Senin, 8 Desember 2025
  • Login
No Result
View All Result
identitas
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
No Result
View All Result
identitas
No Result
View All Result
Home Headline

Kisah Kamisan yang Tak Pernah Padam

3 Oktober 2025
in Headline, Resensi
Buku Kamisan.

Buku Kamisan.

Editor Nurfikri

Pernahkah kita bertanya, mengapa setiap Kamis di depan Istana Negara selalu tampak payung-payung hitam terbuka? Bagi banyak orang, itu bukan sekadar simbol, melainkan menjadi saksi bisu dan penanda sejarah kelam yang hingga kini belum terselesaikan.

Luka tersebut berasal dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang pernah terjadi di Indonesia. Tragedi itu meninggalkan bekas mendalam dan terus menghantui kesadaran kolektif bangsa.

BacaJuga

Menyelami Tradisi Gowok Melalui Perjalanan Hidup Nyi Sadikem

Berebut Jenazah, Kisah Anak yang Diperebutkan Agama

Kejadian-kejadian ini bukan hanya sekadar cerita masa lampau. Mereka menjadi warisan perasaan getir yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

Setiap kisah tentang penyiksaan, penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang, hingga pembungkaman suara rakyat tidak hanya menyisakan bekas luka bagi individu, tetapi juga meninggalkan duka bersama bagi seluruh masyarakat.

Rasa sakit itu seakan tak pernah benar-benar hilang. Ia terus membayangi kehidupan sipil, dan menjadi pengingat abadi bahwa keadilan serta kemanusiaan tidak boleh diabaikan. 

Kesedihan dan luka tersebut terekam jelas dalam buku berjudul Kamisan. Membaca karya ini seakan menempatkan pembaca di tengah-tengah keluarga korban, mendengar langsung kisah mereka yang selama ini sering terpinggirkan atau luput dari perhatian publik. 

Buku ini disusun oleh puluhan penulis dengan latar belakang berbeda. Ada suara keluarga yang menuturkan kehilangan mereka, aktivis pejuang HAM, bahkan seorang akademisi. 

Semua tulisan berpadu menjadi kesaksian dan refleksi yang saling melengkapi, menyingkap bagaimana pelanggaran HAM pernah terjadi, serta bagaimana jejaknya masih terasa hingga saat ini.

Selain mendokumentasikan kisah tragis, buku ini juga memaknai keberadaan Aksi Kamisan yang telah berlangsung sejak 2007. Gerakan diam tersebut kini sudah memasuki usia 18 tahun. Tidak ada yang tahu sampai kapan para peserta akan berdiri di bawah payung hitam, di depan gedung-gedung megah negara, menuntut perhatian dan kepedulian pemerintah. 

Menurut Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) sekaligus penulis buku ini, M Ian Hidayat, Kamisan menjadi sarana untuk menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM, termasuk perjuangan warga di Bara-Baraya, Takalar, Lea-Lea, dan wilayah lainnya. Selain itu, aksi tersebut berfungsi sebagai pengingat bagi penguasa agar tidak mengulangi kesalahan sejarah dan terus melindungi hak-hak rakyat.

Selama hampir dua dekade, Kamisan masih tetap hadir dan seperti bayangan yang tidak pernah menghilang karena senantiasa menghantui sekaligus menolak hanyut dalam kediaman palsu. Tulisan-tulisan dalam buku ini juga ibarat langkah-langkah kecil yang menentang arus. 

Bagi para peserta, gerakan itu ibarat duri menusuk sekaligus mimpi buruk yang terus mengusik wajah dan jantung kekuasaan. Aksi ini sudah berlangsung ratusan kali serta menjadi simbol perlawanan yang tidak boleh padam.

Dalam catatannya, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), Sumarsih menceritakan bagaimana Aksi Kamisan menginspirasi generasi muda di lebih dari 72 kota untuk berpikir kritis, meskipun tidak semuanya berjalan konsisten. Melalui pengalamannya, pembaca diingatkan kembali pada pelanggaran HAM yang terjadi pada 1998. 

Saat itu, Wawan dan teman-temannya menjadi korban penembakan aparat ketika mencoba menolong orang lain yang juga terkena tembakan di kawasan kampus. Kisah ini memperlihatkan betapa keberanian dan kepedulian antar sesama kerap menuntun individu kepada risiko besar.

Sementara itu, Suciwati, istri Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM, menceritakan peristiwa tragis saat suaminya diracuni pada 7 September 2004, ketika sedang dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda, untuk melanjutkan studi S2 di Universitas Utrecht. 

Luka dari peristiwa itu begitu dalam bagi Suciwati yang juga merupakan pejuang HAM. Bagi dirinya, Munir adalah sosok yang tak pernah lelah dalam memperjuangkan keadilan, dari Sabang hingga Papua. Ia mengajarkan kita bahwa memperjuangkan HAM tidak mengenal batas maupun waktu.

Tulisan Suciwati, yang juga pernah diterbitkan di Tempo, menggambarkan kegelisahan dan keletihan para korban serta keluarga mereka. Meski mereka semakin menua dan satu per satu meninggalkan dunia, namun perjuangan tidak boleh berhenti. 

Ada rasa cemas yang terus menyelimuti disertai dengan ketakutan bahwa upaya mereka akan sia-sia karena kecenderungan melupakan atau menormalkan kembali kejahatan kemanusiaan yang semakin menguat. Publik pun tampak semakin abai terhadap tragedi masa lalu.

Buku Kamisan mengingatkan kita bahwa meski tragedi HAM sering kali tersembunyi atau terlupakan, suara-suara yang menuntut keadilan tetap hidup. Mereka menuntun generasi sekarang untuk belajar dari pengalaman masa lalu, menjaga luka agar tidak menjadi sejarah bisu, serta terus mengingatkan pentingnya keberanian, kesadaran, dan kepedulian terhadap sesama. 

Ismail Basri

Tags: Istana NegaraKamisanPelanggaran HAMResensi Buku
ShareTweetSendShareShare
Previous Post

Ganda Putra Unhas Sabet Perunggu di POMNAS XIX Jawa Tengah

Next Post

Fenomena Rojali dan Rohana dari Kaca Mata Psikologi

TRENDING

Liputan Khusus

Ketika Kata Tak Sampai, Tembok Jadi Suara

Membaca Suara Mahasiswa dari Tembok

Eksibisionisme Hantui Ruang Belajar

Peran Kampus Cegah Eksibisionisme

Jantung Intelektual yang Termakan Usia

Di Balik Cerita Kehadiran Bank Unhas

ADVERTISEMENT
Tweets by @IdentitasUnhas
Ikuti kami di:
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube
  • Dailymotion
  • Disclaimer
  • Kirimkan Karyamu
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
© 2025 - identitas Unhas
Penerbitan Kampus Universitas Hasanuddin
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah

Copyright © 2012 - 2024, identitas Unhas - by Rumah Host.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In