Putih. Sekeliling yang ia lihat hanyalah salju. Ellen bahkan kewalahan menentukan di mana ia sekarang. Bulu matanya membeku digerogoti salju sehingga sangat sulit dikedipkan. Salju menyelimuti seluruh permukaan bukit yang ia lalui bahkan lebih tinggi dari mata kakinya. Hingga sekarang, badai masih belum berhenti mengamuk. Embusan napas Fely, adik perempuan yang ia gendong di punggungnya, masih menerpa pipi pucat Ellen.
“Apakah kita sudah dekat?” tanya adiknya menggigil.
“Bukit selanjutnya sudah rumah kita. Ibu pasti sudah menyiapkan dua gelas teh panas untuk kita.” Ellen berbohong.
***

Pagi itu, rasanya semua baik-baik saja. Hanya udara yang sedikit lebih dingin dari hari-hari sebelumnya. Ellen berdiri di tepi jurang, sesekali kali menatap hutan dan perbukitan di utara, di mana pohon-pohon mulai menggugurkan daunnya. Musim gugur sudah lama menemani, musim dingin sebentar lagi akan datang. Di sebelah kiri Ellen tergeletak sebuah batu persegi, nisan makam ayahnya yang telah meninggal tiga tahun lalu akibat tertimpa balok kayu. Tragedi itu terjadi ketika ayahnya hendak memasang atap untuk rumah kayu kecil yang mereka bangun di puncak sebuah bukit yang kini mereka tinggali.
Sebagai korban perang yang dipersekusi, bagi keluarganya, berbaur dengan masyarakat adalah hal yang sangat tidak mungkin. Hidup di tengah pedalaman memang menjadi tantangan yang luar biasa berat bagi keluarga Ellen. Sepeninggal sang ayah, tugasnya sebagai seorang anak laki-laki yang baru berusia 14 tahun itu tentu semakin besar. Ditambah ibunya yang sudah kini sakit-sakitan dan adik perempuannya yang baru berusia delapan tahun, masih sangat membutuhkan sosok seorang ayah.
“KAKAK!!!….” Suara teriakan Fely sontak membuatnya terkesiap. “ Ibu….”
Tanpa perlu menjelaskan, dari wajah panik gadis berambut pirang itu, Ellen sudah mengerti apa adiknya maksud. Segera Ellen membawa tubuh jakungnya berlari melewati Fely menuju rumah. Ibunya tergeletak tak berdaya di lantai gubuk yang beralaskan tanah itu. Di depan tungku api yang masih menyala, ibunya menekan perutnya dengan sangat kuat sebelum akhirnya pingsan karena tak sanggup menahan sakit.
“Ibu kenapa?”
Tidak ada jawaban dari ibunya. Fely hanya menangis menggenggam lengan ibunya, sedangkan Ellen masih kebingungan harus berbuat apa. Mereka hanya bisa membaringkan tubuh ibu mereka di atas deretan papan yang disusun rapi, berharap kondisinya segera membaik.
Setelah berpikir sejenak, Ellen segera mengambil segelas ramuan yang rutin diminum ibunya di sebelah tungku api. Sudah lama ibunya mengeluhkan sakit perutnya, namun ini menjadi yang paling parah. Ellen menyuapi ibunya dengan ramuan aroma pahit itu ke mulut ibunya yang sedikit terbuka, tetapi sama sekali tidak ditelan.
Satu jam telah berlalu, Ellen dan Fely tak henti-henti memijati seluruh tubuh ibunya, namun nihil. Tidak ada tanda-tanda ibunya membaik. Hanya dahi perempuan paruh baya itu yang semakin mengerut menahan sakit.
“Ayo kita cari bantuan!” tawar Fely yang semakin khawatir.
“Ke siapa? Di sini tidak ada orang selain kita.”
“Tidak di sini, kita cari bantuan di kota. Aku pernah menemani ayah bertemu dengan orang yang bisa menyembuhkan penyakit.”
“Apa kau sudah gila? Mana mungkin orang-orang itu mau membantu kita. Kita kan…”
“Tapi dia membantu ayah!” teriak Fely memotong kalimat Ellen.
Ellen terdiam mendengar ide gila dari adiknya itu, tetapi ia sadar, ide gila itulah yang bisa menyelamatkan nyawa ibunya. Jarak dari rumahnya ke kota harus ditempuh selama lima jam berjalan kaki. Dua jam lebih singkat bila menunggang kuda, itu pun kalau mereka punya kuda.
“Kau masih ingat rumah orang itu?”
