Setelah hampir dua jam berlayar, akhirnya pukul 11:41 kapal pun sandar di Pelabuhan Laut Ba’a, Rote. Sepuluh menit kemudian, kami pun turut serta antri untuk turun dari kapal. Tepat pukul 11:54, kaki pun berpijak di Pulau Rote.
Pulau Rote adalah satu dari empat titik nol kilometer Indonesia berada. Mulai dari barat berada di Sabang, timur ada di Merauke, utara ada di Miangas, dan selatan ada di Rote.
Sungguh menjadi kebanggan tersendiri ketika bisa menapakkan kaki di pulau ujung selatan negeri ini. Terlebih kesempatan itu lahir bertepatan dengan bulan perayaan hari kemerdekaan Indonesia, sehingga aku bisa menyaksikan penyambutan hari kemerdekaan di ujung negeri ini. Betapa Indonesia menjadi kebanggaan di hati rakyatnya, meski hidup di daratan terluar negara.
Setelah turun dari kapal, aku beserta dua temanku, Bowo dan Ryas berjalan keluar dari pelabuhan sembari menunggu Pak Carles. Pak Carles sendiri merupakan keponakan dari Kepala Urusan Pemerintahan Desa Jenilu, Pak Moris. Kami mengenal beliau sewaktu mengikuti program KKN Tematik Atambua.
Tak lama, kami pun bertemu dengan Pak Carles tepat di depan pintu gerbang masuk pelabuhan. Ia lalu mengajak kami untuk singgah di rumahnya terlebih dahulu. Akhirnya aku dan Ryas menggunakan jasa ojek untuk berangkat, dan Bowo ikut dengan Pak Carles singgah mengambil motor trail yang akan kami sewa berkeliling di Rote. Terutama untuk mengunjungi Titik Nol Kilometer Selatan Indonesia.
Pukul 12:49 waktu setempat, kami pun tiba di rumah Pak Carles. Di sini kami terlebih dahulu makan siang dan menyimpan beberapa barang bawaan. Pak Carles juga masih menghubungi beberapa kenalan untuk disewa motornya. Baru ada satu motor, sementara kami butuh dua motor. Tidak lama kemudian usai kami makan, Kak Hasyim datang menemui kami. Kak Hasyim adalah kenalan Pak Carles yang siap kami pakai motornya untuk pergi.
Sebelum berangkat kami sempatkan cerita-cerita. Akhirnya kak Hasyim pun bersedia untuk ikut menemani kami pergi. Kak Hasyim ini sebenarnya memiliki darah orang Bone Sulawesi Selatan. Orang tuanya berasal dari Bone, tapi beliau lahir dan besar di Kupang, dan sekarang bertugas di Rote. Dari cerita yang ia bagikan, sebagai darah Bone Kak Hasyim sendiri bahkan belum pernah sekali pun datang ke Bone atau pun Makassar.
Pukul 13:30 kami memulai perjalanan menuju Titik Nol Kilometer Selatan Indonesia. Letaknya berada di Tanjung Pole, Desa Dodaek, Kecamatan Rote Selatan, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya sekitar 30 km dari Kota Ba’a. Aku bersama dengan Bowo sementara Ryas dengan Kak Hasyim. Kami berangkat menggunakan motor trail dan matic.
Jalan menuju lokasi cukup menantang dan pastinya memuaskan bagi yang senang dengan tantangan. Secara fisik, kondisi jalan menuju ke sana sangatlah rusak. Meskipun bisa diakses dengan mobil atau motor, aku sarankan agar menggunakan motor saja, terutama motor trail. Banyak lubang yang jika tidak hati-hati kita bisa terjatuh. Kondisinya yang naik turun gunung menambah ekstremnya perjalanan. Bahkan kami bersyukur karena datang pada saat musim panas, seandainya musim hujan mungkin jalanan akan sangat licin.
Sepanjang perjalanan, mata cukup dimanjakan dengan indahnya panorama alam Pulau Rote. Baik itu bentangan persawahan yang memberi lanskap alami, kawasan hutan, keindahan pantai dengan pasir putih dan aktifitas penduduk setempat. Hal ini bisa mengimbangi kerasnya jalanan yang mesti dilalui untuk sampai di Titik Nol Kilometer ini.

Tiba di Desa Dodaek, kami berjalan kaki lagi untuk mencapai lokasi Titik Nol Kilometer Selatan berada, sebab sedang ada pengerjaan jalan. Sehingga jalan untuk ke sana ditutup. Beberapa warga menyarankan kami berjalan kaki sekitar 30 menit lagi lewat pantai. Kami diam sejenak sembari saling menatap, seolah memberi kode sepakat atau tidak. Akhirnya tidak lama kemudian, kami pun mengikuti saran mereka. Tanggung mau putar balik, sementara titik tujuan sedikit lagi. Motor pun kami parkir baik-baik lalu memulai perjalanan.
Kami berjalan menyusuri pantai, tebing, dan perbukitan disertai drama salah jalan sebelum tiba di lokasi. Tepat pukul 15:30 kami pun berada di lokasi Titik Nol Kilometer Selatan Indonesia. Rasa lelah berjalan pun hilang seketika. Yang ada hanya kepuasan dan bangga bisa mencapai bagian titik selatan negeri ini.
Kondisi waktu kami tiba pertama, terlihat hanya ada dua buah pilar dan satu tiang bendera berkarat tanpa bendera terikat di ujungnya. Pilar tersebut adalah penanda titik nol yang dipasang pada tanggal 7 Oktober 1992 serta satu lagi pilar jejak kaki. Konon itu jejak kaki Kapolres Rote Ndao masa bakti 2015 yang sengaja diabadikan sebagai penghormatan warga karena datang berkunjung.

Kondisi demikian di atas, mulai dari tiang bendera yang berkarat dan pilar yang disemen seadanya, menjadi sebuah penampakan yang mengisyaratkan pesan jarangnya perhatian terhadap tempat ini. Padahal tempat ini adalah titik penting batas negara dan menjadi potensi wisata yang besar. Setidaknya ketika berada di tempat ini mata akan dimanjakan dengan suguhan keindahan alam ciptaan Tuhan.
Deretan karang dengan pesisir pantai yang menghadap langsung ke Samudera Hindia enjadi landscape bagi Anda yang senang mengabadikan moment dengan latar alami. Hal ini sangat instagramable untuk menghiasi layar media social.

Sebelum mengabadikan moment, kukeluarkan bendera merah putih dari dalam ranselku. Sementara itu, Ryas dan Kak Hasyim melepas tiang bendera untuk mengikat kembali bendera merah putih. Terakhir Aku, Ryas, dan Kak Hasyim menancapkan kembali tiang bendera. Sementara Bowo mengabadikan moment lewat foto dan video.
Bendera merah putih pun berkibar di Titik Nol Kilometer Selatan Indonesia. Hormat padamu negeriku, Indonesia. Kupersembahkan pengalaman ini sebagai kado kemerdekaan yang ke 74 tahun untuk kemudian bisa dibaca oleh saudara, sebangsa, dan setanah airku. Semoga kemudian bisa menjadi bahan refleksi ataupun sedikit perkenalan kondisi di wilayah Selatan terluarmu.
Abdul Masli
Mahasiswa Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Angkatan 2015
Discussion about this post