“Organisasi dan akademik bukanlah suatu hal yang patut kita benturkan, tetapi hanya perlu disinkronisasikan”
Itulah ungkapan Arief Rosyid, pria berusia 35 tahun yang saat ini menjabat sebagai komisaris independen Bank Syariah Indonesia (BSI). Mengawali perjalanannya sebagai seorang mahasiswa kedokteran gigi Universitas Hasanuddin pada tahun 2004, Arief memiliki rekam jejak dalam berbagai organisasi. Menurutnya, organisasi menjadi faktor penting yang mengantarkan dirinya pada posisi saat ini.
Berorganisasi sempat membuat Arief menunda kuliah, yang bagi sebagian orang, adalah hal tidak wajar bahkan cenderung konyol. Akan tetapi, hal tersebutlah yang dilakukannya ketika memutuskan mengambil cuti kuliah sembilan bulan ketika menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Unhas.
“Menurut saya, keputusan itu sangat berharga karena walaupun orang menganggap saya mengambil langkah tidak biasa, hal itulah yang menjadi justifikasi saya sekarang bahwa organisasi sangat berharga,” ujar Arief saat ditanya mengenai pengalaman paling berharga dalam hidupnya.
Kecintaannya pada organisasi tidak berhenti sampai di situ saja. Ia juga pernah menjabat sebagai sekretaris umum cabang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 2010. Hingga ia memutuskan pindah ke Jakarta dan menumpang praktek dokter gigi pada klinik salah satu temannya selama dua tahun dari 2010 hingga 2012. Di saat melanjutkan program pascasarjana, ia kembali dipercaya menjadi ketua umum Pengurus Besar HMI periode 2013-2015, hingga pada 2017 ia diajak oleh Jusuf Kalla menjadi Dewan Pengurus Masjid (DPM).
Bagi Arief, organisasi adalah batu loncatan yang mampu membawanya meraih berbagai mimpi. Dengan kemampuan yang terasah dalam organisasi, ia bahkan mampu berkiprah menjadi komisaris BSI saat latar belakang pendidikannya begitu jauh dari profesi bankir. Menjadi komisaris independen BSI adalah mimpi yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Pria 35 tahun itu mengaku masih kaget namun tekadnya telah bulat, terbukti saat menjalani fit and proper test untuk meraih posisi tersebut.
“Orang-orang yang menguji saya memiliki kapasitas di bidang ekonomi, namun saya tidak ingin terjebak di situ. Saya membagi perspektif yang saya miliki, saya tidak ingin menjadi orang lain. Saya menceritakan cita-cita saya, hal yang ingin saya bawa, Alhamdulillah saya lulus,” ungkap Arief saat ditemui di Roemah Lamdoek, Kamis (3/3).
Layaknya perjalanan di luar sana, Arief juga kerap menghadapi berbagai tantangan dalam mencapai tujuan. Dunia perbankan yang juga dikenal sebagai highly regulated industry atau industri yang begitu ketat dengan aturan di mana setiap rupiah harus tercatat dalam setiap pembukuan, memiliki tantangan tersendiri bagi Arief. Baginya hal tersebut berbanding terbalik saat ia berada di HMI.
“Namun, saya selalu mengingat perkataan kakek saya KH Ali Yafie, ulama masyhur, mantan ketua MUI IV. Beliau selalu bilang, sebagai anak muda itu kita membutuhkan tiga hal yaitu tahu diri, tahu menempatkan diri, dan tahu membawa diri,” jelas Arief.
Saat ini, Arief tengah sibuk melanjutkan pendidikan doktoralnya di Universitas Indonesia pada program studi kebijakan kesehatan. Pria kelahiran 1986 itu juga masih aktif dalam berbagai komunitas, salah satunya black wing yang terdiri dari kalangan muda dengan jabatan publik sebagai wadah berkolaborasi untuk mencari benang merah dari setiap permasalahan yang ada di negeri ini.
“Ada ratusan juta anak muda yang katanya dapat mengguncangkan dunia harus kita arahkan. Jadi menurut saya, pemerintah harus lebih serius menanggapi hal ini khususnya pengimplementasian Perpres No. 66 tahun 2017 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan,” tutur Arief saat ditanya mengenai peran pemerintah dalam memaksimalkan eksistensi anak muda.
Di balik pencapaiannya ini, Arief mengungkapkan bahwa sosok motivator terbesarnya ialah Rasulullah SAW sebagai suri tauladan setiap umat. Sultan Hasanuddin dan Syekh Yusuf Al- Makassari juga tidak luput sebagai role model hidupnya. Baginya, dua tokoh masyhur itu memberinya keyakinan untuk menjadi manusia yang senantiasa bermanfaat bagi orang lain.
“Tidak ada hal yang instan di dunia ini, semuanya butuh proses sehingga kita tidak boleh membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain. Hal yang ingin saya tekankan adalah kita perlu berbuat sebaik-baiknya, menjaga integritas, dan berusaha untuk memperluas dampak yang kita berikan kepada setiap orang,” pesan Arief.
Nurjihan Shahid