Minggu, 7 Desember 2025
  • Login
No Result
View All Result
identitas
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
No Result
View All Result
identitas
No Result
View All Result
Home Opini Cermin

Hopeless Romantic, Harapan dan Luka yang Terlalu Dalam

22 Oktober 2025
in Cermin, Headline
Nabila Rifqah Awaluddin, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2021. Foto: Dokumentasi Pribadi

Nabila Rifqah Awaluddin, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2021

Editor Nurul Fahmi Bandang

Siapa yang tidak salah tingkah membayangkan duduk berdua di kafe sambil mendengarkan musik favorit? Atau sekadar berkeliling kota tanpa tujuan bersama seseorang yang dicintai? Itulah yang kurasakan setelah menonton drama ataupun karya sastra berbau romansa .

Perasaan ini sebetulnya bukanlah hal biasa. Fenomena inilah yang disebut ‘hopeless romantic’ atau ‘pecinta tanpa harapan’. Hopeless romantic menjadi perbincangan yang semakin relevan di era digital saat ini, sebab semakin sering kita temui di tengah masyarakat modern.

BacaJuga

Berebut Jenazah, Kisah Anak yang Diperebutkan Agama

Hindari Penurunan Performa Akademik dengan Sarapan

Istilah ini merujuk pada individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap cinta idealis, cinta sejati, abadi, penuh pengorbanan, dan sering kali dramatis. Mereka percaya bahwa cinta adalah satu-satunya kekuatan yang dapat menaklukkan segalanya, dan bahwa setiap orang pada akhirnya akan menemukan “satu-satunya” pasangan yang ditakdirkan untuknya. 

Dalam batas tertentu, keyakinan ini terlihat indah, bahkan mengharukan. Namun ketika didekati secara lebih kritis, fenomena ini menyimpan paradoks yang menarik antara harapan dan kenyataan.

Sumber utama dari berkembangnya mentalitas hopeless romantic tak lepas dari pengaruh kuat budaya populer. Film, drama, novel, dan bahkan konten media sosial kini dipenuhi narasi cinta yang serba menggetarkan hati. Pertemuan tidak sengaja yang berakhir menjadi jodoh, perpisahan sementara yang menegangkan namun berujung pada pelukan hangat, atau perjuangan mencintai dalam diam yang akhirnya membuahkan hasil manis. Cerita-cerita ini menciptakan ekspektasi bahwa cinta sejati selalu datang pada akhirnya, bahkan jika harus menunggu lama atau melewati banyak luka.

Bagi sebagian orang, narasi ini menjadi semacam pelarian dari realitas yang pahit. Dunia yang semakin pragmatis dan hubungan yang cenderung transaksional membuat banyak orang merindukan bentuk cinta yang murni dan tanpa syarat. 

Maka, mereka yang menjadi hopeless romantic, yaitu mereka yang tidak pernah berhenti berharap dan percaya pada cinta, walaupun kenyataan sering kali mengecewakan. Dalam konteks ini, menjadi hopeless romantic merupakan bentuk perlawanan terhadap sinisme dan kecurigaan yang mendominasi hubungan masa kini.

Namun, idealisme ini tidak datang tanpa risiko. Ketika seseorang terus menggantungkan harapan pada cinta yang belum tentu hadir atau berbalas, ia bisa terjebak dalam lingkaran menyakitkan, mencintai tanpa kejelasan, menunggu tanpa kepastian, dan mengorbankan diri demi sesuatu yang hanya hidup dalam imajinasi.

Lebih parah lagi, seseorang bisa kehilangan batas antara ketulusan dan pengabaian terhadap harga diri. Apa yang semula tampak sebagai cinta tulus, bisa berubah menjadi bentuk ketergantungan emosional yang merugikan.

Fenomena hopeless romantic juga berkaitan erat dengan bagaimana individu memaknai hubungan dan identitas diri. Banyak dari mereka yang menjadikan cinta sebagai tujuan utama hidup, seolah kebahagiaan hanya dapat dicapai ketika bersama orang lain. 

Pandangan ini secara tidak langsung menempatkan diri sebagai “setengah” yang harus dilengkapi oleh orang lain, alih-alih sebagai individu yang utuh dan mandiri. Inilah yang membuat banyak hopeless romantic terus memaksa hubungan yang tidak sehat, karena mereka merasa tak lengkap tanpanya.

Namun, bukan berarti menjadi hopeless romantic adalah sesuatu yang keliru secara mutlak. Justru, keberadaan mereka mengingatkan kita bahwa di balik dunia yang penuh kepalsuan dan kepentingan, masih ada orang yang percaya pada ketulusan, kejujuran, dan kekuatan emosi manusia. Tantangannya adalah bagaimana mengelola harapan dan menjaga idealisme cinta agar tetap berpijak pada realitas, bukan larut dalam fantasi yang menyesatkan.

Akhirnya, fenomena hopeless romantic merefleksikan kebutuhan manusia yang paling dasar: dicintai dan mencintai. Namun, cinta yang sehat tak lahir dari pengharapan tanpa batas, melainkan dari kesadaran diri, keseimbangan emosional, dan kematangan dalam membina hubungan. 

Kita boleh saja berharap seperti dalam film, tetapi jangan lupa bahwa hidup kita bukan skenario yang bisa dikendalikan oleh sutradara. Cinta sejati, jika memang ada, bukan hanya tentang menunggu seseorang yang datang dalam hujan, tapi juga tentang mengenali diri sendiri dan memilih dengan bijak siapa yang layak berjalan bersama.

 

Nabila Rifqah Awaluddin

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2021

Bendahara PK identitas Unhas 2025

Tags: Cermincintadramahopeless romanticNabila Rifqah AwaluddinRomantis
ShareTweetSendShareShare
Previous Post

LeDHaK Unhas Kukuhkan 153 Anggota dan 223 Kader Tetap pada Sepakat XIV

Next Post

Doom Spending, Self Reward atau Jebakan?

TRENDING

Liputan Khusus

Ketika Kata Tak Sampai, Tembok Jadi Suara

Membaca Suara Mahasiswa dari Tembok

Eksibisionisme Hantui Ruang Belajar

Peran Kampus Cegah Eksibisionisme

Jantung Intelektual yang Termakan Usia

Di Balik Cerita Kehadiran Bank Unhas

ADVERTISEMENT
Tweets by @IdentitasUnhas
Ikuti kami di:
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube
  • Dailymotion
  • Disclaimer
  • Kirimkan Karyamu
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
© 2025 - identitas Unhas
Penerbitan Kampus Universitas Hasanuddin
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah

Copyright © 2012 - 2024, identitas Unhas - by Rumah Host.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In