Melakoni usaha mulai dari menjual, jasa fotokopi, hingga sukses jadi pengusaha donat.
Mahasiswi Psikologi, Fakultas Unhas, Fauziah Nurhidayah memulai usaha donat dari suatu ‘ketidaksengajaan’. Perempuan yang hobi memasak makanan berat ini tak tahu pasti dirinya bisa beralih ke makanan ‘ringan’ seperti kue. Hingga akhirnya hobi membuat kue itu mengantarkannya pada formula donat yang pas di lidah teman-temannya.
“Saya sangat suka mengeksplor bumbu dapur karena kebetulan hobi saya itu memang masak makanan berat. Tiba-tiba saja, saya senang membuat kue, salah satunya donat. Setelah mengikuti berbagai macam kelas dan pelatihan, saya pun mendapatkan formula donat yang pas. Lalu, saya meminta teman untuk mencicipi donat buatan saya dan ternyata mereka suka,” kata dara kelahiran Makassar, 21 Januari 1994 ini.
Berkat dorongan teman-temannya, ia mulai merintis usaha donat itu. Seperti kata pepatah, sesuatu yang besar pastilah dimulai dari satu langkah kecil. Hal itu juga dialami anak dari pasangan Indra Dewi Puspita dan alm. Kamus Sinrang ini. Ia merintis bisnis donat itu dengan menjajakanya di fakultas. Setelah itu, ia mulai merekrut reseller di setiap fakultas.
“Jadi saya jual ke mereka misalnya seribu rupiah, nah nanti terserah mereka mau jualnya berapa. Mulanya, para reseller itu boleh mengembalikan donat jualannya kalau memang masih ada yang tersisa. Terus, sisanya itu ya saya berikan ke mereka. Terserah mau mereka apakan,” tutur Uci sapaan akrabnya
Seiring berjalannya waktu, Uci merasa sistem yang diterapkannya tidak terlaksana dengan baik. “ Kerena biasanya ada reseller yang mengambil satu kotak tapi lakunya cuma dua. Rasa-rasanya itu tidak masuk akal. Misalnya mereka ambil sekotak dan lakunya hanya dua biji,” pikirnya.
Melihat keganjilan yang biasa dilakukan beberapa reseller itu, ia memutuskan untuk mengubah sistem penjualannya. Ia hanya memberikan donat sesuai dengan jumlah pesanan oleh reseller.
“Jadi habis atau tidak donat yang mereka pesan, itu menjadi tanggung jawab mereka,” ucapnya saat ditemui di jurusan Psikologi, Jumat (25/1).
Perempuan yang mengenakan kerudung syar’i saat ditemui identitas kala itu juga bercerita, dari sistem reseller yang ia terapkan, donat jualannya makin dikenal di kampus. “Sampai-sampai, di fakultas itu, saya sudah tidak dipanggil dengan nama lagi. Tapi, donat atau kak donat,” kenangnya sambil sumringah.
Selanjutnya, teman-temannya menyarankan agar usaha donat itu ia ikutkan dalam Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Bak gayung bersambut, proposal usahanya diterima dan dia diberikan biaya untuk memperluas usaha donatnya. Akhirnya, di tahun 2017, ia mendirikan gerai Zian Bakery di BTP.
Gerai yang telah berdiri hampir dua tahun itu kini mampu menghasilkan Rp. 50 hingga Rp. 60 juta setiap bulannya. Dalam menjalankan usahanya itu, Uci dibantu enam orang pegawai. Ia berharap agar ke depannya, dia beserta pegawainya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan varian rasa donat Zian Bakery. Tak hanya itu, ia berencana menambah varian pilihan di Zian Bakery.
“Jadi kami berencana menambah pilihan seperti cake dan burger. Kemudian, kami juga akan membuka dua cabang Zian Bakery lagi,” kata mahasiswi angkatan 2013 tersebut.
Pandai Memanfaatkan Peluang yang Ada
Sebelum memulai usaha donat tersebut, Uci telah mencoba beberapa usaha yang lain. Mulai dari menjual gorengan hingga menyediakan jasa fotokopi. Saat masih di semester awal, kebanyakan jadwal mata kuliah Uci dilaksanakan pada pagi hari. Dari situ ia melihat suatu peluang bisnis.
“Karena masuk kuliahnya pagi sekali, pasti teman-teman saya belum sempat sarapan. Oleh sebab itu, saya berpikir untuk menjual jalangkote dan gorengan ke teman-teman saya itu,” ungkapnya.
Saat itu, ia membeli jalangkote dan gorengan di Wasabbe dengan harga seribu rupiah. Lalu, ia menjualnya dengan harga dua ribu. “Lumayan, misalnya saya bawa 20 kue, kan saya bisa dapat tambahan uang jajan Rp. 20 ribu,” tuturnya dengan nada penuh semangat.
Akan tetapi, usaha itu tidak bertahan lama. Semakin naik semester, jadwal mata kuliah paginya mulai berkurang. Di sisi lain, semakin banyak dosen menyarankan untuk memfotokopi buku mata kuliah yang akan digunakan selama satu semester.
Uci mempercantik penampilan sampul buku yang ia fotokopi dengan men-scan-nya. Teman sekelasnya pun tertarik. Lambat laun, mereka meminta tolong agar Uci memfotokopi buku mereka. Dengan begitu, Uci kerap kali membawa buku yang banyak untuk diperbanyak di tempat fotokopi dekat rumahnya.
Mahasiswi angkatan 2013 itu pun ditawari kerjasama oleh pemilik tempat fotokopi langganannya. “Harga fotokopi per lembar itu Rp. 150, tetapi saya hanya dikasi Rp. 110. Dari situ, saya dapat untung Rp. 40. Kecil memang, tapi buku yang biasa saya fotokopi itu bisa mencapai seribu lembar,” terangnya.
Sedari kecil, Uci memang memiliki jiwa berwirausaha. Terang saja, jepitan yang biasa didapatkan di makanan ringan berhadiah, ia kumpulkan lalu ia jual ke teman-temannya. Tak heran jika usaha yang ia rintis sekian tahun bisa sesukses sekarang.
Khintan
Discussion about this post