Dua pertiga puntung rokok ditemukan berserakan di selokan dan berujung di lautan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kebiasaan itu dilakukan oleh jutaan orang. Padahal limbah puntung rokok termasuk limbah berbahaya dan beracun.
Terlepas dari hal tersebut, ternyata limbah puntung rokok dapat dimanfaatkan menjadi bio-pestisida (cairan dari bahan alam untuk mendukung pertumbuhan tanaman). Inovasi ini pun sudah banyak diteliti, salah satunya Eko Siswoyo bersama kedua rekannya. Dari hasil penelitiannya menunjukkan, tembakau dari kandungan limbah puntung rokok dapat mendukung kegiatan pertanian yang ramah lingkungan.
Hal ini pun menarik perhatian dosen Departemen Kimia, Syadza Firfausiah S Si M Sc. Dibantun oleh kedua mahasiswanya, Taufik Hidayat dan Muhammad Alfliadhi, mereka membandingkan ekstraksi puntung rokok dengan tiga metode yaitu maserasi, soxletasi, dan Microwave-assisted ekstraksi (MAE).
“Untuk mengunakan puntung rokok sebagai bio-pestisida, terlebih dahulu harus diekstraksi dalam pelarut. Oleh sebab dibutuhkan perbandingan dari berbagai metode untuk mendapatkan hasil ekstrasi terbaik,” ucap Syadza dalam penelitiannya.
Dalam penelitian itu juga, Syadza menceritakan, mereka memanfaatkan limbah puntung rokok dari beberapa restoran dan hotel. Puntung rokok itu dibersihkan dan hanya mengambil bagian tembakaunya saja, yang kemudia dikeringkan dan digiling untuk bahan uji atau sampel di laboratorium.
Halusan punting rokok dibagi dalam 20 gram untuk masing-masing metode. Untuk metode pertama atau maserasi, sampel dilarutkan dengan 200 mL etanol absolute (cairan kimia). Diaduk selama 10 menit, lalu disimpan di tempat gelap selama 48 jam. Metode ke dua atau Soxletation, sampel dicampur kedalam 200 mL etanol mengunakan labu alas bundar (alat kimia).
Kemudian dimasukkan ke dalam refluks (teknik penyulingan yang melibatkan kondensasi uap) selama 12 jam sampai sampel habis. Sedangkan metode ke tiga atau MAE, puntung rokok di cairkan dalam 200 mL etanol absolute yang ditempatkan dalam microwave (alat pemanas) yang telah dimodifikasi untuk proses ekstraksi. MAE dilakukan dengan daya 100 watt selama 8 menit.
Dari hasil penelitian menunjukkan, MAE merupakan metode ekstraksi terbaik, karena dapat menghasilkan sekitar dua kali lipat berat ekstrak baik dalam proses maserasi maupun soxletasi. Apalagi berdasarkan waktu pengerjaannya, MAE hanya membutuhkan ekstraksi 3 x 8 menit. Waktu yang sangat singkat dibandingkan dengan metode laserasi (2 x 48 jam) dan metode soxletasi (12 jam). Penelitian lain terkait MAE juga melaporkan bahwa metode ini tidak hanya lebih tinggi jumlah ekstraknya, tetapi juga mengkonsumsi lebih sedikit pelarut dan penghematan waktu (Dahmoune et al., 2014, 2015).
Syadza mengatakan perbedaannya sangat besar jika dibandingkan dengan metode sebelumnya. MAE menggunakan energi dan bahan lebih sedikit untuk menghasilkan pengekstrakan nikotin yang banyak.
“Microwave hanya menggunakan 100 watt listrik selama 8 menit. Maka proses yang dibutuhkan memerlukan tiga kali dan dalam waktu 24 menit,” tutur dosen Fakultas MIPA ini.
Penelitian ini pun mendapat dana hibah dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) sebesar 19 juta dalam skema penelitian dosen muda tahun 2020.
Lebih lanjut, ia mengatakan penelitian dana hibah dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ini belum sampai ke tahap pengaplikasian pada hama ulat grayak. Mengingat awal pemasukan proposal pada 2020, dihadapkan pandemi Covid-19 di mana tim tidak dapat mengumpulkan sampel.
“Kendala yang kami hadapi seperti Covid-19, Unhas lockdown dan untuk tahap pengaplikasian pestisida, hama ulat grayak harus dikembang biakkan terlebih dahulu karena tidak dapat ditemukan pada musim hujan waktu itu,” keluh Syadza.
Daripada itu, kata Syadza penelitian ini bisa segera dilakukan oleh masyarakat, tidak perlu biaya yang mahal. Harganya pun bervariasi tetapi umumnya sekitar sejuta dan bahkan ada yang kurang sejuta. “Orang pikir microwave mahal, tetapi kelebihannya dapat digunakan secara terus menerus,” jelasnya.
Ia pun mengatakan semoga ke depannya dapat memproduksi sendiri, misalnya pestisida Unhas dengan bio-pestisida yang lebih sering digunakan. “Kami berharap lebih memanfaatkan sumber daya alam dan mengurangi limbah rokok yang sebenarnya membahayakan lingkungan,” tutupnya.
Muhammad Alif Muqorrabin