“Iya, ada Menara kincir angin di depannya.”
“Ayo kita pergi.” Ellen dan Fely segera berdiri seakan tahu apa yang harus mereka lakukan. Fely mengenakan jaket cokelat lusuhnya yang sudah agak ketat sebelum menyiapkan daging rusa asap dan segelas ramuan di samping tempat ibunya berbaring. Ellen segera menyambar busur dan selongsong anak panah yang tergantung di samping pintu, untuk mengantisipasi bila mereka bertemu dengan beruang atau serigala dalam perjalanan.
“Ibu bertahanlah. Aku janji, kami akan kembali secepat mungkin membawa seorang penyembuh,” bisik lembut Ellen di kuping ibunya. Setelah menyiapkan segala perbekalan, tak lupa memeluk ibu mereka sebelum akhirnya meninggalkan rumah kayu kecil itu.
Matahari mulai sedikit terik dari timur. Memancarkan sedikit kehangatan di tengah dingin yang mulai merasuki kulit mereka. Jalanan yang mereka lalui dipenuhi dedaunan pohon birch yang gugur. Mereka sebenarnya sudah terbiasa berjalan jauh selama berjam-jam untuk berburu rusa atau kambing gunung liar. Namun, pergi ke tempat yang asing dan bertemu dengan banyak orang adalah hal yang lebih sulit daripada berhadapan dengan binatang buas.
Padang savana mereka lintasi dengan mudah, tetapi beberapa bukit yang harus menguras lebih banyak tenaga. Ada sebuah gubuk kecil di tepi danau, tetapi tidak ada waktu bahkan hanya untuk sekadar singgah. Jika mereka beruntung, mereka bisa saja menumpang pada rombongan kereta pengangkut kayu yang biasanya melintas. Tapi sepertinya hari ini bukan hari keberuntungan mereka. Ketika tiba di puncak bukit yang keempat, mereka sedikit lega. Dari kejauhan, terlihat deretan gedung berwarna warni. Menara kincir angin berdiri kokoh di alun-alunnya.
Dengan langkah sedikit gemetar, mereka memberanikan diri menyusuri trotoar jalan kota yang penuh dengan hiruk pikuk kesibukan. Ellen menggenggam erat tangan mungil adiknya yang juga kebingungan. Tidak pernah mereka melihat orang sebanyak ini, terlebih lagi mereka tidak tahu pasti harus ke mana, selain petunjuk menara kincir angin raksasa.
Bunyi seperti terompet yang keluar dari kereta besi tanpa kuda mengejutkan mereka. Bahkan untuk pertama kalinya mereka melihat bola-bola yang bisa bersinar seperti obor, tergantung menyilang di atas jalanan. Orang-orang berjas yang rapi seakan memandang jijik ketika berpapasan dengan mereka.
“Hei anak tikus, di sini bukan tempat untuk berburu,” tegur seorang pria tinggi yang melihat busur dan panah di punggung Ellen.
“kakak…” ucap Fely ketakutan menyembunyikan wajahnya di bahu kakaknya.
“Tenanglah, tidak perlu pikirkan. Kita hanya harus mencari penyembuh itu.” Pikiran Ellen tidak pernah lekat dari ibunya yang kini sedang berjuang menahan sakit.
Mereka terus berjalan, Ellen dan Fely benar-benar menjadi pusat perhatian di kota itu. Baju lusuh compang-camping yang mereka kenakan sudah menggambarkan dari mana mereka berasal.
Kincir Angin besar yang mereka tuju, kini sudah ada di depan mata. Mereka sejenak berhenti, menatap sekeliling.
“Di sana, gedung putih itu,” tunjuk Fely.
Tanpa menunggu lagi, mereka segera berlari menuju gedung putih yang sesuai ingatan Fely, berdiri tepat di depan kincir angin. Gedung besar itu tampak megah dengan tiang yang di cat warna emas. Sangat berbeda dengan gubuk kayu mereka yang sederhana.
“Permisi…” ucap Ellen mengetuk pintu kayu yang dipoles mengkilap itu.
Tidak ada jawaban.
“Permisi… kami ingin meminta bantuan.” Suara Fely parau terdengar sangat memohon.
Pintu besar berdaun ganda itu bergetar, terbuka sedikit demi sedikit. Muncul seorang wanita cantik dengan seragam putih. Topi kerucut bertengger di atas rambut mengkilapnya.
“Ada apa, nak?” tanya wanita itu dengan sopan, tidak seperti orang-orang yang mereka temui di jalan.
