Saya percaya bahwa pada satu titik kehidupan, kebanyakan dari kita, jika tidak semua, pernah merasa kehilangan. Entah kehilangan benda kesukaan, teman tercinta, atau orang terkasih. Orang tua, misalnya.
Ketika beranjak dewasa, kita sadar bahwa tak semua anak diberi kesempatan hidup bersama kedua orang tuanya hingga tua. Ada yang telah diambil Sang Pecipta lebih dulu. Sama seperti kisah kawan saya sesama relawan perdamaian di yayasan Kita Bhinneka Tunggal Ika Makassar.
Pada satu kesempatan kelas refleksi, kami menceritakan tiga momen membahagiakan di dalam hidup. Ya, salah satu kegiatan rutin yayasan ialah berbagi cerita di kelas refleksi dengan beragam tema. Saat itu tema yang kami bicarakan adalah “Happiness”.
Kami saling bertukar pengalaman bahagia yang pernah dirasakan. Ada yang berbagi kisah ketika ia merasa berada di titik spiritual tertinggi dalam hidupnya, ada yang bercerita tentang pengalaman diksar kocaknya luar biasa. Seru sekali mendengar kisah mereka kala itu. Lalu, satu teman saya muncul dengan cerita soal kehilangan sosok bapak beberapa tahun lalu.
Saya tahu Anda bingung. Kok tema refleksinya “Happiness” alias kebahagiaan tapi yang diceritakan malah tentang kehilangan? Saya juga bingung waktu itu. Namun, setelah ia menyelesaikan ceritanya, saya mendapatkan sisi lain dari kehilangan.
Beberapa tahun lalu, bapak kawan saya mengidap penyakit kronis. Ia mesti dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Kawan saya tak pernah berhenti memohon kepada Tuhan untuk kesembuhan si bapak. Meski saat itu keadaan si bapak sudah tak memungkinkan pulih kembali.
Kawan saya tak sanggup menahan sesak di dada. Ia mencoba menceritakan hal itu kepada salah satu teman dekat. Setelah bercerita, ia mendapat saran dari si teman kepercayaannya untuk mengubah doa yang ia panjatkan kepada Tuhan. Kawan saya pun mengubah doanya. Ia tidak lagi memohon kesembuhan si bapak, tetapi meminta diberi keputusan terbaik bagi si bapak, dia, dan keluarganya. Apapun itu.
Tak lama setelah itu, saat diperjalanan menuju rumah sakit, di atas pete-pete, kawan saya mendapat kabar bahwa si bapak telah tiada untuk selamanya. Reaksinya, ia tidak merasa begitu hancur. Ia percaya bahwa kematian bapak adalah keputusan terbaik dari Tuhan untuk keluarganya.
Oleh karena itu, ia membagi kisah kehilangan sosok bapak sebagai momen bahagia. Bukan karena ia akhirnya tidak memiliki bapak lagi, bukan. Merasa benar-benar kehilangan itu sudah pasti. Akan tetapi, di saat bersamaan, ia merasa lega atas apa yang telah terjadi. Sebab ia meyakini, sudah seharusnya seperti itu.
Ketika mendengar cerita itu, saya seperti terlempar kembali ke masa enam tahun yang lalu, di kamar orang tua saya. Pagi itu langit di luar rumah sangat cerah, tetapi kecerahannya hanya sampai di depan kamar orang tua saya. Sebab di dalam kamar, awan hitam menyelimuti saya, papa, dan kedua adik saya. Duka mendalam kami rasakan akibat kepergian ibu untuk selamanya.
Hampir serupa dengan kawan saya tadi, saat itu saya memang merasa seakan seluruh jiwa pergi entah ke mana tetapi kelegaan juga bisa saya rasakan di waktu bersamaan. Saya waktu itu tidak sanggup melihat ibu terus menahan sakit, juga memanjatkan doa yang sama seperti kawan saya. Dan begitulah, saya kehilangan sosok manusia yang tak akan mungkin pernah temukan penggantinya di muka bumi.
Oh iya, sewaktu berbagi cerita di kelas refleksi virtual itu, kawan saya sedang berada di rumah duka. Ia baru saja kehilangan kakeknya. Bukannya larut dalam kesedihan, kawan saya lebih memilih membagi kebahagiaan dan mendengar cerita bahagia dari kami sesama relawan.
Begitulah sisi lain dari kehilangan. Ia tak melulu datang dengan wajah suram, kusam, dan penuh penderitaan. Ketika kita sudah menerimanya dengan tangan terbuka, ia bisa mengembangkan sisi kedewasaan. Mengajarkan untuk berdamai dengan segala kemungkinan terburuk yang kapanpun bisa terjadi. Kehilangan juga menyadarkan kita bahwa tak ada satupun hal yang benar-benar bisa dimiliki di dunia ini.
Saya tahu, tak semua orang kuat melewati fase kehilangan. Apalagi di masa pandemi saat ini, banyak hal yang hilang; tak seperti dulu lagi dan banyak pula yang kehilangan orang terkasih. Oleh sebab itu, semoga melalui sepenggal cerita ini kita bisa saling menguatkan.
Saya percaya bahwa pada satu titik kehidupan, kebanyakan dari kita, jika tidak semua, pernah merasa kehilangan. So, let it be, because it is what it is!
Penulis: Redaktur Pelaksana PK identitas Unhas 2019, Khintan
Editor: Redaktur Pelaksana PK identitas Unhas 2018, Sri Hadriana
Discussion about this post