Dalam rangka merealisasikan tujuan nasional yang tercantum pada Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) melahirkan kebijakan baru, yaitu kebijakan Kampus Merdeka. Kebijakan yang merupakan kelanjutan dari kebijakan Merdeka Belajar tersebut berisi empat amanah yang telah diatur sebelumnya pada Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Seperti yang telah ketahui bahwa perombakan kebijakan yang terjadi di dunia pendidikan dewasa ini menandai adanya inovasi dan kemajuan pola pikir. Namun, dengan berbagai aspek positif yang mengikutinya, keempat kebijakan tersebut tidak berarti luput dari kekurangan. Patut dikhawatirkan, kebijakan yang digagas oleh Nadiem Anwar Makarim BA MBA ini akan mengalami kendala terkait jaminan pendanaan dan implikasi dari mahasiswa itu sendiri.
Pemberian kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan yang merdeka dari birokratisasi pun ditakutkan akan menjadi bumerang bagi universitas. Terlebih beberapa Perguruan Tinggi (PT) belum mencakup standarisasi yang diinginkan.
Namun, Nadiem menegaskan bahwa kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka tersebut memberikan jawaban konkrit atas tuntutan kepada Perguruan Tinggi untuk mencanangkan dan melaksanakan proses pembelajaran yang inovatif sehingga terciptanya kultur belajar yang tidak mengekang dan sesuai minat mahasiswa. Lalu, bagaimana pandangan sivitas akademika Unhas mengenai kebijakan Kampus Merdeka?
Muliana Mursalim, mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Unhas, angkatan 2016.
Berbicara mengenai pro dan kontra, sebenarnya aspek yang perlu untuk ditanyakan adalah kesiapan kampus itu sendiri. Jangan sampai kampus mengalami kecatatan pengimplementasian. Oleh karenanya, saya mengira diperlukan adanya uji coba, mengingat dari banyaknya kriteria, kita memiliki konsekuensi tertentu. Kebijakan ini ada baiknya untuk tidak langsung diberikan secara keseluruhan kepada semua kampus, kecuali kampus yang dituju untuk melaksanakan kebijakan tersebut bisa dijadikan acuan. Ditakutkan kebijakan ini tidak cocok untuk diterapkan di suatu kampus karena beberapa faktor. Saya harap pemerintah tidak lagi mengeluarkan kebijakan dengan terburu-buru dengan mempertimbangkan dan melakukan pengkajian lebih mendalam.
Rian Alfaridzi, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas, angkatan 2019.
Menurut saya kebijakan kampus kampus merdeka yang baru ini adalah perubahan pesat yang pemerintah lakukan untuk pendidikan Indonesia. Kebijakan ini adalah wujud upaya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk suatu perubahan yang berarti. Mengingat mahasiswa diberikan kebebasan untuk untuk mempelajari mata kuliah yang tidak hanya di jurusannya itu sendiri tentu memberikan dampak positif. Kita semua membutuhkan perubahan agar tidak hanya stuck di situ-situ saja. Perubahan adalah hal normal, khususnya di bidang pendidikan itu. Kalaupun kedepannya program itu berhenti di tengah jalan, setidaknya dari program yang telah dijalankan, kita dapat mengambil poin-poin positif dan mengevaluasi hal-hal yang yang tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat.
Takdir Cinta, Ketua Forbes PKM Unhas.
