Sebagai negara dengan pintu masuk yang beragam seperti bandara, pelabuhan, batas darat dan batas perairan menjadi salah satu negara yang berpotensi kuat menjadi transit serta tujuan bagi imigran. Sulitnya pemantauan Namun, tidak semua imigran memiliki dokumen resmi untuk menetap atau transit di Indonesia (legal), beberapa imigram yang ingin menetap atau transit tetapi tidak memiliki dokumen resmi (ilegal).
Imigran ilegal atau kerap disebut imigran gelap adalah orang yang masuk ke dalam suatu negara tanpa memenuhi persyaratan hukum untuk masuk ke negara tersebut. Makassar sebagai salah satu kota pusat perdagangan dan persinggahan pelayaran menjadi wilayah empuk tujuan bagi para imigran ilegal. Wilayahnya strategis dan cenderung dianggap sebagai tempat yang aman.
Kendati beberapa diantaranya mendapatkan izin tinggal di Indonesia, aktivitas mereka sangat terbatas, baik laki-laki maupun perempuan dewasa, dalam aturannya tidak dapat mencari nafkah.
Kantor Imigrasi Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Selatan mencatat 1999 imigran ilegal. Bahkan untuk wilayah Indonesia jumlahnya mencapi ribuan. Berbagai dampak yang akan dihadapi dengan masuknya imigran ilegal ke Indonesia, salah satunya pernikahan. Seperti beberapa kasus, terdapat pernikahan yang terjadi antara perempuan local dengan laki-laki imigran ilegal.
Hal ini pun menarik perhatian salah satu dosen dari Fakultas Hukum (FH) Unhas, Andi Syahwiah A Sapidin untuk melakukan penelitian terkait dengan dampak pernikahan laki-laki imigran ilegal dengan perempuan Warga Negara Indonesia (WNI).
Dalam wawancaranya yang dilakukan pada Rabu (1/6), Ia mengatakan bahwa permasalahan utama ketika mereka menikah adalah pernikahan mereka yang secara otomatis berlangsung sirih dimana jika lahir anak akan menjadi suatu konflik baru.
Pernikahan secara sirih berarti pernikahannya tidak terdaftarkan dan tidak memiliki dokumen dari negara. Mereka tidak dapat memiliki akta nikah secara resmi dikarenakan pihak laki-laki tidak memiliki dokumen dan tidak terdaftar secara resmi di Indonesia.
Kemudian, Ia menjelaskan permasalahan lainnya adalah terkait status kewarganegaraan anak mereka, “Bagaimana kemudian ketika mereka memiliki anak, hal yang menjadi permasalahan adalah status kewarganegaraan anak tersebut yang tidak jelas. Hal itu dikarenakan tidak dokumen resmi dari sang ayah karena merupakan imigran ilegal,” ujar Syahwiah.
Adanya pernikahan ini terjadi salah satunya disinyalir karena raut wajah imigran dianggap elok oleh beberapa perempuan lokal sehingga besar peluang untuk memperbaiki keturunan dari segi fisik.
Lebih lanjut, salah satu dosen Hukum Ketatanegaraan FH Unhas ini menjelaskan bahwa sebenarnya terdapat Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) yang bertugas dalam hal ini.
“Timpora ada dalam hal ini, akan tetapi hal tersebut kurang efektif. Apalagi pandemi menjadi salah satu faktor banyaknya hal yang kurang efektif, baik itu dalam pendanaan dan lainnya, ” lanjut Syahwiah.
Walaupun dalam keadaan ilegal, pemerintah tidak bisa memulangkan mereka ke negara asal. Hal itu dikarenakan sudah terdapat asas dari Persertikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengatur hal tersebut. Imigran yang meninggalkan negaranya dianggap memiliki persoalan tertentu di negara mereka seperti persoalan perang, agama, ras dan sebagainya sehingga mereka merasa terancam.
Kemudian, Ia melanjutkan bahwa hal yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan sosialisasi terhadap dampak dari pernikahan tersebut, terkait masalah hukum, dan pihak-pihak yang dapat dirugikan.
Syahwiah juga menjelaskan bahwa upaya pelarangan menikah merupakan hal yang tidak dapat dilakukan. Hal itu dikarenakan pernikahan merupakan hal pribadi dan pelarangannya dianggap sebagai suatu hal yang melanggar HAM.
Pemerintah hanya dapat melakukan sosialisasi terkait resiko menikah dengan imigran ilegal sehingga mereka mengetahui dan mempersiapkan diri dalam menghadapi resiko tersebut.
Ia berharap, agar pemerintah dapat lebih aktif dan membuat regulasi yang memang dapat diterapkan. “Kita harus melakukan upaya preventif untuk memberikan penyadaran dan pengetahuan terhadap masyarakat sehingga masyarakat dapat memahami dampaknya,” tutupnya.
Muhammad Mukram Mustamin