Peningkatan jumlah penduduk di suatu wilayah berbanding lurus dengan bertambahnya kebutuhan terhadap ruang hidup. Kebutuhan akan lahan menjadi sangat krusial sebagai penunjang dalam kehidupan, baik dari segi ekonomi maupun dalam segi mendapatkan tempat tinggal. Lahan banyak digunakan masyarakat sebagai lahan pertanian, perumahan, hingga industri barang dan jasa.
Perubahan penggunaan lahan dalam suatu wilayah pada dasarnya memiliki dampak terhadap lingkungan secara fisik, sosial, maupun ekonomi. Pengaruh-pengaruh tersebut tidak dapat dihindari karena memang menjadi hukum alam. Hal yang bisa ditanggulangi hanya dengan mengurangi dampak negatifnya karena untuk menghilangkan dampaknya, sepertinya agak susah.
Dalam perencanaan wilayah dan tata ruang dikenal namanya segitiga mobius yang terdiri dari tiga komponen, yaitu lingkungan fisik, sosial-budaya, dan ekonomi. Ketiga komponen ini seharusnya berjalan beriringan dan seimbang demi terwujudnya lahan yang berkelanjutan. Akan tetapi, jika dilihat saat ini terutama pada area perkotaan dan area yang digunakan sebagai lahan industri, baik pertambangan dan pertanian. Ketiga komponen itu tidak berjalan dengan seimbang, yang ada hanya ada satu sisi yang lebih menonjol yakni dari sisi ekonomi.
Kebutuhan ekonomi memang menjadi hal yang penting, karena juga menyangkut kebutuhan hidup manusia baik sandang, pangan, dan papan, serta keberlangsungan roda politik dan pemerintahan. Akan tetapi, hari ini masih banyak masyarakat yang menderita karena persoalan ekonomi. Ketimpangan ekonomi di perkotaan dan perdesaan sangat tinggi, yang artinya ini menjadi permasalahan sosial. Akibatnya, urbanisasi tidak dapat dihindari di perkotaan.
Secara fisik, urbanisasi akan menyebabkan alih fungsi lahan di perkotaan semakin meningkat. Dari yang sebelumnya tutupan lahan masih bervegetasi, akan berubah menjadi perumahan. Tentunya ini akan berimplikasi negatif terhadap siklus hidrologi, yaitu proses penyerapan air ke dalam tanah. Jika hal ini terjadi, maka aliran permukaan meningkat yang menyebabkan banjir dan kekurangan pengisian air tanah.
Sementara itu, untuk industri perkebunan dan pertambangan ini bukan hanya berimplikasi terhadap siklus hidrologi, tetapi akan berujung pada kerusakan tanah. Akibatnya, tanah tidak dapat lagi memberikan unsur hara terhadap tanaman karena mengalami kekeringan. Dalam dunia industri pertanian, penggunaan pupuk sintetik dengan dosis yang banyak juga akan menyebabkan degradasi lahan. Sawit menjadi salah satu contoh industri perkebunan yang memiliki dampak terhadap tanah dan air. Secara sosial-budaya, dampak biasanya menghadirkan konflik agraria, yakni perampasan lahan masyarakat petani atapun masyarakat hukum adat.
Degeradasi lahan dan kekeringan kini menjadi perhatian global, terbukti dengan adanya peringatan hari degradasi lahan dan kekeringan sedunia. Di 2023 ini tepatnya 17 Juni, peringatan hari Degradasi Lahan dan Kekeringan kembali diperingati dengan mengangkat tema “Her Land, Her Right” yang berarti “Tanahnya, Hak-haknya”. Fokus hari peringatan di 2023 ini adalah pada hak perempuan atas tanah untuk mencapai tujuan global terkait kesetaraan gender dan netralitas degradasi lahan untuk berkontribusi pada kemajuan yang berkelanjutan.
Pada dasarnya, peringatan ini dilatarbelakangi dengan adanya kesadaran bahwa degradasi lahan nyata terjadi. Berdasarkan data yang disampaikan United Nation Convention to Combat Desertification (UNCCD), 23 persen lahan di dunia sudah tidak produktif dan 75 persen sudah berubah dimanfaatkan untuk pertanian. Artinya hanya tinggal dua persen lahan yang belum mengalami perubahan atau alih fungsi.
Sementara di Indonesia, alih fungsi lahan berdasarkan data yang disampaikan Kementerian Pertanian RI mencapai 100.000 hektare per tahun. Belum lagi alih fungsi lahan dari hutan menjadi areal pertambangan. Tidak bisa dipungkiri, di hutan banyak terjadi penambangan karena saat ini penambangan sangat gencar-gencarnya dilakukan terutama di Pulau Sulawesi dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Harapannya di 2023 dan tahun setelahnya alih fungsi lahan dan degradasi lahan semakin berkurang demi lingkungan yang sustainable. Tentunya ini membutuhkan kesadaran kolektif untuk menjaga tanah dan lingkungan. Tidak masalah jika industri dibangun untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan bersama. Akan tetapi, fakta yang terjadi saat ini adalah ketimpangan di tengah masyarakat, artinya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum tercapai yang menandakan bahwa Pancasila belum sepenuhnya diamalkan di negara ini.
Oleh karena itu, perempuan dan masyarakat hukum adat juga harus diberikan hak-haknya dalam pengambilan keputusan mengenai sumber daya lahan. Di Indonesia dan negara-negara lainnya, hanya masyarakat hukum adat yang benar-benar bijak dalam menjaga lingkungan dan hutannya. Hukum-hukum adat mengenai lingkungan memang dipatuhi dengan baik, bukan hanya sekedar mementingkan kolega dan korporasi yang eksploitatif terhadap sumber daya lahan, perempuan, dan masyarakat hukum adat.
Keterjagaan lingkungan dan alam akan terjaga jika ditopang dengan kebijakan pemerintah yang lahir dari kesadaran kolektif. Peran strategis pemuda dan perempuan dalam memperjuangkan lingkungan yang sustainable juga dibutuhkan. Begitupun dengan perguruan tinggi yang harus mampu memberikan masukan ke pemerintah dan masyarakat dari hasil-hasil riset lingkungan untuk keberlanjutan lingkungan. Jangan hanya dijadikan sebagai bahan proyek saja.
Penulis: Engki Fatiawan
Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin
Angkatan 2019
Discussion about this post