Tuan putri satu ini selalu terbangun paling awal bahkan sebelum ayam berkokok. Begitu keluar dari bilik mungilnya, dirinya menuju dapur dan mulai menyisir setiap sudut ruangan. Lalu menyusuri tiap titik rumah untuk memastikan tak akan ada sebutir debu pun yang terlihat oleh mata telanjang. Sebab jika itu terjadi, saudara dan ibu tiri akan murka dan menyiksanya dengan bengis, itu jauh lebih gawat menurutnya. Meski tidak membuat satu pun kesalahan, si Tuan Putri, Cinderella akan tetap dihujani pekerjaan rumah.
Bukan tanpa sebab, saudara dan ibu tirinya memang sengaja memberi ribuan pekerjaan rumah untuk Cinderella agar tidak bisa menghadiri pesta dansa. Beruntungnya sihir dari ibu peri datang menghampiri Cinderella laksana mukjizat yang turun langsung dari tangan Tuhan. Cinderella pun bisa pergi ke pesta dansa, dijemput pangeran, kemudian bersatu dan bahagia, kisah pun berakhir. Seandainya jalan keluar dari masalah di dunia nyata ini semudah menunggu ajakan pangeran lalu semuanya terselesaikan, maka perempuan-perempuan akan rela menanti mati-matian.
Namun, percaya atau tidak, sosok wanita yang cenderung menunggu orang lain menyelesaikan masalahnya, benar ada di dunia nyata. Sebagaimana nama putri bersepatu kaca dalam dongeng anak-anak itu, kondisi ini disebut dengan sindrom Cinderella Complex. Perempuan dengan sindrom ini akan merasa takut untuk menjadi mandiri. Mereka cenderung menunggu orang lain untuk menyelesaikan masalahnya karena merasa kurang kompeten. Seseorang dengan sindrom ini juga memiliki harga diri atau self esteem yang rendah.
Akibat harga diri yang rendah tersebut, perempuan biasanya memiliki ketidakmampuan meraih kehidupan yang menyenangkan. Ada perasaan tidak berdaya bahkan terdapat kecenderungan terjebak dalam hubungan yang tidak sehat atau toxic relationship. Sindrom ini turut mempengaruhi persepsi terhadap perempuan yang ujung-ujungnya terdiskriminasi.
Terlebih lagi menurut Dowling (1995) dalam Mardhotillah, dkk (2022), salah satu tantangan remaja perempuan yaitu menjadi mandiri. Akan tetapi, secara tidak sadar masih banyak perempuan belum menyadari kemampuannya untuk mandiri. Sederhananya, Sindrom Cinderella Complex merupakan ketakutan yang melarang wanita untuk menggunakan pikiran dan imajinasi mereka sepenuhnya. Sehingga para perempuan lebih memilih menunggu orang lain membantu mereka menyelesaikan masalah yang terjadi.
Biasanya Sindrom Cinderella Complex ini lebih banyak ditemukan pada perempuan di usia remaja akhir hingga dewasa, yaitu sekitar 17-22 tahun. Hal tersebut dikarenakan pada usia itu perempuan berhadapan pada pilihan terkait pendidikan, pekerjaan, dan masa depan. Hal tersebut sejatinya sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan kedua orang tua.
Cara orang tua mengasuh akan berdampak besar pada kemandirian anak dalam menghadapi tantangan kehidupan. Misalnya saja, dalam penelitian Sneha & Rahmath (2018) disebutkan bahwa sindrom ini banyak ditemukan pada masyarakat yang menganut sistem patriarki. Berbeda dengan pola asuh otoriter yang tidak memiliki pengaruh terhadap kecenderungan sindrom ini. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya penekanan unsur budaya dalam pola asuh otoriter.
Dalam penelitian lainnya, anak perempuan yang selalu diatur dalam mengambil keputusan dalam hidupnya cenderung mengalami Sindrom Cinderella Complex. Berbanding terbalik dengan anak perempuan yang diberi kebebasan dan pengarahan terkait pengambilan keputusan. Mereka cenderung jauh dari potensi mengalami Sindrom Cinderella Complex. Sayangnya, perempuan yang condong menerima semua kondisi dianggap lemah.
Sebaliknya, jika perempuan terlalu mandiri maka akan dianggap bertindak melebihi laki-laki. Lantas, bukankah hal tersebut mengacu pada ketidaksetaraan posisi laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan?
Sindrom ini pada dasarnya mempersempit ruang gerak perempuan untuk leluasa mengambil tindakan. Dengan penyebaran informasi yang pesat di masa ini, agaknya akses kita untuk menerapkan pola asuh ‘tepat’ pun semakin mudah. Dengan mempelajari hal-hal kecil seperti ini maka akan terbentuk kualitas karakter generasi selanjutnya yang semakin optimis dan terbuka. Sebab pola asuh adalah kerangka utama dalam pembentukan diri seseorang yang berasal dari orang tua yang ‘open minded’.
Dongeng Cinderella memanglah berakhir indah, namun sayang kehidupan tidak sesingkat 1 jam 54 menit. Cinderella memanglah sosok yang sabar dan menerima keadaannya, bahkan tidak melawan saat diperlakukan dengan keji oleh saudara dan Ibu tirinya. Namun sekali lagi, kehidupan akan berjalan lebih bengis daripada itu, terutama bagi perempuan sebagai kelompok rentan. Tidak pantas rasanya untuk menerima semua yang terjadi dan menunggu Sang pangeran datang menyelamatkan.
Maka dari itu, penting bagi seorang wanita untuk berhenti menanti kehadiran pangeran dan mulai menghadapi masalahnya sendiri. Dengan tidak bergantung kepada orang lain, maka wanita telah merobohkan stigma ‘manja’ yang senantiasa melekat pada sifat perempuan. Dobraklah segala rintangan untuk mewujudkan imajinasi yang telah dirangkai. Tak layak untuk berdiam diri sebab pelaut ulung tidak lahir dari laut yang tenang.
Yaslinda Utari Kasim
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2021
Sekaligus Reporter PK identitas Unhas