AIESEC in Unhas kembali menggelar Proyek Edunesia di Mamuju, Mamasa, dan Polewali Mandar (Polman), 10 Juli hingga 11 Agustus. Kegiatan yang telah dilaksanakan selama tiga tahun berturut ini diikuti oleh delapan mahasiswa Makassar, dua mahasiswa asal Ceko, tiga mahasiswa asal Cina, dan dua mahasiswa asal Malaysia.
Mahasiswa asal Makassar adalah Rodrick Kristianturi (Unhas), Andi Yaumil (Unhas), Khintan (Unhas), Andi Sophia Naida (Unhas), Faiz Manai (UMI), Sri Ayu Saputri (UMI), Tantaka (UMI) dan Rhadia Mutmainah (UMI). Sedangkan mahasiswa yang berasal dari luar Indonesia ialah Nikola Sturcova (Ceko), Jan Strasek (Ceko), Viola (Cina), Shirley Ren (Cina), Vicky Wen (Cina), Mohd Irfan (Malaysia), dan Taqiuddin Omar (Malaysia).
Kegiatan tersebut bertujuan mendukung salah satu sasaran pembangunan dunia atau yang dikenal dengan sebutan Sustainable Development Goals (SDG’s) yaitu equality in education atau kesataraan pendidikan. “Proyek ini bertujuan agar bagaimana semua orang termasuk para siswa yang kami kunjungi mendapatkan pendidikan yang setara,”kata Ketua Tim Projek Edunesia, Rodrick atau yang biasa disapa Odi.
Selama proyek, mereka mengajar bahasa inggris di beberapa SD, SMP, dan SMA di Kecamatan Kalukku, Mamuju, SMP Frater di Mamasa, dan SD serta SMP di Kecamatan Tutar, Desa Piriang Tapiko. Selain itu, mereka juga melakukan roadshow mengenai pentingnya pendidikan khususnya bahasa inggris kepada masyarakat Mamuju dan Mamasa.
Ada pula English Camp di SMP 01 Kalukku yang berisi sejumlah kompetisi seperti lomba mengeja dalam bahasa inggris, pidato, dan menyanyi. Kemudian talk show terkait pendidikan di Ceko, Cina, dan Malaysia.
Selanjutnya, Odi mengatakan bahwa antusias warga dan siswa di sekolah yang dikunjungi berbeda-beda. Bahkan, ketika melaksanakan proyek di Desa Piriang Tapiko, salah satu Tokoh Masyarakat, Sadaruddin, menghampiri mereka dan bercerita terkait mirisnya keadaan sekolah di daerah itu.
“Pak Sadaruddin menyampaikan kepada kami bahwa selain sarana dan prasarana yang kurang mendukung, tenaga pendidik di sekolah itu juga memprihatinkan. Sebab kebanyakan dari tenaga pendidik yang dipekerjakan di sekolah itu berasal dari Polman,”ujarnya.
Saat ditemui di ruangan Kepala Sekolah SDN 02 Piriang Tapiko, Sadaruddin membenarkan hal itu. Ia mengatakan, guru yang berasal dari Polman harus menempuh perjalanan sekitar tiga sampai empat jam dengan jalanan rusak dan melewati sungai untuk tiba di sekolah. Oleh sebab itu, guru-guru tersebut sangat jarang mengajar selama satu minggu penuh.
“Sebenarnya desa ini memiliki anak-anak muda yang telah sarjana bahkan S2. Akan tetapi, pemerintah tidak memberdayakan mereka, sehingga setelah lulus sekolah tinggi, ya kembali jadi petani,”tegas Sadaruddin, Jumat (10/8).
Odi pun berharap agar ia dan teman-temannya yang mengikuti proyek ini benar-benar memberikan dampak yang baik bagi siswa yang telah mereka kunjungi. “Saya juga berharap, melalui kegiatan ini kami mampu memotivasi para siswa untuk terus melanjutkan pendidikan mereka ke tingkat yang paling tinggi,”pungkasnya.
Reporter: Khintan