“Kami mencari penyembuh, apa dia tinggal di sini?”
“Maksud kalian Dokter Eddy? Beliau sedang pergi ke luar kota, mungkin ia akan segera kembali. Jika tidak sedang buru-buru tunggulah.” Wanita itu sejenak memerhatikan pakaian Ellen dan Fely, “kalian datang dari mana?”
“Kami berjalan lima jam dari selatan!” jawab Ellen berharap wanita itu akan berempati pada mereka.
“Ya ampun, kalian hanya datang berdua?” mereka berdua hanya mengangguk. “Tunggulah. Mungkin beliau akan segera tiba beberapa saat lagi. Ketika ia tiba, ia akan menyimpan kereta kudanya di sana,” tunjuknya ke sebuah pekarangan kosong di samping teras.
Mereka akhirnya menunggu setelah wanita itu pamit untuk kembali bekerja. Mereka berdua duduk di sebuah bangku panjang di depan gedung itu, melihat orang orang ramai berlalu-lalang sembari melemaskan kaki-kaki kecil mereka.
Dua orang anak yang masing-masing digandeng oleh ayah dan ibunya, melintas di depan mereka. Rasa iri muncul di hati Ellen. Ia seperti tak kuasa menahan kesedihan, setelah ayahnya, ia harus kehilangan ibunya. Tapi ia harus tetap tegar di depan Fely.
Angin dingin yang cukup kencang berembus menerpa. Menyadarkan mereka tentang awan pekat yang sudah dekat. Sedangkan Dokter Eddy tak kunjung datang.
“Oh tidak, kita harus pulang sekarang.”
Seakan dikejar serigala, mereka berlari mendaki bukit, segera menemukan jalan untuk pulang. Mereka tidak bisa menunggu lagi. Badai akan datang lebih dulu dari pada Dokter Eddy.
Hembus sang bayu semakin kencang mengejar, salju pertama mulai turun, langsung meleleh saat mendarat di wajah Fely. Mulai dari butiran kecil, berubah menjadi butiran yang lebih besar, hingga menerjang semakin kencang. Pandangan mereka mulai kabur, rasa dinginnya merasuk hingga ke tulang mereka. Tidak mungkin lagi untuk berlari menerjang badai yang mulai menyembunyikan batuan terjal dengan selimut salju putih itu. Badai itu akan segera mencapai rumah mereka dalam sekejap.
Semua tertutupi oleh benda putih itu. mereka baru mendaki bukit yang kedua. Ellen berharap dapat sejenak singgah di gubuk tepi danau yang dilihatnya di tepi danau, tetapi ia khawatir pada ibunya yang entah bagaimana keadaannya di sana.
Batu cukup besar membuat Fely tersungkur ke tanah. Fely mengerang kesakitan, kakinya sepertinya terkilir. Tanpa diminta, Ellen segera menggendong adiknya. Fely mengerang, namun berusaha menyumpal mulutnya agar kakaknya tidak khawatir.
Badai tak kunjung reda, tapi mereka tidak mungkin berhenti. Kaki Ellen yang hanya terbungkus sepatu karet tipis itu mulai mati rasa.
“Gerah…kakak,” ucap Fely dengan suara menahan sakit.
“Bertahanlah, bukit selanjutnya pasti sudah rumah kita,” jawab Ellen yang bahkan tidak tahu di mana mereka sekarang.
“Apakah kita sudah dekat?” tanya adiknya dengan suara gemetaran.
“Iya, Bukit selanjutnya…rumah kit-” Ellen tumbang.
Dalam hati ia meminta maaf karena tidak dapat menepati janji yang ia ucapkan di kuping ibunya. Ia bahkan tidak bisa melindungi adiknya. Air matanya mengalir, seluruh tubuhnya mati rasa. Entah berapa lama kemudian, ia mendengar suara derap langkah kuda. Seorang pria berbadan kekar mengangkat mereka ke dalam kereta yang cukup hangat. Tidak disangka, itulah dokter Eddy yang mereka tunggu.
Ellen berhasil tiba di rumah. Sesuai janjinya pada ibunya, ia pulang bersama seorang penyembuh. Namun, bukan untuk menolong ibunya, tetapi untuk menolong Ellen menggali liang makam di sebelah makam ayahnya. Satu untuk ibunya yang telah terbaring kaku di dalam rumahnya, dan satu lagi untuk adiknya yang tewas membeku dalam perjalan.
Penulis, Risman Amala Fitra
Mahasiswa Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya Unhas
Angkatan 2019.
Discussion about this post