Tahun ini Unhas telah menerapkan DPP (Dana Pengembangan Program) yang diperuntukkan bagi mahasiswa lulusan jalur mandiri. Kebijakan baru ini seakan menjadi momok bagi calon mahasiswa baru. Bagaimana tidak, DPP yang ditentukan Unhas ini memiliki besaran rupiah yang terbilang tinggi, puluhan hingga ratusan juta rupiah.
DPP yang ditetapkan Unhas berbeda-beda pada setiap program studi. Untuk kelompok sosial humaniora berada pada kisaran 30-50 juta, kelompok eksakta 40-65 juta. Pendidikan Dokter Gigi sebesar 100 juta, bahkan Prodi Pendidikan Kedokteran mencapai 200 juta,
Tingginya DPP Unhas membuat salah satu calon mahasiswa baru, Zarah Jenina Ayesiah yang sempat ingin mendaftar, harus mengurungkan niatnya dan memilih untuk masuk ke UNM, lantaran tak ingin membebani orang tuanya membayar DPP senilai puluhan juta rupiah. “Lebih baik saya kuliah di UNM, saya tidak sanggup membuat orang tua saya susah-susah membayar uang pangkal yang mahal itu,” kata perempuan yang akrab didapa Zarah itu, Kamis (26/7).
Senada dengan Sani, mahasiswa lulusan SMA Negeri 5 Pare-pare ini bersama saudara kembarnya terpaksa harus menunda kuliahnya, lantaran tak ingin membebankan orang tua membayar DPP dan UKT yang tinggi untuk jalur mandiri (JNS). “Kasian ka’ sama orang tua kalau mesti bayar mahal-mahal begitu,” katanya saat diwawancarai. Kamis (26/7).
Setali tiga uang dengan Bunga, siswi asal Kabupaten Enrekang ini juga harus mengalami hal yang sama dengan Sani dan kembarannya. kondisi ekonomi orang tuanya yang tidak mendukung, sehingga ia harus rela menunggu tes SBMPTN tahun depan lagi. “Yah, mending tunggu tahun depan saja,” katanya. Kamis (26/7).
Tak hanya kalangan mahasiswa baru yang risau dengan adanya DPP ini, mahasiswa juga ikut mempertanyakan alasan penerapan DPP yang kian tidak transparan. Selain itu, sebagian juga menganggap bahwa kebijakan tersebut pun begitu tiba-tiba. Didi Muslim Sekutu, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH), mempertanyakan tujuan diterapkannya DPP ini. “Apakah karena Unhas kekurangan dana, atau karena sudah berbadan hukum, sehingga seenaknya menerapkan DPP bagi mahasiswa baru?” tanyanya.
Ketua BEM Fisip, Sandrawali juga ikut mempertanyakan transparansi dari penerapan DPP ini. Ia bahkan mengingatkan titah Rektor, Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu MA bahwa UKT bukanlah solusi alternatif saat kampus membutuhkan dana. “Unhas kan bisa berkolaborasi dalam bisnis atau pengembangan usaha-usaha yang ada di kampus sendiri. Lalu kenapa kita mesti butuh dana pengembangan pendidikan?” katanya.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, pihak Identitas mencoba menghubungi Wakil Rektor II Bidang Perencanaan, Keuangan dan Infrastruktur, Prof Sumbangan Baja. Namun, hingga berita ini diterbitkan, ia belum memberi tanggapan selain mengarahkan pihak Identitas ke kepala Humas, Ishak Rahman.
Saat diwawancarai terkait alasan diterapkannya DPP, Ishak Rahman hanya menjelaskan jika tahun ini Unhas menerima mahasiswa baru dengan kuota yang lebih tinggi. Jumlah mahasiswa baru dari jalur SNMPTN dan SBMPTN sejumlah 5.661 orang, dan telah memenuhi kuota. Sehingga DPP merupakan solusi atas banyaknya peminat Unhas.
Jumlah mahasiswa baru yang diterima Unhas tahun ini, sebanyak 20% jalur mandiri (JNS) atau 1.415 orang. 35% jalur SNMPTN (2.477), dan 45% SBMPTN (3.184). Menurut Ishak, dari data tersebut berarti Unhas membuka peluang banyak untuk mahasiswa kurang mampu, karena kuota SBMPTN ditambah. “Tapi karena peminat Unhas yang makin banyak dan kemampuan Unhas hanya sampai di situ, sehingga ditawarkanlah solusi yaitu mampu secara akademik dan finansial, makanya jalur JNS ini dibuka, ditambah dana pengembangan ini,” terang Ishak, Senin (14/8).
Berdasarkan aturan Menristek Dikti (Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi) Nomor 39 pasal 10 ayat 1 tahun 2016, tentang Biaya Kuliah Tunggal Dan Uang Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Menristekdikti, dituliskan bahwa suatu PTN dapat memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru program diploma dan program sarjana bagi mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa yang memalui jalur kerjasama, dan atau mahasiswa yang melalui seleksi jalur mandiri.
Dari aturan tersebut bisa disimpulkan bahwa Unhas tidaklah salah jika menerapkan DPP, namun diperjelas kembali dalam aturan tersebut pada pasal 10 ayat 2 tertulis bahwa uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT yang dikenakan kepada mahasiswa baru program diploma dan program sarjana yang melalui seleksi jalur mandiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d (red. mahasiswa melalui jalur non subsidi) tetap memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
Dr Mursalim Nohong MSi, dosen Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), menyarankan bahwa Unhas sebaiknya mendapatkan dana dari sumber lain walaupun terbilang cukup lambat. “Unhas lambat memiliki bisnis center begitu juga hotel, makanya untuk menuju ke WCU (red World Class University), Unhas tidak punya pilihan lain, selain menerapkan DPP ini,” katanya saat diwawancarai Identitias.
Tak hanya itu, Prof Dr Drg Andi Zulkifli M Kes, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat periode sebelumnya juga mengatakan kalau petinggi-petinggi Unhas saat ini tidak gencar dalam mencari duit, sehingga cara pintasnya dengan mendayagunakan mahasiswa. “Tentu sebenarnya itu tidak baik, karena ketika itu yang menjadi kekuatan, maka nuanasa akademik akan menjadi lemah,” katanya.
Ia juga menyayangkan Unhas yang lambat dalam mengembangkan bisnis dan memanfaatkan aset-aset Unhas. “Seperti misalnya Aula dan GOR itu bisa didesain lebih bagus, lalu disewakan ke masyarakat yang mau gunakan untuk acara pernikahan, atau misalnya Unhas memanfaatkan danau untuk buka ruang rekreasi dengan menyewakan sampan-sampan,” tandasnya.
Hingga berita ini diturunkan, transparansi DPP belum juga ada.
Penulis : Renita Pausi Ardila