Kampus Harus Membela Pers Mahasiswa
Sepanjang Tahun 2019, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sedikitnya mencatat 53 jurnalis mengalami kekerasan saat peliputan aksi penolakan Rancangan Undang-undang (RUU) KPK dan RUU KUHP. Kekerasan tidak hanya menimpa para jurnalis media nasional, melainkan juga para jurnalis kampus, seperti yang dirasakan oleh tiga anggota Pers Mahasiswa (Persma) Gema Politeknik Negeri Jakarta.
Dilansir dari nasional.tempo.com, mereka bersama beberapa anggota dari Persma lain ditangkap dan dibawa ke Polda Metro saat meliput demonstrasi UU Cipta Kerja pada 9 Oktober 2020. Di kasus lain pada September 2020, Direktur Kepolisian dan Udara menangkap tiga jurnalis kampus saat meliput aksi penolakan tambang pasir di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan.
Lantas, kenapa jurnalis kampus kerap mendapatkan kekerasan? Bagaimana regulasi yang melindungi hak-hak pers kampus? Dan bagaimana sebenarnya etika meliput aksi unjuk rasa? Menjawab hal tersebut, simak wawancara khusus Reporter identitas, Santi Kartini bersama Ketua AJI Kota Makassar, Nurdin Amir via WhatApp Call, Jumat (16/10).
Bagaimana tanggapan Anda terhadap kekerasan pada jurnalis, seperti penangkapan tiga jurnalis kampus di Kodingareng?
Tiga mahasiswa yang ditangkap kemarin itu sebenarnya tengah melakukan proyek bersama. Mereka berkolaborasi melakukan peliputan terhadap penolakan penambangan pasir di Pulau Kodingareng. Menurut kami (AJI), para aparat kepolisian bersifat represif dan bertindak seenaknya. Padahal teman-teman jurnalis sudah menggunakan tanda pengenal. Penangkapan ini sangat bertentangan dengan pasal 8 UU Pers, di mana berisi tentang penjaminan jurnalis menjalankan profesinya.
Selain UU Pers pasal 8 tersebut, apakah ada regulasi khusus yang melindungi Persma?
Ini sebenarnya menjadi perdebatan. Jika kita lihat, memang selama ini Dewan Pers menganggap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) tidak berbadan hukum. Tapi teman-teman LPM jangan berkecil hati, meskipun tidak berbadan hukum, kami bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan aktivis pers lainya menilai LPM melaksanakan kerja-kerja dan menerapkan etika jurnalis. Dengan demikian, LPM dianggap sebagai jurnalis professional. Jadi tak perlu merasa kawatir dan harus tetap kritis dalam pemberitaan. Meski posisinya masih diperdebatkan, namun aktivis jurnalis tetap terlindungi berdasar pada pasal 28E ayat (3) UUD 1945 terkait kebebasan berpendapat. Ini juga sebenarnya berlaku terhadap semua warga negara untuk memperoleh dan menyebarkan informasi.
Dengan mengacu pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU 40 tentang Pers, apakah Persma bisa menuntut para pelaku kekerasan?
Pasal itu bisa membebaskan persma yang ditangkap dengan bantuan LBH. Tetapi yang perlu ditekankan ialah pertama, semua punya kewajiban untuk menyebarkan informasi. Kedua, penangkapan terhadap kerja-kerja jurnalistik itu adalah perlakuan yang sewenang-wenang. Dengan demikian, jurnalistik punya kerja yang jelas, sehingga ketika ada yang menghalangi bisa dipidana.
Lalu bagaimana keterlibatan pihak kampus terhadap aktivitas LPM?
Kampus atau birokrat juga harusnya sadar terhadap kerja-kerja jurnalis yang notabene bukanlah humas. Ketika terjadi kekerasan terhadap jurnalis kampus, universitas seharusnya melakukan upaya penyelamatan. Mahasiswa ibarat anak-anak mereka yang harus diurus dan dilindungi termasuk saat jurnalis kampus terkena kekerasan. Kewajiban itu berpedoman pada UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam regulasi itu tepatnya pasal 6 menyebutkan, kampus dituntut untuk menerapkan prinsip demokrasi dan berkeadilan serta tidak diskriminasi dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Konteks lainnya, kampus yang menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi mesti menjadi tempat memanusiakan manusia, sehingga lembaga apapun yang ada di dalamnya harus dibimbing.
Lantas, bagaimana cara menghindari kekerasan ketika peliputan terutama saat aksi unjuk rasa ?
Pertama harus memahami kondisi peliputan dan pintar membaca keadaan. Lalu, menyediakan peralatan keamanan seperti helm. Usahakan jumlah jurnalis ke lokasi aksi minimal dua orang dan selalu mengabarkan perkembangan kondisi di lapangan. Jadi ketika ditangkap, pihak redaksi dapat melaporkan ke pihak yang bisa mendampingi. Selain pintar menjaga diri, para jurnalis juga mesti memahami isu aksi sehingga isi berita yang dihasilkan tetap kritis. Intinya, teman-teman LPM harus memperhatikan standar jurnalistik, sehingga tidak keluar dari konteks utama.
Apa peran AJI untuk mengurangi dan membantu para jurnalis yang mendapatkan tindak kekerasan?
AJI terus mengampanyekan hak-hak jurnalis. Kami juga bekerja sama dengan LBH untuk menyelamatkan teman-teman yang mendapatkan tindak kekerasan dan melakukan pendampingan hukum.
Bagaimana AJI melindungi dan mendukung kerja-kerja jurnalis, apa saja yang dilakukan?
Ada tiga tujuan utama AJI. Pertama, kita menyuarakan hak-hak para jurnalis. Kedua, meningkatkan dan memberikan kesadaran akan perannya tersebut melalui pelatihan-pelatihan. Terakhir, memberikan bekal kritis dalam melakukan peliputan atau pembuatan berita. Jadi ketika jurnalis itu paham akan peran dan etikanya, maka mereka tidak akan takut saat mendapatkan diskriminasi.
Nama:
Tempat tanggal lahir: Desa Butulappa, Kabupaten Pinrang, 1980.
Pendidikan: Program Diploma 3 Bahasa dan Pariwisata Universitas Hasanuddin
Pengalaman Organisasi: Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Unhas, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia DK Makassar.
Jejak Karir: Kontributor Trans TV Biro Makassar, Kotributor VE Channel, Produser News dan Program di tv Lokal Makassar, Kontributor DW Indonesia, Penulis Lepas, kini menjadi Ketua AJI Makassar.
Discussion about this post