Bagi Suku Kajang Amatoa, Kabupaten Bulukumba, kematian ialah suatu perjalanan indah dan penuh nasihat.
Kematian biasanya dianggap sebagai sebuah peristiwa duka yang membawa sengsara, terutama bagi sanak keluarga yang ditinggalkan. Namun, tidak bagi Suku Kajang Amatoa Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, kematian ialah suatu perjalanan indah dan penuh nasihat.
Hal itu tercermin dari tradisi yang masih terus mereka laksanakan hingga sekarang yakni tradisi Ma’basing. Dosen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Unhas, Dr Harlina Sahib, meneliti ujaran-ujaran yang biasa diucapkan pa’ kelong basing saat melangsungkan tradisi tersebut.
Tradisi Ma’basing dilaksanakan setiap sepuluh hari setelah kematian hingga hari ke seratus. Saat hari pertama, Suku Kajang melakukan tradisi abbendrong yaitu kegiatan menabuh gendang saat semua orang berkumpul di rumah duka. Ma’basing pun dimulai. Diawali dengan berkidung mengeluarkan suara “em,em,em” oleh para pemain basing.
Basing ialah alat musik khas Suku Kajang. Alat musik yang mirip dengan seruling ini memiliki panjang 50 cm. Ada lima lubang pada alat musik tersebut dan bagian ujung bawah lubang basing ini ditutup dengan tanduk kerbau yang telah disesuaikan dengan bentuk basing.
Nyanyian pemain basing biasanya memang tak dapat dimengerti. Oleh sebab itu lah, Harlina mempelajari setiap bait yang diucapkan saat tradisi itu berlangsung. Ia berhasil menerjemahkan bait-bait kelong basing itu.
“Kelong basing itu berisi nasihat. Pada kelong pertama atau yang biasa disebut kelong basing rikong. Rikong itu rikodong, artinya menyayangi atau mengasihani. Jadi mayat itu dikasihani. Kemudian, kelong rikong itu terdiri dari beberapa bait,” jelas Harlina kepada identitas.
“Hajitoje i matea, sungguh indah itu kematian menurut orang Kajang lalu dia bilang pa’lingkara allirianja perjalanan ke dunia yang bukan lagi seperti dunia sekarang ini. Ra’jing I lolo na pallumba balasanna, susah dahulu baru kemudian nyaman balasannya,” lanjutnya.
Sepuluh hari kemudian, keluarga besar orang meninggal tersebut kembali ke rumah duka untuk berkidung dan memberikan uang berapapun kepada para pemain basing. Selain itu, tradisi ini juga dilengkapi dengan kehadiran guru patuntung.
Guru patuntung merupakan orang yang dipercaya dapat berkomunikasi dengan jenazah. Ia akan datang dan memberitahukan bagaimana kondisi jenazah di alam kubur sana dengan mengunjungi dan mengajak bercerita jenazah tersebut.
“Orang meninggal di sana (Suku Kajang Amatoa Bulukumba) dipelihara dan dikunjungi. Jadi misalnya hari ini dia meninggal, tak lama setelah itu para guru patuntung-orang-orang yang memang ditunjuk. Mereka ke sana setiap hari, pagi dan sore hari. Dia bertanya ke mayat itu bagaimana keadaanmu? Baik-baik jako? dalam bahasa daerah, dia temani bicara itu mayat,” kata Harlina.
Selanjutnya, keluarga yang berduka akan menghubungi ketua adat guna melaksanakan puncak acara Ma’basing setelah lebih dari seratus hari. Pada puncak perayaan, keluarga duka yang dari luar daerah berkumpul dan menyajikan makanan bernama dangan lajo-lajo.
“Di hari terakhir itu, mereka menyediakan banyak sekali makanan hingga ber ton-ton jumlahnya. Panganan yang mereka buat itu dari beras ketan hitam, di Amatoa dangan lajo-lajo namanya,” tuturnya.
Sejumlah bahan makanan tadi dibawa oleh sanak keluarga dari luar daerah. Prosesi pengurusan jenazah mulai dari ma’basing tadi hingga mencapai puncak acara mencerminkan bagaimana Suku Kajang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan.
“Mereka itu saling membantu dan senasib sepenanggungan. Seperti kata mereka mate si roko’ apabila ada suku kajang yang meninggal mari kita sama-sama bantu pembiayaannya, karena acara setelah ritual seperti basing tiap sepuluh hari membutuhkan biaya,” papar Harlina.
Lebih lanjut, Harlina berharap agar semakin banyak peneliti yang meneliti tentang budaya lokal. Utamanya tuturan lokal.
“Saya kira ini termasuk aset budaya setempat di Kabupaten Bulukumba. Anak mudanya di sana yang harus meneruskan, karena ini merupakan keunikan budaya yang tidak dimiliki daerah lain,” tutupnya.
Muh. Irfan