“Beberapa anak memang terlahir beruntung di tengah keluarga yang berkecukupan materi. Sisanya lebih beruntung karena diberi hati dan tulang yang kuat untuk berusaha sendiri.”
Kutipan tersebut menggambarkan bagaimana kesenjangan sosial terjadi di Kota Jakarta. Di satu sisi, ada orang bisa menikmati nasi ayam seharga 80 ribu di sebuah restoran ber-AC, sementara di sisi lain, ada yang harus puas menyantap nasi ayam sisa kemarin di emperan yang penuh debu dan asap kendaraan.
Melalui novel Sisi Tergelap Surga, Brian Khrisna mencoba menyoroti potret keras kehidupan di pinggiran ibu kota, menggemakan suara mereka yang terpinggirkan dari sorotan dan kemewahan.
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, novel ini menyajikan cerita yang berlatar perkampungan Jakarta. Meski fiktif, kisahnya berhasil merekam realitas di lapangan. Pembaca diajak menyusuri lorong-lorong sempit, mencium aroma got yang meluap, dan mendengar riuh televisi tua yang menyala sepanjang hari.
Keragaman latar belakang karakter juga menjadi kekuatan utama novel ini. Ada preman kampung yang ternyata punya sisi lembut, waria yang terus bergulat dengan dilema identitasnya, hingga pembersih toilet mal yang justru paling memahami arti hidup bersih.
Tak hanya itu, ada pula curanmor, penjual tahu keliling dijuluki “Jablay”, serta badut ayam yang menjajakan keceriaan sambil menahan lapar. Semua karakter hadir dengan ciri khas masing-masing dan mendapat porsi peran yang cukup merata.
Namun tentu saja, ada beberapa tokoh yang lebih menonjol dan kerap disebut meskipun tidak sedang berada di bab mereka. Hal ini membuat kesan “saling kenal” di antara tokoh terasa wajar dan autentik, seperti kehidupan nyata di kampung-kampung padat lainnya.
Di lingkungan kumuh tempat cerita ini berlangsung, “surga” yang selama ini dibayangkan tak pernah benar-benar ada. Yang hadir hanyalah bayang-bayang kegelapan, kemiskinan, dan rasa putus asa.
Di sana, banyak orang yang terpaksa memilih jalan hidup yang dianggap tak bermoral. Bukan karena mereka menginginkannya, tetapi karena pilihan itu adalah jalan satu-satunya yang tersisa.
Sebagai contoh Gofar, seorang pencuri motor yang kerap lolos dari kejaran massa. Ia tidak mencuri untuk kesenangan, melainkan demi membeli obat untuk ibunya yang sakit parah. Setiap kali melarikan diri, ia tak hanya membawa sepeda motor, tetapi juga doa dalam hatinya agar sang ibu bisa sembuh.
Ada pula Juleha, pekerja malam yang terpaksa menerima uang dari pekerjaan “kotor” agar anaknya tetap bisa makan. Pilihannya bukan antara baik dan buruk, melainkan antara hidup atau mati.
Lalu ada Karyo, manusia silver yang kulitnya rusak karena terlalu sering disiram cat dan terpanggang matahari. Ia tetap berdiri di lampu merah demi bisa bertahan sehari lagi.
Jawa dan Pulung pun tak kalah getir. Dua sahabat ini menjajakan nyanyian dan botol plastik bekas demi menukar sebotol minuman energi murah yang mereka nikmati bersama sebagai bentuk perayaan hidup.
Karakter-karakter tersebut hanyalah sebagian kecil dari banyaknya potret kehidupan keras yang ditampilkan Khrisna. Walaupun mayoritas dari mereka tidak memiliki pekerjaan yang “layak” menurut standar sosial, buku ini menolak untuk menghakimi orang lain.
Justru sebaliknya, pesan kuat yang terus disuarakan adalah jangan mudah menghakimi cara orang bertahan hidup. Kita mungkin sering bertanya-tanya, mengapa seseorang memilih jalan hidup tertentu? Mengapa mereka melakukan tindakan yang dianggap salah? Jawaban dari semua itu sederhana, karena mereka tidak punya pilihan lain.
Lebih dari sekadar kisah tentang kemiskinan, novel ini merupakan refleksi atas kesenjangan sosial yang masih lebar. Ia menyampaikan pesan bahwa tak ada satu pun manusia lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain hanya karena pekerjaannya. Semua orang pada dasarnya setara dalam hak, harapan, dan perjuangan.
Akhir kata, Sisi Tergelap Surga menjadi pengingat bahwa tidak semua orang memulai hidup dari garis yang sama. Bertahan di ibu kota tak selalu soal ambisi dan karier, tetapi juga soal mencari tempat untuk sekadar hidup dengan bermartabat. Bagi siapa pun yang kini tengah berjuang di Jakarta dengan segala tekanan dan kenyataan, pahitnya semoga lelahmu suatu hari terbayarkan.
Wahyu Alim Syah
