Belum terindeks scopus, jurnal fakultas-fakultas hukum di indonesia butuh penindakan
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti, jumlah publikasi ilmiah Indonesia terindeks scopus per 6 April 2018 berhasil melampaui Singapura dan Thailand. Dengan jumlah publikasi ilmiah internasional Indonesia sebanyak 5.125. Capaian tersebut telah membawa Indonesia duduk di peringkat ke-3 di antara negara-negara ASEAN.
Namun di balik pencapaian itu ternyata ada keresahan. Penasihat Asosiasi Pengelola Jurnal Hukum Indonesia (APJHI), Prof Dr Irwansyah SH MH mengatakan sampai saat ini, belum ada satu pun jurnal fakultas-fakutas hukum di Indonesia yang terindeks scopus. Padahal Universitas di seluruh Indonesia memiliki 300-an lebih fakultas hukum. Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum Unhas ini pun melakukan kunjungan di berbagai Fakultas Hukum di Indonesia untuk melakukan bimbingan pengelolaan jurnal ilmiah. Berikut kutipan wawancara reporter Identitas, Khintan bersama Prof Irwansyah.
Apa yang Anda lakukan saat blusukan ke fakultas-fakultas hukum yang ada di Indonesia?
Blusukan itu dalam rangka membimbing, menstandarisasi pembuatan jurnal di fakultas hukum di seluruh Indonesia. Baik PTN maupun PTS. Itu sudah berjalan kira-kira dua tahun terakhir. Kita sudah membina kurang lebih 50 fakultas hukum di seluruh Indonesia. Kami membuatkan mereka jurnal baru yang berstandar internasional dan menggunakan nama jurnal yang berbahasa inggris. Namun, isinya masih tetap dalam bahasa Indonesia sesuai dengan kemampuan pengelolanya. Dengan nama bahasa inggris itu paling tidak universitas di luar negeri dapat mengaksesnya.
Kita lakukan workshop dengan praktik langsung. Mulai dari membimbing mereka membuat desain sampul yang bagus, struktur yang bagus, sampai tahap mendaftar di LIPI. Dua bulan kemudian, setelah jurnalnya terbit, kami datang membuat standar-standar dan menghadirkan dosennya untuk bagaimana jurnal ini di-back up, dibina, dan mendukung perkembangan jurnal.
Menariknya, karena semua yang kita bimbing itu menggunakan nama-nama kampusnya. Misalnya Haluleo Law Review (Sulawesi Tenggara), Tadulako Law Review (Sulawesi Tengah). Jadi kampusnya juga ikut terkenal melalui jurnal itu. Kan kalau jurnalnya bagus, maka kampus juga ikut bagus.
Saya dengar anda bahkan mengunjungi langsung universitas-universitas di Indonesia?
Sebab rata-rata perguruan tinggi di luar Jawa memiliki keterbatasan informasi, personil dan kapasitas. Sehingga pengelolaan jurnalnya itu pas-pasan. Jadi kami datang untuk menyampaikan kepada mereka bahwa jurnal itu bisa mendorong banyak hal seperti riset, proses akreditasi prodi, dan peringkat universitasnya. Selain itu, kalau kita undang ke Makassar, tidak banyak yang bisa datang. Paling satu atau dua orang. Sementara pengelola jurnal itu kan tim yang bekerja. Lima sampai tujuh orang.
Apa saja penyebab kurangnya publikasi jurnal di suatu perguruan tinggi, khususnya di fakultas hukum?
Selama ini jurnal minim perhatian, kebijakan pemerintahan, bantuan dana, dan minim bantuan pengelola. Tak hanya itu, di Indonesia, jurnal belum dijadikan sebagai arena persaingan dalam bidang keilmuan. Jurnal baru dilirik ketika seseorang ingin naik pangkat. Kemudian kebijakan secara keseluruhan bahwa jurnal hanya menjadi penampung tulisan-tulisan mahasiswa S1 saja.
Padahal idealnya jurnal itu adalah pertukaran gagasan, bagaimana kita mempublikasikan gagasan-gagasan baru, dan ide-ide baru. Para mahasiswa di luar negeri rata-rata mencari ide baru melalui jurnal. Sedangkan kita belum sampai ke situ. Jurnal juga dapat menjadi instrumen untuk mengukur kemapanan suatu perguruan tinggi. Sebab jika menunggu kemapanan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti doktor, profesor, dan guru besar. Kalau kita menunggu kenaikan pangkat dulu, itu membutuhkan waktu yang lama.
Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal tersebut?
Yang pertama, kebijakan pimpinan harus mendukung penuh publikasi jurnal ini. Selanjutnya, kebijakan dari segi akademik dibuat agar seluruh skripsi, tesis, dan disertasi mahasiswa wajib mengutip jurnal fakultasnya. Supaya seluruh mahasiswa mengenal jurnalnya. Dengan begitu, penilaian jurnal dari segi sanitasi pun ikut meningkat.
Ketiga, jurnal harus menjadi syarat dibukanya prodi S2 dan S3. Alasannya adalah naskah-naskah mahasiswa Pascasarjana memiliki tempat untuk ditampung. Di mana mau ditampung kalau nda ada jurnalnya? Jadi jangan hanya dijadikan syarat agar bisa mengikuti ujian tetapi juga sebagai syarat membuka prodi. Di samping itu, jurnal dapat menjadi sumber pendanaan baru bagi universitas.
Anda juga merupakan perintis jurnal Hasanuddin Law Review (Halrev) yang saat ini telah dikutip hingga beberapa kampus di luar negeri seperti Queensland University. Bisakah Anda menceritakan perjalanan Anda dalam merintis Halrev?
Kami dulu pernah beberapa kali mengelola jurnal penelitian dan sudah enam kali terbit, namun tidak terakreditasi. Kita anggap sudah maksimal ternyata belum. Dulu, jurnal belum menggunakan sistem online. Hanya cetak. Jadi terkadang untuk melakukan revisi itu susah apalagi kalau dokumen-dokumennya sudah di bawa ke Jakarta.
Meskipun begitu, kami pantang menyerah. Kami kemudian kembali mencoba untuk merintis jurnal online. April 2015 jurnal Halrev terbit. Dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun, kami berhasil mendapatkan akreditasi B pada April 2017. Kemudian, kami sudah mencoba mendaftar di indeks scopus setahun lalu, hanya saja belum ada jawaban.
Apa harapan anda kedepannya untuk jurnal fakultas hukum yang ada di Indonesia?
Saya minta jurnal ke depan dibangun sebagai sebuah sistem. Menjadi bagian dari pengembangan pendidikan tinggi. Sebab jurnal dapat mengembangkan riset. Jika riset berkembang, maka proses pendidikan juga berkembang. Riset yang bagus nantinya juga dapat menopang mata kuliah. Riset itu kemudian di muat dalam jurnal. Sehingga referensi yang digunakan tidak ketinggalan.
Ini juga butuh penguatan dari pimpinan bagaimana misalnya kebijakan akademik bagaimana agar seluruh tulisan mahasiswa berbasis jurnal, tugas-tugas program Pascasarjana merujuk pada jurnal, membuat kantor jurnal yang representatif dan jurnal dapat menjadi sumber pendanaan baru bagi fakultas. Jangan hanya riset bagus dikirim ke luar negeri, tulisan bagus dikirim ke luar negeri, lalu kita dapat apa?
Penulis: Khintan