Musim yang aneh membuatku mendekap sepi, di sepanjang jalan udara terasa lembut sesekali angin berlalu, membuat dedaunan melambai padaku. Embun pagi menyamarkan lunyai kota ini, aku merasakan dingin menembus kulitku. tapi tak apa, lebih baik begini! Aku merasa hidup ketika kesibukan menjadi terhenti sejenak, ambil nafas saat polusi belum berkembang biak. “Betapa sejuknya”. Aku meneruskan langkahku memasuki gang sempit, menuju kontrakan baru di kota yang teramat besar. Saking besarnya aku hampir tersesat seperti anak anjing yang tak bertuan.
Kemarin aku baru pertama kali menginjakkan kaki di sini, kesannya bagian bumi yang kupijaki ini sangat lelah, sesak akan aktivitas kendaraan yang berlalu lalang berlomba-lomba membuat suara bising. Sepanjang jalan tampak beberapa pabrik yang sibuk mengurusi perut keroncongan, tapi sayang, hasilnya tidak merata. Banyak juga manusia di sudut jalan yang mengemis untuk mengisi perut yang malang. Tapi menurutku pengemis ini cukup baik dari pada manusia-manusia yang ambisius dengan sadar menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri.
“Sudahlah”, aku tepiskan semua sentimen dari pikiranku. Lagi pula siapa yang menjamin bahwa aku tidak akan seperti mereka. Hari ini mungkin aku merasa muak dengan kehidupan yang tujuannya entah ke mana, Ingin menjadi baik harus seperti apa?. Kembali lagi aku fokus terhadap tujuan utamaku menjadi seorang pelajar. Semoga kelak bermanfaat walaupun tak banyak.
Perlahan-lahan rasanya bumi kembali memanas sambil menyanyikan melodi yang dibuat oleh kesibukan yang sudah biasa diagendakan oleh manusia. Kupercepat langkahku agar segera sampai sebelum terik memanggang kulitku. “Hati-hati berkeliaran di gang ini, banyak maling!” teriak seorang wanita paruh baya. Aku hanya membalas dengan melemparkan sebuah senyuman, berharap omongannya tidak serius. “di kota besar seperti ini orang menghalalkan berbagai cara agar bertahan hidup, bagaimana tidak, lapangan kerja semakin sempit. Siapa yang mau mati kelaparan?”. Singgungan seorang laki-laki di sampingku. Aku tidak ingin terbuai dalam percakapan itu dan beranjak pergi meninggalkan mereka.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya aku menemukan kontrakan yang kucari “Pondok Putri”, tercatat pada sebuah papan berwarna kuning. Seorang wanita tampaknya telah menunggu kedatanganku “kamu Derana?”, tanya seorang wanita kepadaku. “Betul” jawabku. “Ini kunci kamarmu lantai 4 nomor 15 sewa perbualan lima ratus ribu”, katanya sambil menyerahkan sebuah kunci “baik terima kasih”.
Di kota ini sudah hal yang wajar melihat bangunan kecil bertingkat untuk mendirikan sebuah tempat tinggal, karena semakin banyak penduduknya semakin berkurang pula kesempatan memiliki tanah. Apa boleh buat, semua orang berkumpul di kota untuk mencari penunjang kesempatan hidup dan tempat menggantungkan cita-cita. Tiba-tiba saya teringat desa, merindukan udara sejuk tanpa harus menunggu pagi. Hidup berteman alam, sungai yang masih bersih tidak menampung pembuangan. Tetapi, taraf hidup yang masih rendah, andai di desa ada fasilitas pendidikan yang cukup baik, Pikirku rakus. Tiba-tiba saja terbesit dalam benakku andai desa juga sesibuk kota ini tidak akan ada lagi udara yang cukup. Segera kutepiskan harapanku dan bersyukur dunia ini masih seimbang. Aku merebahkan tubuhku di atas sebuah kasur, menanggalkan semua rasa lelah yang masih bergantung di tubuhku. Lambat laun mataku mulai terasa berat, dan tertidur pulas mengarungi mimpi-mimpi yang menenggelamkanku.
Alarmku berbunyi pukul enam pagi, aku terbangun segera melihat keluar di balik jendela berkabut yang ditutupi embun pagi. Dari luar aku mendengar suara-suara lembut dentingan air menumpahi tanah kering berusaha membuatnya gembur, seakan aromanya membuatku terjebak dalam ruang kerinduan. Dengan perasaan yang masih kosong, aku berusaha mengumpulkan nyawa, tersadar udara pagi adalah hal yang kutunggu-tunggu membawaku keluar kamar, menuruni anak tangga yang kecil dengan hati-hati, rasanya sangat melelahkan seperti telah berjalan ratusan kilometer jauhnya. Meskipun begitu tidak menyurutkan semangatku untuk melangkah keluar, dengan hitungan menit sampailah aku di pekarangan kontrakan. Biarlah sedikit sempit, aku tetap bersyukur dapat menghirup udara yang masih segar ditambah hujan rintik-rintik yang menambah kesejukan. Sambil sedikit menutup mata aku menikmatinya, meskipun hanya sebentar saja singgah pada pagi hari.
“Sepertinya kamu penikmat pagi”, tegur seseorang pemuda seusiaku berlalu melihatku dengan terheran-heran, seolah ia tahu apa yang sedang aku pikirkan.
“Seperti itulah di kota, udara bersih terbatas. Mungkin di masa depan udara akan dijual”, sambil tertawa dia berlalu pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa terdiam tidak menanggapinya, dan membiarkan diriku dibasahi oleh rintik air hujan.
Seperti biasa orang-orang akan sibuk beraktivitas dan membuat kebisingan, aku segera beranjak meninggalkan pekarangan, bersiap untuk memulai hari yang baru dan awal yang baru sebagai seorang pelajar, aku mengamati pantulan wanita lugu di sebuah cermin dan berkata padanya “tidak apa-apa, mari kita mulai saja!”.
Akhirnya aku menjadi salah satu penduduk kota!
Penulis, Fika Saputri,
Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah,
Fakultas Ilmu Budaya Unhas,
Angkatan 2018.
Baca Juga : Skenario