Saya pribadi kurang sepakat dengan kebijakan Kampus Merdeka. Menurut saya, kebijakan yang satu ini justru meningkatkan sistem kapitalisasi dalam kampus. Mengingat adanya pencabutan dana dari pemerintah yang diberikan kepada perguruan tinggi, maka akan lebih mudah lagi bagi Perguruan Tinggi untuk menaikkan UKT mahasiswa. Terang saja, hal ini tentu merugikan mahasiswa yang memiliki taraf perekonomian menengah ke bawah, seolah perkuliahan hanya ditujukan bagi mereka yang memiliki finansial di atas rata-rata. Saya kira Kemendikbud perlu menilik fakta seringnya perubahan kebijakan dalam pendidikan tanpa mempertimbangkan untung dan rugi. Sejak awal saya tidak sepakat dengan adanya kebijakan ini, jika kebijakan ini tetap berjalan dan tiba-tiba berhenti di tengah jalan dan tidak berlanjut, maka hal ini akan menjadi masalah besar yang pastinya merugikan banyak orang. Saya berharap pendidikan di Indonesia semakin lebih baik, terlebih atas sistem yang dianut sehingga semua kalangan dapat bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi tanpa terkendala biaya hingga tercapainya kesetaraan dalam hal pendidikan.
Ade Ilham Tamara Kurniawan, Mahasiswa Berprestasi Unhas (MAWAPRES) Unhas 2019.
Saya pribadi merespon positif kebijakan ini dan mendukungnya agar mampu terealisasi. Jika kebijakan ini saya teropong melalui kacamata mahasiswa, merdeka secara diksi berarti mahasiswa merdeka dalam meramu mata kuliah, mengembangkan skill, pengalaman, dan kreatifitas. Baik itu melalui, magang, pertukaran pelajar, perlombaan atau kompetisi antar mahasiswa sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan mahasiswa. Apalagi berdasarkan kebijakan magang untuk mahasiswa yang berminat akan dapat feedback setara dengan 20 SKS per semester sampai 3 semester. Perlu diingat, tidak menutup kemungkinan kebijakan ini tanpa kekurangan. Hal utama yang meresahkan adalah jaminan funding. Banyak mahasiswa yang tertarik untuk magang, sayangnya kendala selalu berkutat pada pendanaan dan sponsorship. Kedua, jika orientasinya adalah magang (industri), saya justru menakutkan kebijakan masing-masing PT dalam menanggapi hal ini akan terfokus pada magang, kompetisi-kompetisi, dan pertukaran pelajar. Sementara fungsi kampus sebagai tempat mahasiswa mengasah kreativitas dan soft skill justru dikesampingkan sehingga mahasiswanya ditakutkan malah makin banyak mahasiswa yang tidak berminat mengikuti kompetisi-kompetisi antar mahasiswa.
Prof Dr Ir Jamaluddin Jompa, MSc, Dekan Sekolah Pascasarjana Unhas.
Sebagai universitas yang berada di bawah kementrian, kebijakan itu perlu diamankan. Substansi perihal kampus merdeka ini nyatanya sudah lama dicanangkan. Kebijakan ini bukanlah hal yang baru dari segi global. Beberapa kampus modern bahkan telah mengadopsi jauh lebih lama. Di beberapa negara dalam kondisi tertentu liberal art, yaitu fakultas yang tidak memiliki program studi. Berbeda halnya di Indonesia, liberal art dinilai terlalu ekstrem. Saya menyambut kebijakan itu secara positif. Mengingat perubahan itu tidak mudah sehingga yang perlu kita lakukan adalah kembali belajar dan menempuh strategi kebijakan itu dengan kondisi tiap-tiap perguruan tinggi.
Ini adalah tantangan baru sehingga kita menemukan equilibrium memaknai kata merdeka dan menjadi lebih baik. Nyatanya, Indonesia telah kalah telak dari aspek kemajuan diakibatkan generasi kita menyukai hal-hal tradisional. Era berubah, kita harus berbenah.Kita harus memberikan peluang bagi generasi muda sehingga tidak terbelenggu atas kurikulum sehingga tidak mampu bersaing, kita diharuskan bekerja sama dengan banyak pihak. Saya tidak mau melihat generasi muda kita pesimis. Jika perubahan itu tidak sesuai pendapat kita itu adalah hal yang normal. Tapi tentu kita tidak bisa menilai dari sisi negatif saja, kebijakan Kampus Merdeka ini memberikan banyak feedback positif. Bertahan pada zona nyaman itu akan menenggelamkan.
Tim Laput