Menjadi seorang mahasiswa bukanlah hal mudah, seorang mahasiswa dapat dikatakan mahasiswa manakala ia mengetahui peran serta fungsinya sendiri sebagai mahasiswa. Agent of Change misalnya, mahasiswa patut mampu berfungsi sebagai gerakan perubahan terhadap bangsa ini. Kampus yang telah menjadi wadah gerakan mahasiswa silam di era sebelum reformasi telah berhasil menjadi motor agen perubahan yang total terhadap bangsa ini. Kampus pula wadah keluarnya seorang akademisi, politisi, negarawan, hingga ilmuan.
Tak heran jika kemudian para pejuang di masa Orde Baru (Orba) mengkritik mahasiswa dewasa ini dengan menggaungkan kalimat: sampai kapan kalian harus terus terlelap dalam tidur panjangmu selama hampir seperempat abad? jikalau dikatakan apakah negara ini sedang rapuh atau sudah benar-benar demokrasi, tentu kalangan mahasiswa berteriak dengan sigap mengatakan TIDAK. Lantas apa yang ingin kalian lakukan? tidur? menjadi apatis? atau bahkan tutup telinga dan tutup mulut?.
Siapa pula yang patut disalahkan jika hal demikian benar-benar terjadi? Tentu tak lain yang kemungkinan menjadi salah satu kandidat terkuat yang berpotensi disalahkan adalah para pemegang kekuaasaan ataupun birokrasi kampus.Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 adalah jawaban mengapa bobroknya sistem pendidikan tinggi di negara kita. Pun segala cara dilakukan oleh para penguasa agar mahasiswa wajib dituntut mengikuti pasa-pasal manipulatif yang pelopori oleh pihak kampus. Bahkan Skorsing hingga Drop Out adalah jawaban bagi mahasiswa jikalau mereka dikatakan melanggar hukum simpang siur dari kaum elit kampus.
Kini mahasiswa selalu didoktrin oleh dosen-dosen tentang kelulusan, bahwa cepatnya kelulusan akan mempermudah finansial diri dalam menggapai kesuksesan. Didoktrin untuk selalu patuh kepada aturan-aturan kampus. Bahkan suasana kelas terasa nihil akan pertanyaan-pertanyaan liar tentang mata kuliah, argumen-argumen yang mematahkan asumsi dosen apalagi. Kelas yang diperuntukkan untuk debat dan adu argumen nyaris tak ada lagi. Satu hal yang ditanamankan oleh birokrat kampus kepada mahasiswa adalah ketertiban dan kepatuhan terhadap apa yang di katakan dosen saat berada didalam kelas. Bukan lagi soal keberanian untuk mengucapkan kebenaran. Ringkasnya kampus tak lagi tempat mencurahkan argumen-argumen mahasiswa tapi kepatuhan akan kelulusan lalu mendaptkan kerja. Lantas jika rajin kuliah dan mendapatkan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang tinggi adalah jawaban untuk mencapai kesuksesan finansial?.
Bagaiamana keadaan ruangan ceramah yang saat ini hampir seluruh ruangan diberikan alat pendingin, katanya supaya para mahasiswa merasa nyaman mendapatkan ilmu pengetahuan baru. Tapi apakah menjadikan ruang kelas sebagai tempat ceramah merupakan hal yang efektif? Carl Weiman, peraih nobel Fisika 2001, mengatakan itu cara paling kuno. Ini metode belajar satu arah. Bagaimana mungkin tak ada interaksi antara mahasiswa dan dosen. Mahasiswa bukan lagi pelajar yang membawa gelas kosong ke ruang kelas lalu diisi air dengan dosen, pendidikan seperti yang kritisi oleh Paulo Freire dengan menyebut pendidikan gaya bank, dimana murid menjadi celengan dan dosen menjadi orang yang menabung. Bahkan Carl Weiman mengatakan bahwa itu bisa mencederai sel-sel saraf di otak. Seakan-akan mahasiswa diianggap anak manja yang tak tahu apa-apa.
Sikap mahasiswa perlahan semakin hari semakin membisu dengan segala hal yang menimpa dirinya. Tak disangka, “patuh dan taat” adalah jawaban mereka tatkala ditanya soal isu-isu yang terjadi di sekeliling kampus. Sikap pasif mahasiswa telah menjadi biang permasalahan yang dihadapi mahasiswa saat ini adalah hasrat berpendapat semakin terkikis oleh perubahan zaman mahasiswa yang cenderung memilih menjadi mahasiswa pasif (hanya butuh nilai A hingga lulus dengan waktu yang cepat).
Saat ini pula, para penguasa kampus bahkan mengeluarkan aturan kode etik mahasiswa tentang larangan berorganisasi bagi kaum mahasiswa baru. Tak hayal jawaban mereka adalah demi kepentingan mahasiswa sendiri agar tak mengganggu proses perkuliahan dan tak menggangu IPK. Para mahasiswa tentu tak tinggal diam dengan sikap birokrasi yang semakin hari semakin bersifat menjadi monster otoriter. Namun disayangkan, setelah salah satu mahasiswa di Makassar yang memprotes kebijakan tersebut dikenakan hukuman Skorsing, akibatnya tak ada lagi satupun mahasiswa yang berani lagi menyuarakan kebenaran.
Setelah menduduki semester 5, tepatnya 2 tahun perkuliahan. Barulah mahasiswa diizinkan untuk menyusuri cakrawala organisasi, baik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan mahasiswa Departemen (HMD), hingga Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Tak khayal jika pengalaman mahasiswa dewasa ini masih minim.
Dampak yang diperoleh oleh mahasiswa ketika tak diperbolehkan berorganisasi adalah ia tak bisa membangun relasi sesama mahasiswa antar intra kampus hingga ekstra kampus. Tak absurd jika saja selama hampir seperempat abad ini tak ada pemimpin yang layak dari kaum mahasiswa. Pengalaman berorganisasi tak cukup jika hanya 2 tahun saja.
Para Founding Father kita, Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan Haji Agus Salim adalah pendiri bangsa kita yang tak lepas dari kuatnya organisasi dalam dirinya. Lantas jika mahasiswa hari ini dilarang berorganisasi, lantas mau jadi siapa mereka? Bung Karno atau Setya Novanto?
Sudah saatnya kita sadar tentang kampus sang pencetak uang. Mari kita sudahi semua ajaran pembodohan yang telah menjadi kultur selama beberapa tahun belakangan ini, sudah saatnya kita mejadi pemberontak bagi kekuasaan yang tak mendidik. Mari pula kita akhiri kesadaran palsu para mahasiswa dikalangan intelektual, Marx menggambarkan kesadaran palsu yaitu dengan buruh tetap bekerja meski dalam keadaan tertindas dan gaji yang murah dan jam kerja yang panjang, dengan dalih kaum kapitalis telah menjanjikan surga kepada kita.
Keadaan ini sepertinya telah merasuki sendi-sendi kampus dengan dalil kepalsuan yang telah dosen sampaikan. Kita tak mau menjadi budak di ruang intelektual. Sudah saatnya kita mengaungkan “Revolusi Pendidikan” kepada kaum-kaum intelektual. Kita tak mau pendidikan terus-menerus menjadi “dehumanisasi”. Oleh karena itu, reformasi pendidikan perlu untuk segera dan secara massif diupayakan, yaitu gagasan dan langkah untuk menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan.
Andi Syahrul
Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan : 2018
Discussion about this post