Belakangan ini, media sosial tengah diramaikan dengan istilah Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya). Sebutan tersebut merujuk pada sekelompok orang yang datang ke pusat perbelanjaan hanya untuk melihat-lihat, bertanya, mencoba produk, bahkan berswafoto, namun tidak membeli apa pun.
Fenomena itu kemudian menimbulkan pro-kontra, ada yang melihatnya sebagai strategi belanja cerdas, namun tak sedikit pula menganggapnya sebagai tindakan merugikan pelaku usaha.
Lantas, bagaimana fenomena Rojali dan Rohana jika ditinjau dari kacamata psikologi? Simak wawancara reporter identitas, Rika Sartika, bersama dosen psikologi konsumen, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Hasanuddin (Unhas), Nur Fajar Alfitrah SPsi MSc, Jumat (01/08).
Bagaimana Anda melihat fenomena Rojali dan Rohana dari sudut pandang psikologi?
Fenomena Rojali dan Rohana sebenarnya merupakan hal yang wajar jika dilihat dari proses pengambilan keputusan konsumen. Manusia secara alami membutuhkan waktu dan informasi untuk mempertimbangkan sebelum membeli barang, salah satunya dengan melihat langsung, mencoba, atau bertanya soal produk.
Yang membuat fenomena ini menarik karena dilakukan secara berkelompok. Misalnya, satu orang ingin membeli sepatu, tetapi mereka datang berlima. Di sinilah mulai terjadi interaksi sosial, seperti tanya pendapat atau membandingkan pilihan. Begitulah sebenarnya bagian dari proses pengambilan keputusan.
Apa saja motivasi yang mendorong fenomena ini?
Motivasinya sangat beragam, salah satunya konformitas, yang di mana seseorang cenderung mengikuti mayoritas dalam kelompok. Jika sebagian besar tidak membeli, maka yang lain juga cenderung tidak membeli. Begitupun sebaliknya.
Ada pula yang termotivasi oleh harga diri atau citra sosial, misalnya ingin dianggap keren oleh teman atau hanya sekadar ingin menikmati suasana toko atau kafe. Bahkan, atmosfer seperti musik di toko atau kenyamanan tempat duduk bisa menjadi alasan utama seseorang datang ke tempat tersebut, bukan untuk belanja.
Apakah ini berkaitan dengan budaya kolektivistik di Indonesia?
Di Indonesia, kita memang menganut budaya kolektivistik yang segalanya harus dilakukan bersama karena terkadang belanja atau mengunjungi mal rame-rame itu terasa lebih seru dan asik, termasuk juga pengambilan keputusan untuk membeli barang.
Menariknya, kita terkadang menanyakan informasi atau menjadikan orang lain sebagai titik acuan baik secara sadar atau tidak.
Contohnya ketika membeli sepatu atau baju, sering muncul pertanyaan dalam benak, apakah teman akan suka? apakah pacarku akan menyukainya? atau apakah orang lain akan menilai bagus? Hal itu biasanya terjadi saat kita berbelanja sendirian.
Kalau rame-rame, biasanya, kita akan langsung bertanya, coba lihat ini bagus tidak? cocok tidak untuk saya? Padahal hal tersebut hanya sebatas mencoba.
Hal tersebut juga termasuk dalam tahapan mengumpulkan informasi dan berkaitan dengan proses decision-making untuk mendapatkan informasi dari sudut pandang budaya kolektivistik.
Bagaimana pengaruh faktor usia dan finansial terhadap perilaku ini?
Faktor finansial memiliki pengaruh besar. Anak muda atau remaja umumnya belum memiliki pendapatan sendiri dan masih dalam proses pencarian jati diri.
Mereka cenderung banyak bertanya, mencoba, dan membandingkan. Beda dengan orang dewasa yang biasanya sudah memiliki pendapatan dan tahu apa kebutuhannya.
Jika dilihat dari lapisan ekonomi masyarakat kelompok menengah dan ke bawah, mereka cenderung datang ke mal atau pusat perbelanjaan secara bergerombol. Ini bukan hanya karena ingin seru-seruan, tetapi juga dilandasi oleh kebutuhan akan rasa aman dan nyaman saat berada di ruang publik yang mungkin asing bagi mereka.
Sementara itu, kelompok menengah ke atas, terutama yang tinggal di perumahan elit, lebih terbiasa dengan gaya hidup individualistik. Mereka cenderung datang sendiri atau hanya dengan satu-dua orang terdekat (pasangan atau keluarga) dan tidak merasa canggung untuk melakukan aktivitas konsumsi tanpa pendamping sosial.
Bagaimana pelaku usaha sebaiknya menyikapi fenomena ini?
Pelaku usaha tentu punya kepentingan untuk meraih keuntungan. Namun, menyikapi fenomena Rojali dan Rohana tidak bisa dilakukan dengan semata-mata dengan melarang mereka untuk datang.
Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah mengenali konsumen dari usia, latar belakang ekonomi, hingga pola konsumsi mereka.
Jika sudah dipahami, pelaku usaha bisa merancang strategi seperti promo pembelian kelompok, paket bundling, atau diskon khusus untuk grup.
Dalam konteks toko pakaian, Rojali bahkan bisa menjadi sarana promosi gratis. Mereka yang datang, mencoba, lalu mengunggah konten ke media sosial secara tidak langsung membantu memperluas jangkauan toko tanpa biaya pemasaran tambahan.
Apa bentuk edukasi psikologis yang bisa dilakukan untuk membangun kesadaran konsumen?
Fenomena Rojali atau Rohana memang bisa dinilai merugikan, namun penilaian tersebut biasanya hanya datang dari satu sisi, yaitu pelaku usaha.
Dari sudut pandang konsumen, perilaku ini tidak bisa langsung dikategorikan sebagai sesuatu buruk. Namun, sebagai makhluk sosial, kita tentu memiliki nilai-nilai etika yang perlu dijunjung tinggi.
Ada etika dalam bertamu, etika dalam berbelanja, dan etika dalam berbagai aspek kehidupan sosial lainnya. Secara dasar, kepribadian seseorang, ciri khas perilaku, dan bahkan etika dalam berperilaku dibentuk sejak usia dini. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh keluarga.
Jadi, jika kita ingin membentuk individu yang memiliki etika berbelanja yang baik, prosesnya harus dimulai dari lingkungan rumah. Nilai-nilai (values) dan keyakinan (beliefs) yang ditanamkan sejak kecil menjadi fondasi utamanya.
Karena itu, jika seseorang sudah dewasa dan telah terbentuk dengan nilai-nilai tertentu sejak kecil, proses edukasi atau perubahan perilaku akan jauh lebih sulit. Bukan tidak mungkin, tetapi membutuhkan upaya yang besar, sebab akar dari etika tersebut telah tertanam dalam lingkungan keluarga dan sosialnya sejak dini.
Data diri narasumber:
Nur Fajar Alfitrah SPsi MSc
Riwayat pendidikan:
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (2018)
Consumer Psychology with Business, Bangor University (2020)
