglah manusia, karena mendapatkan oksigen itu secara gratis.
Coba renungkan seandainya oksigen itu dibeli. Kita perbandingkan dengan seorang pasien di rumah sakit yang terpaksa dibantu pernafasan oksigen. Satu tabung oksigen 1 m3 sebanding 1.000 liter yang harganya Rp 500.000. Sedang manusia membutuhkan atau menghirup minimal 4.000 liter per hari. Jadi, seandainya oksigen itu dibeli, maka setiap harinya terpaksa merogoh kocek sekira Dua Juta Rupiah.
Tirto.id menuliskan, setiap tahunnya manusia menggunakan oksigen sebanyak 740 kg. Kemudian pohon dengan bobot 2 ton dan tinggi 12 meter hanya mampu menghasilkan oksigen sebanyak 100 kg pertahun, artinya setiap manusia membutuhkan tujuh hingga delapan pohon pertahun. Sedangkan jumlah populasi yang ada di dunia saat ini berkisar 7,6 miliar. Bisa dibayangkan berapa pohon yang harus tersedia.
Tapi, pernahkan manusia itu berpikir dari mana oksigen itu diproduksi? Tidakkah manusia tanpa sadar justru telah merusak sumber produksi oksigen itu. Karena hampir setiap hari kita membaca maupun mendengar informasi tentang perusakan hutan. Sementara hutan itu sendiri adalah produsen oksigen terbesar. Sebab, kita tahu, tumbuhan hijau memproduksi oksigen. Sayangnya manusia kurang menyadari anugrah Tuhan yang diberikan melalui hutan. Keserakahan dan keinginan untuk mewujudkan kepentingan pribadi membuat manusia tanpa sadar merusak sumber kehidupannya sendiri.
Kerusakan hutan terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Salah satunya di Indonesia sebagai salah satu penyumbang oksigen terbesar di dunia. Dikutip dari World Wide Fund for Nature (WWF) menuliskan bahwa setiap tahunya Indonesia kehilangan 1,1 juta hektar tanah atau 2 % dari total seluruh hutan yang ada di Indonesia. Jika dihitung-hitung kurun waktu 50 tahun, hutan yang di Indonesia akan habis. Bisa dibayangan dari 130 juta hektar hutan, terdapat 42 juta hektar di antaranya sudah habis ditebang.
Kehilangan dan kerusakan hutan dipengaruhi berbagai faktor seperti penebangan, kebakaran hutan, deforestasi yang mana mengubah hutan menjadi lahan-lahan perkebunan seperti kelapa sawit, kertas dan sebagainya. Padahal negara telah membuat aturan perundang-udangan yang begitu jelas tentang regulasi, tata cara perizinan, dan sanksi terhadap pelaku perusakan hutan. Namun tetap saja selalu kebobolan.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Prof Hariadi Kartodihardjo yang menulis buku tentang “Di Balik Krisis Ekosistem” menjelaskan, perusakan hutan lebih banyak didasari oleh tata kelola hutan yang buruk. Salah satunya adalah mudahnya praktik korupsi, termasuk bentuk pungutan liar untuk memudahkan pemberian izin pada pihak atau perusahaan tertentu untuk melakukan pengalihan fungsi hutan.
Lebih lanjut Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menegaskan, kebanyakan perundang-undangan yang dibuat, tidak diarahkan pada perusak-perusak besar semisal mafia, namun justru pada masyarakat lokal yang membutuhkan akses tanah dan harusnya mendapatkan legalitas. Sehingga peraturan yang ada menjadi terbalik, khususnya dalam hal deforetasi hutan untuk diubah menjadi perkebunan kelapa sawit,
Hariadi berpandangan bahwa bukan permasalahan kelapa sawit namun tanaman sawit yang terletak di ruang yang keliru. Hal ini banyak terjadi pada pengelolaan hutan yang tanamannya tidak sesuai peruntukan pemanfaatan lahan. Terdapat dua sebab hal ini dapat terjadi, yaitu perizinan kelapa sawit yang tidak dilakukan dengan baik sehingga memunculkan motivasi untuk melakukan tindak korupsi. Di sisi lain pengelolaan hutannya sediri begitu lemah seperti hutan lindung yang ditanami kelapa sawit begitu luas tanpa adanya pengendaliaan dari pihak pengelola hutan itu sendiri.
Bukanya membatasi namun mengingatkan jumlah manusia makin hari makin bertambah. Sedangkan hutan semakin mengecil, dimana lagi anak dan cucu kita akan hidup jika keserakahaan dan ketidakpedulian masih kita simpan dalam-dalam? Permasalah hutan ini, adalah pekerjaan rumah seluruh komponen masyarakat. Bukan hanya orang-orang yang berkecimpung di dunia dan jurusan kehutanan. Namun semua elemen dan bidang ilmu harus saling bahu-membahu untuk menemukan solusi yang terbaik, karena ini bukan hanya untuk diri dan keluarga tapi ini untuk menentukan masa depan hidup manusia dan dunia.
Norhafizah
Penulis merupakan Redaktur PK identitas Unhas 2018
Mahasiswa Jurusan Psikologi, Fakultas Kedokteran
Angkatan 2014