Sebuah surat imajinatif kepada seorang manusia, maaf ketika ada nama dan tokoh yang sama dalam cerita ini. Sepenuhnya tulisan ini adalah bentuk kebebasan, dan bebas untuk dikritik.
Teruntuk Kita, Dalam Bimbingan-Nya!
Teruntuk Kita, Dalam Bimbingan-Nya!
Tepat pukul 21.30 WITA, mengudara bersama Lion-Air boeing 721, pijar-pijar cahaya dari ketinggian seolah menjadi simbol titik demi titik keadilan yang berada di tengah ketidakadilan, titik tersebut terpisah satu sama lain, ia membutuhkan upaya untuk merangkainya menjadi kesatuan dan secara penuh menyinari kegelapan. Laiknya cerita Yunani yang menyembah Apolo sebagai Dewa Matahari karena menganggap bahwa dewa tersebut sedang berjuang melawan kegelapan. Sayangnya, itu hanyalah imajinasi simbolik, faktanya pijar-pijar itu berasal dari pertambangan batu bara nun jauh di sana yang mengeruk dan merusak bumi, tempat kediaman makhluk semesta.
Malam ini saya berangkat dari kota kelahiran Makassar ke pusat kepentingan negeri, Jakarta. Keberangkatanku bukan ikut menyalurkan kepentingan di Jakarta, melainkan sebagai lokasi transit sebelum ke Vietnam guna melanjutkan diri sebagai pelajar. Bukankah pelajar adalah kedudukan paling merdeka di muka bumi, right? Ke mana-mana saya selalu menjadi pelajar.
Tepat malam ini, beredar informasi baik dalam teks maupun visual bahwa terjadi aksi dari kelompok yang disebut dengan Anarko di depan pintu 1 Universitas Hasanuddin, secara eksplisit berbagai dasar aksinya dituliskan melalui teks, yang berkulminasi pada bentuk kemarahan terhadap rezim kapitalistik beserta aparatus represifnya.
Teks tersebut beredar di grup-grup wa yang entah bersumber dari pihak siapa, pastinya teks itu berisi dasar aksi dan kronologinya, di akhir teks terdapat daftar orang-orang yang sedang dibawa ke Polrestabes Makassar, sebagai terduga peserta aksi. Di antaranya terdapat salah seorang adik se-jurusan di kampus, akrab dikenal dengan nama Aso.
Info lainnya, beredar dalam bentuk visual (video), yang dikirim secara personal oleh beberapa kawan melalui pesan whatsapp, video tersebut menunjukkan peserta yang dibawa ke Polrestabes dengan keadaan penuh darah, termasuk Aso. Sungguh, itulah yang membuatku terusik untuk harus melawan, meski hanya melalui teks ini.
Beberapa hari ini, secara masif mahasiswa membentuk parlemen jalanan, membangun kekuatan demokrasi, mengingatkan ke seluruh penjuru negeri dengan adagium #reformasidikorupsi, mereka menghendaki reformasi jilid II. Oh iya, kabarnya bukan hanya mahasiswa yang turun ke jalan, tetapi juga pelajar, buruh tani, dan para pegiat demokrasi. Sasaran demontrasi ditujukan kepada Parlemen (DPR-RI) dan Presiden Jokowi. Bukankah mereka telah terpilih secara demokratis, melalui suara mayoritas? Lalu, mengapa kebijakan pemerintah ditolak? Apakah yang melakukan demonstrasi adalah mereka yang tidak memilih Jokowi dan Parlemen? Mari membangun logika-historis beserta fakta-materil.
Di Yunani, tepatnya di kota Athena seorang bangsawan bernama Solon mencetuskan gagasan bijaksana untuk mencoba tatanan baru, disebut dengan Undang-undang dasar pada tahun 594 SM yang berisi bahwa rakyat (para warga kota) harus selalu mengambil keputusan sendiri mengenai apa yang perlu dilakukan. Prosedurnya: rakyat berkumpul di alun-alun dan turut serta dalam pemungutan suara, suara terbanyak menjadi keputusan bersama, sistem tersebut dikenal dengan istilah Demokrasi.
Kenyataannya, ada seorang bangsawan yang berhasil mendapat simpati rakyat, lalu mengambil alih kekuasaan, penguasa tunggal itu disebut dengan istilah Tiran. Namun, tidak lama pada kekuasaannya, tokoh yang sewenang-wenang tersebut diusir oleh rakyat, dan tokoh tersebut tidak dibolehkan lagi masuk ke Athena.
Lebih lanjut, di Jawa, terdapat cerita perwayangan dengan tokoh yang bernama Togog. Suatu ketika Togog berdialog dengan Begasuksma, seorang pangeran dari Rahwana, sederhananya Togog menyampaikan kepada pangeran bahwa ayahnya tidak mau mendengarkan nasihat, selalu serakah, dan selalu begitu, begitu mudah melakukan hukuman mati, itulah Togog hanya sedikit bicara dan lebih banyak diam.
“Meskipun hamba hanya pelayan, hambapun punya cita-cita, seperti orang lain: mengharapkan kehidupan sempurna di dunia dan setelah mati.” Tegas Togog di akhir dialog. Silakan merefleksikan cerita tersebut! Apakah rezim pemerintah kini laiknya Tiran di Athena atau rakyat laiknya Togog di Perwayangan?
Rasa-rasanya bukan kedua-duanya, sebab kini aksi demonstrasi mengakibatkan penembakan yang berujung kematian, aksi demonstrasi mengakibatkan pemukulan secara tak terkendali oleh aparatur represif, bukankah itu telah melampaui Athena dan Jawa Kuno? Rakyat tidak ditembaki saat mengusir tokoh tiran di Athena dan Togog tidak dibunuh saat menyampaikan protesnya terhadapat Raja di Perwayangan Jawa. Mari rapatkan barisan dan luaskan pikiran!
Mijnavond, pukul 22.35 WIB saya mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, saya menginap di rumah kawan. Pagi ini saya prepare menuju kedutaan untuk menyelesaikan pengurusan visa menuju Vietnam. Selamat belajar!
Muhammad Chaeroel Ansar
Alumni Ilmu Pemerintahan
Angkatan 2013
Ketua Bem Fisip Unhas Periode 2017
Alumni Ilmu Pemerintahan
Angkatan 2013
Ketua Bem Fisip Unhas Periode 2017
Discussion about this post