Dewasa ini, branding dalam ranah perguruan tinggi kian gencar dilakukan. Perguruan tinggi berlomba-lomba menyiarkan nama kampusnya agar dikenal khalayak, tidak terkecuali Unhas sendiri. Di samping menyelaraskan misi Unhas menuju world class university (WCU), branding dapat dianggap sebagai media efektif dalam mengampanyekan eksistensi sebuah perguruan tinggi.
Lambang menjadi salah satu aspek penting dalam branding. Sayangnya hingga kini, Unhas belum memiliki pedoman penggunaan lambang. Tidak adanya dokumen tersebut menyebabkan terjadinya distorsi lambang yang berdampak pada sistem administrasi.
Banyak pihak yang mengeluhkan beragamnya lambang Unhas yang beredar di masyarakat, sehingga sulit mengetahui lambang yang asli. Mulai dari sekretaris departemen, mahasiswa yang sedang menggarap laporan atau tugas akhir, hingga masyarakat umum.
Salah satu yang mengeluhkan ini adalah Irwan Setiawan, dosen Teknik Industri. Irwan mengungkapkan bahwa ia merasa repot saat diminta untuk mengirim lambang Unhas ke pihak luar.
“Apalagi kita lagi berada di luar kota, tiba-tiba dapat telpon, ‘minta logo (Unhas) yang asli…’ kan agak ribet. Kadang-kadang kita cuma ambil lewat sumber yang ada. Tapi kita pilih juga (versi) mana yang publikasikan (versi) lambang itu, itu kita ambil.” ungkapnya.
Pembahasan distorsi lambang Unhas sebelumnya telah menjadi sorotan di identitas. Pada rubrik Civitas yang terbit April 2020, identitas berkesempatan mewawancarai Razak Djalle sebagai adik dari Mustafa Djalle, sang penggambar lambang Unhas. Razak bertugas untuk menggambar dan menyempurnakan desain dari Mustafa Djalle sehingga memiliki kapasitas dalam menentukan logo Unhas yang sejatinya digunakan.
Dalam rubrik civitas itu pula, Kabag Hubungan Masyarakat yang saat itu menjabat, Ishaq Rahman berencana untuk mengajukan agar lambang Unhas yang asli dapat dipatenkan dalam SK Rektor. Namun, hal tersebut belum sempat direalisasikan.
“Nanti kita akan buatkan surat edaran atau supaya lebih mengikat kita buatkan SK nya, ” ujarnya dilansir dari Civitas identitas, edisi April 2020.
Distorsi lambang perguruan tinggi sesungguhnya telah terjadi sejak lama yang disebabkan oleh keterbatasan teknologi penggandaan pada masa itu. Sebagai perbandingan, beberapa kampus ternama di Indonesia, seperti UI, UGM, ITS, pernah mengalami hal demikian. Namun ketiga perguruan tinggi tersebut kini telah mengatasi distorsi lambangnya dengan menerbitkan pedoman identitas universitas masing-masing, termasuk penggunaan lambang.
Menanggapi hal ini, Unhas kemudian menggelar Focus Group Discussion (FGD) Distorsi Logo Unhas. FGD itu dilaksanakan Rabu, (14/9) di Ruang rapat A lantai 7, gedung Rektorat Unhas. Dalam FGD tersebut hadir Razak Djalle sebagai narasumber kunci, turut hadir juga beberapa petinggi universitas dan Prof Basri Hasanuddin (Rektor Unhas periode 1989-1997).
Dalam diskusi yang dipandu oleh Sekretaris Universitas, Prof Ir Sumbangan Baja MPhil PhD, Razak menceritakan kembali sejarah lambang Unhas tersebut. Lambang Unhas sesungguhnya disayembarakan sekitar tahun 1956 hingga 1957 dan di saat itu sebelum lambang Unhas dibuat, ada masukan dari Gubernur Sulawesi Selatan pada saat itu Andi Pangerang Pettarani.
“Sebelum membuat (lambang) ada masukan dari narasumber, gubernur saat itu (Andi Pangerang Pettarani). Dinamika perubahan (lambang) yang tidak disengaja. Paling kelihatan ayamnya, tapi sebenarnya bukan itu yang mau ditonjolkan. Itu hanya mencerminkan Sultan Hasanuddin,” tuturnya.
Razak melanjutkan bahwa dalam bagian lambang Unhas yang ingin ditonjolkan ada pada bagian dada, yakni pohon lontara. “Lambang yang ingin diperjelas adalah pohon Lontara, itulah inti dari gambarnya.” katanya.
Lontara sendiri diyakini bahwa setiap bagiannya memiliki manfaat. “Niranya misalnya bisa dimanfaatkan jadi gula, bisa juga jadi minuman yang memabukkan jika tidak diolah, sama halnya dengan ilmu pengetahuan,” jelasnya.
Kemudian, Prof Basri mengakui bahwa ia baru sadar atas berbagai perbedaan versi lambang Unhas. Prof Basri pun menegaskan logo Unhas harus dimurnikan sesuai dengan filosofi dan harapan untuk Unhas.
“Pohon Lontara yang perlu diperbaiki, ukurannya distandarkan. Konten dari logo yang harus ditetapkan. Sebenarnya yang tersebar bedanya tidak terlalu banyak, namun harus diperjelas pohon Lontara,” sambung Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu.
Dari FGD tersebut, disepakati pembentukan tim yang bertugas menyusun pedoman resmi penggunaan lambang Unhas. “Segera kita akan bentuk tim, di mana ujungnya adalah peraturan rektor, beberapa petinggi yang ada pada hari ini akan diundang kembali sebagai narasumber,” tandas Prof Sumbangan Baja.
Lambang yang direstorasi oleh Razak Djalle rencananya akan ditetapkan dalam peraturan rektor Unhas dan akan disosialisasikan ke publik. Dengan ini semua pihak berharap lambang Unhas yang digunakan dapat diseragamkan.
Berselang dua minggu setelah dilakukannya FGD ini, lambang Unhas di beberapa media telah ditertibkan. Berdasarkan penelusuran tim, lambang Unhas pada website Unhas telah berubah, sesuai dengan yang digambar oleh Razak Djalle. Beberapa media seperti spanduk, kop surat, pamplet, dan media lainnya telah mengikuti lambang yang tersedia di situs web resmi Unhas.
Muhammad Nur Ilham
Discussion about this post