Saat menulis tulisan ini, pesta demokrasi Pemilu 2024 yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia sisa menunggu waktu kurang lebih setahun lagi. Artinya, kepemimpinan sebentar lagi akan berpindah tangan. Beda kepemimpinan, beda pula kebijakan yang hendak diusung dan disahkan. Mengapa topik ini diangkat oleh penulis? Di sini penulis berusaha membedah seringkas mungkin masalah yang seharusnya perlu diperhatikan oleh masyarakat Indonesia yakni Pendidikan.
Tahun ke tahun dunia pendidikan selalu berubah, entah berubah lebih baik atau buruk. Contoh kecil, dari segi nomenklatur atau nama lembaga Kementerian Pendidikan sendiri, telah berubah sebanyak enam kali sejak awal kemerdekaan Indonesia 1945. Dari Departemen Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan Nasional, lalu berganti ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, akhirnya menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Nama kementrian saja berubah, bagaimana nasibnya dengan hal yang lebih genting yakni kebijakan pendidikan. Perlu kita ketahui bahwa kemajuan negara dapat dilihat melalui tingkat pendidikannya, hal tersebut diungkapkan dalam penelitian Muhardi (2004).
Pergantian nomenklatur
Perubahan nomenklatur pada sebuah lembaga walau kelihatan kecil sebenarnya PR besar bagi pemerintah dan masyarakat sendiri. Kalau ganti nama harus ganti pula seluruh papan, tulisan, lambang dan seluruh hal mengenai lembaga tersebut. Tentunya akan mengeluarkan tenaga dan biaya tak kecil, jelas membebankan kepada masyarakat yang membayar nomenklatur tersebut.
Dari hal sederhana seperti nomenklatur kita bisa melihat bagaimana kondisi pendidikan nasional dari segi kebijakan dan keberpihakannya. Harusnya negara dari dahulu lebih memfokuskan kepada hal yang lebih penting seperti anggaran, orientasi pendidikan, pendidikan berkarakter, dan banyak lagi tapi tak bisa saya sebut di tulisan ini.
Pengaruh perubahan nomenklatur yang paling besar adalah peleburan dua Kementrian yakni Kementerian Riset dan Teknologi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peleburan tersebut berasal dari Badan Riset Nasional (BRIN) yang akan menjadi lembaga otonom, di mana meleburkan empat lembaga riset non kementrian yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Empat lembaga tersebut kini telah menjadi bagian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang disebut sebagai Organisasi Riset.
Menggabungkan dua hal yang jelas berbeda tentu dapat menuai berbagai tolakan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan sivitas akademika terutama pendidik dan ilmuwan. Tak perlu panjang lebar penulis jelaskan, keadaan bidang riset di Indonesia saat ini sedang surut.
Kebijakan yang plin-plan
Uraian yang telah ditulis diatas dapat menggambarkan sedikit mengenai pemerintah yang tidak konsisten terhadap arah pendidikan. Itulah yang nampak dari permukaan namun penulis menemukan hal lain. Menurutnya, dari dahulu pemerintah sampai sekarang tidak konsisten.
Sebenarnya, pemerintah telah merencanakan dan menyiapkan ‘peta jalan pendidikan’ yang menjadi haluan. Dalam draf berbentuk PPT mengenai peta jalan pendidikan Indonesia, telah digambarkan secara jelas idealnya kondisi pendidikan di Indonesia pada 2035. Namun nyatanya, kurikulum yang menjadi kerangka (dunia pendidikan) selalu berubah.
Mengambil sebuah contoh, di lingkup perguruan tinggi sendiri, perubahan kurikulum 2013 (K-13) menjadi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) mengikuti kebijakan yang dicetus oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Anwar Makarim. Pemerintah melihat secara historis bahwa gonta-ganti kebijakan dalam waktu singkat tidak efektif. Ditambah lagi, fondasi antara SDM, birokrasi, serta pemikiran yang belum matang, sehingga tidak siap untuk menerima perubahan.
Dalam liputan identitasunhas.com, kebijakan MBKM ada baik dan buruknya. Isu yang diangkat mengenai konversi SKS mahasiswa dari institut penerima ke institut asal jika dilihat sekarang masih bermasalah. Masih banyak mahasiswa yang belum dapat konversi SKS-nya, belum lagi dosen yang belum siap menerima dan menjalankan kurikulum MBKM.
Kurikulum MBKM terkesan diimplementasikan secara terburu-buru, sehingga masih terdapat kampus yang belum dapat mengimplementasikan secara penuh kurikulum MBKM. Hal tersebut karena proses perpindahan nilainya yang ruwet, perlu melihat persamaan Capaian Pembelajaran (CPL) pada Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dan disesuaikan lagi berdasarkan RPS di institut atau kampus asal.
Nyatanya, saat magang di luar kampus, jarang didapatkan CPL yang 100% sama dengan institut asal, sehingga SKS tidak dikonversikan sepenuhnya. Mahasiswa tersebut harus ambil lagi matkul semester depan untuk menutupi SKS yang tidak dapat dikonversi. Lantas hal ini menimbulkan pertanyaan, Apakah Kemendikbud Ristek mempertimbangkan hal tersebut atau tidak?
Kemendikbud Ristek memiliki PR yang panjang, lebar dan berat.
Pemerintah kini perlu membuka matanya ke belahan dunia lainnya, bagaimana arah kebijakan pendidikan diterapkan secara jangka panjang sampai metode eksekusinya.
Penulis sangat berharap pemerintah dapat lebih melek dan menemukan titik terang terhadap arah kebijakan pendidikan. Walaupun mungkin pada mata orang umum, ini bukan masalah genting, namun fondasi sebuah negara maju dan sukses berada di tangan pendidikannya, dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
Muhammad Alif M.
Penulis berasal dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Sekaligus Litbang Data PK Identitas Unhas 2023
Penulis masih mencari makna hidupnya.
Discussion about this post