Kebudayaan menjadi hal yang melekat bagi masyarakat karena mencerminkan cara hidup masyarakat di suatu wilayah. Oleh karena itu, kebudayaan menjadi cermin kepribadian bagi suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu.
Bertempat di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, tepatnya di Kecamatan Tellu Limpoe, Kelurahan Amparita, terdapat sekelompok masyarakat yang dikenal dengan Komunitas Masyarakat Tolotang.
Berdasarkan https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Tolotang, pada masa orde lama terdapat 5000 orang di wilayah Amparita, Sidrap yang menganut kepercayaan ini. Akibat pemerintah Indonesia yang hanya mengakui enam agama, setelah melalui berbagai pertimbangan, Masyarakat Tolotang akhirnya menyatakan diri mereka sebagai Agama Hindu.
Melihat kepercayaan yang dianut oleh Masyarakat Tolotang ini masih terjaga hingga sekarang, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unhas, Dr Kahar M Hum, tertarik untuk menelisik terkait ini. Penelitian itu tertuang dalam jurnalnya yang berjudul “Pola Komunikasi Dalam Mempertahankan Aliran Kepercayaan Pada Ritual Masyarakat Tolotang.”
Berdasarkan wawancaranya dengan identitas, Kahar menyatakan bahwa sebagai Akademisi dengan latar belakang komunikasi budaya, dirinya memiliki ketertarikan untuk meneliti mengenai Masyarakat Tolotang. Mengingat mereka masih eksis dan masih bertahan sampai sekarang.
“Saya sendiri menganggap bahwa tolotang itu memiliki suatu keyakinan dalam bentuk kepercayaan, mereka memiliki keyakinan aliran tersendiri dalam pemahaman mengenai kepercayaan akan sesuatu. Terutama kepercayaan terhadap tuhan,” ujar Kahar
Dalam Masyarakat Tolotang terdapat beberapa tokoh adat yang berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh tersebut terdiri dari seorang pemimpin atau pemangku adat tertinggi yang dikenal dengan sebutan Uwatta’. Kemudian, terdapat pula para Uwa’ yang merupakan pemimpin tingkat bawah yang berperan sebagai penyambung lidah antara rakyat biasa dengan Uwa’.
Masyarakat Tolotang sendiri memiliki berbagai ritual, diantaranya adalah ritual tahunan mereka, yaitu Ritual Perrinyameng, dan beberapa ritual harian mereka seperti ritual syukuran, akikah anak, dan sebagainya.
Kahar menerangkan bahwa pola komunikasi yang ada dalam Masyarakat Tolotang adalah demokrasi. Hal ini tercermin dalam kebiasaan Masyarakat Tolotang yang sering melakukan musyawarah dan mufakat dalam membuat keputusan.
Sebelum melakukan ritual, seperti Ritual Perrinyameng, uwatta’ dan para Uwa’ (sebagai perwakilan seluruh masyarakat tolotang) mengadakan musyawarah terlebih dahulu untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
Narasumber yang mereka wawancara dalam penelitian menerangkan bahwa semua rangkaian kegiatan mulai dari persiapan hingga terselenggaranya Ritual Perrinyameng memiliki arti yang dalam bagi mereka.
Apabila proses tersebut tidak ada, mereka percaya bahwa akan ada dampak buruk yang akan mereka alami jika semua proses tersebut tidak dilaksanakan. Hal itu pula lah yang menjadikan mereka tetap eksis dan kepercayaan yang kokoh hingga sekarang.
Proses berembuk bersama tidak hanya dilakukan saat akan dilaksanakannya ritual, kebiasaan ini juga dilakukan untuk keperluan lain, misalnya dalam menyelesaikan masalah kemasyarakatan dan melakukan hubungan dengan pemerintah.
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi yang ditemani dengan mahasiswanya itu mengakui bahwa penelitiannya tergolong tidak terlalu sulit untuk dilaksanakan. Hal itu disampaikannya karena perilaku masyarakat yang terbuka sehingga memudahkannya dalam menyelesaikan penelitian ini. Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan beberapa infromasi yang didapatkan mengenai masyarakat tolotang merupakan tasyarakat yang tertutup dengan sekitarnya.
“Walaupun mereka memiliki area dan wilayah tertentu, tapi mereka sebenarnya tidak tertutup, mereka juga bisa berbaur dengan masyarakat luas, kita juga bisa masuk ke dalam (wilayah Masyarakat Tolotang). Jadi secara sosial kemasyarakatan, kita juga bisa beradaptasi dengan mereka,” pungkasnya.
Oleh karena itu, ia berharap agar orang-orang dapat meneliti lebih lanjut terhadap pernyataan yang akan dilontarkan, harus dibuktikan secara faktual agar yang disampaikan tersebut sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.
Muhammad Mukram