Arogansi dua kubu mahasiswa Ilmu Kelautan dan Perikan mulai muncul sejak keduanya digabungkan menjadi satu fakultas tahun 1996.
Andi Arisal, mahasiswa Perikanan FIKP Unhas sedang asyik bercerita dan bercengkrama bersama teman-temannya di dekat Pos Satpam jalan masuk FIKP, Selasa (2/4). Malam yang makin meninggi kala itu, tak menyurutkan semangat mereka untuk saling berbagi kisah. Sayangnya, keseruan tersebut tetiba berubah menjadi ketegangan.
Ical, begitu ia disapa, tak menyangka tatapannya kepada Fais, mahasiswa Ilmu Kelautan yang sedari tadi bolak-balik naik motor di hadapan mereka dapat memicu masalah. Fais yang tidak terima ditatap, langsung menghentikan sepeda motornya di hadapan Ical dan kawan-kawannya.
“Mereka sedang ramai-ramai dekat jalan masuk fakultas. Ada anak perikanan yang berdiri dan menutup setengah jalan, saya melambat ketika naik motor dan ia minggir mi juga. Jadi saya lewat waktu itu, tetapi baku tatap mi karena ia juga lambat ki bergeser. Ternyata baku tatap ka lagi, jadi saya mutar dan tanya ki, kenapa bro ada masalah kah?” katanya.
Hingga akhirnya memicu sejumlah mahasiswa kelautan untuk mendatangi mereka. Lalu, pemukulan tak lagi dapat dihalau. Pemukulan tersebut nyatanya berujung bentrok antar kedua lembaga kemahasiswaan di FIKP yaitu Keluarga Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan dan Keluarga Mahasiswa Perikanan.
Ketua Himpunan Perikanan, Muh Ismail menjelaskan bahwa setelah kejadian bentrok itu interaksi antar kelautan dan perikanan kurang intensif. “Kurang nyaman berinteraksi di dalam rumah FIKP, pergaulan teman lintas jurusan berkurang,” tutur mahasiswa perikanan angkatan 2016 ini.
Selain itu, Koordinator Senat FIKP periode 2014-2015, Rahmat Basri angkat bicara terkait kejadian tersebut. Ia mengatakan bahwa pemukulan berujung bentrok itu terjadi karena adanya arogansi antara kedua kubu lembaga kemahasiswaan tersebut.
“Ini terjadi sebab tidak adanya proses pengaderan tingkat fakultas yang mampu memberikan kesadaran kolektif seatap dan senasib,” ucap Rahmat.
Jika menengok sejarah kedua lembaga tersebut, telah sejak lama terdapat sejumlah permasalahan di antara keduanya. Dilansir dari kemafikp.blogspot.com, gejala ‘permusuhan’ keduanya bermula ketika FIKP terbentuk tahun 1996. Awalnya Unhas berencana membentuk Fakultas Ilmu Teknologi Kelautan. Namun, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) kala itu, malah menggabungkan Ilmu Kelautan dan Perikanan. Hal inilah yang memicu ketidakpuasan kedua belah pihak. Sehingga masing-masing membentuk lembaga kemahasiswaannya sendiri dan tak pernah ingin bersatu sebagai lembaga kemahasiswaan fakultas.
Menurut Prof Amran Saru, ST MSi, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FIKP periode 2014-2017 bahwa salah satu penyebab keengganan keduanya bergabung ialah jumlah massa yang tak seimbang. Amran mengatakan, jumlah mahasiswa perikanan masa itu sepertiga dari kelautan. Oleh sebab itu, ditakutkan tak ada ketua lembaga dari kelautan yang nantinya menjabat.
“Jadi waktu itu didatangkan dua perwakilan dari perikanan dan kelautan untuk diskusi, setelah itu mahasiswa dan pihak WD III ke Bengo-bengo, Maros. Di sana ada dua pilihan, antara memilih nama lembaga BEM atau Senat. Ketika BEM yang dipilih maka akan selalu ada pemilihan. Berarti tidak akan pernah terpilih dari kelautan. Jadi ditentukan saat itu Senat,” tutur Amran.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa ada sebelas organisasi internal jurusan di Senat. Empat dari kelautan, selebihnya dari perikanan. “Sebelas inilah yang menunjuk satu anggotanya untuk ke Senat, nanti mereka memilih ketuanya. Tapi kita waktu itu sudah atur, yang pertama jadi ketua dari perikanan, tahun berikutnya dari kelautan,” tegasnya.
Salah satu anggota Dewan Mahasiswa FIKP periode pertama 2014-2015, Nizar Hardiansyah, menyatakan sejak awal pembentukan Senat Kema FIKP bukan murni dari mahasiswa tetapi lahir dari hasil politisasi birokrasi.
“Kata kasarnya, ini jadi karena maunya birokrasi. Kala itu terkesan sepihak serta paksaan. Jadi masih saja bukan alasan sebagai jalan damai antara kelautan dan perikanan,” jelasnya Senin, (15/4).
Ia pun memberikan contoh betapa kedua lembaga mahasiswa tersebut sulit menemukan titik temu. Misalnya dalam pembentukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas di mana perikanan sepakat namun kelautan menolak.
“Dan isu pengaderan bersama yang diinisiasi oleh Senat FIKP juga ditolak oleh mereka,” tambahnya.
Selanjutnya, anggota Dewan Mahasiswa FIKP periofe 2019-2020, Muh Fahmi Djunaid mengatakan jika ia ingin mendamaikan kedua kubu tersebut.
“Kemudian, saya mau kasih damai ki. Terus, kembali lagi berlembaga seperti sedia kala. Karena memang kalau tidak damai ki susah jalan sama-sama,” tutup mahasiswa kelautan angkatan 2011 ini.
Sal, M02/Tan