Ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan telah melekat di berbagai aspek kehidupan. Baik dalam aspek pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, hingga secara spesifik pada pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2021, perempuan yang tergabung dalam kelompok perhutanan sosial hanya terdapat lima persen dari lebih 140 kelompok di Pulau Sulawesi. Ketimpangan yang sangat menonjol ditunjukkan angka nasional hanya sekitar empat persen perempuan yang berpartisipasi.
Berangkat dari hal tersebut, Andi Vika Faradiba Muin bersama teman-temannya mencoba memotret keberadaan diskriminasi terhadap perempuan dalam pengelolaan hutan pada Program Perhutanan Sosial.
Program Perhutanan Sosial merupakan program pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat hutan dan mempertahanankan fungsi hutan dengan pola pemberdayaan.
Penelitian berjudul “Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Program Perhutanan Sosial: Studi Kasus dari Dua Desa di Indonesia” dilakukan di Desa Pundilemo, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Enrekang, dan Desa Paku, Kecamatan Masanda, Kabupaten Tana Toraja yang keduanya terletak di Sulawesi Selatan.
Kelompok Perhutanan Sosial Sipatuo di Desa Pundilemo beranggotakan 27 orang laki-laki. Perempuan tidak dilibatkan dalam keseluruhan proses pembentukan kelompok perhutanan sosial lokal, mulai dari sosialisasi skema dan prosedur, kegiatan pembentukan kelompok, penyusunan struktur kepengurusan, hingga finalisasi dokumen proposal perhutanan sosial.
Pengelolaan hutan yang berfokus pada produk kayu telah lama diakui sebagai pekerjaan laki-laki. Peran dan partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan terabaikan. Perempuan hanya dilekatkan pada pekerjaan yang berkaitan dengan rumah tangga.
Budaya patriarki yang telah mengental di Indonesia menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan terhadap perempuan dalam pengelolaan perhutanan sosial. Konstruksi sosial budaya inilah yang mendorong terciptanya perempuan hanya dianggap menggantikan suami, dinomorduakan, bahkan tidak diakui.
“Perempuan ketika melakukan pekerjaannya sebagai petani, tidak dilihat sebagai petani, tapi sebagai istri yang membantu suami,” ujar Vika.
Untuk mendapatkan pengakuan hak pengelolaan hutan, perempuan harus menjadi anggota kelompok perhutanan sosial. Perempuan yang tidak tergabung, tidak akan masuk dalam Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), sehingga tidak mendapat bantuan peralatan dari pemerintah atau tidak ikut dalam program peningkatan kapasitas. Padahal, terdapat perempuan yang tidak memiliki perwakilan laki-laki di rumahnya, seperti perempuan kepala rumah tangga.
Kegiatan pelatihan kerap didominasi oleh laki-laki, peran perempuan semakin tertinggal pada kapasitas yang diperlukan untuk pengelolaan hutan. Akibatnya, perempuan cenderung pasif dalam pertemuan formal.
“Harusnya kita sebagai orang-orang yang menyadari hal tersebut memberikan afirmasi ke perempuan dengan dimulai dari pola pikir perempuan dan laki-laki bisa setara,” imbuh Vika.
Dalam pengelolaan hutan, Peraturan Menteri KLHP telah membuat kebijakan tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan kehutanan pada Permen LHK No. 31/2017. Namun, kebijakan tersebut tidak terimplementasikan di dalam praktiknya.
Aparatur pemerintah khususnya penyuluh kehutanan perlu menyadari dan paham terkait aturan yang berlaku, terlebih mengenai program yang belum transformatif ataupun responsif gender agar budaya patriarki tidak mengakar dan menjadi kebiasaan.
Sebab, dari hasil penelitian ditemukan perempuan tidak sadar dirinya telah mengalami ketidakadilan dalam program perhutanan sosial sehingga terjadi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan karena budaya tersebut yang telah melekat.
Vika menyebut, kehadiran perempuan dalam pengelolaan lahan akan lebih berkelanjutan dan lestari, karena perempuan berpikir memanfaatkan lahan hutan untuk kebutuhan dapur, obat-obatan, kayu bakar, sayur-sayuran, hingga pakan ternak. Sedangkan, laki-laki lebih berpikir pada pemanfaatan lahan untuk kebutuhan skala yang lebih besar.
Penelitian tersebut melahirkan policy brief atau rekomendasi kebijakan ke pemerintah. Dari hal itu, Vika dan tim berharap masyarakat dan pemerintah lebih paham, sensitif, dan responsif terhadap isu gender, serta kampus harus lebih terbuka.
“Jadi sensitivitasnya terhadap isu gender itu harus lebih terbuka dan dimulai dari kampus dengan memasukkan isu gender dalam kurikulum,” pungkasnya.
Miftah Triya Hasanah
Discussion about this post