“Ia adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.” -Benedict Anderson
Berangkat dari pemaknaan yang terlebih dulu harus melalui beragam premis-premis seperti di atas, tentu telah menyiratkan kesukaran mengenai apa sebenarnya nasionalisme itu. Namun, pada permulaan dekade abad ke-21 ini, dengan sederhana dan terkesan pragmatik, nasionalisme seringkali dimaknai dengan slogan-slogan pasaran, semisal “Aku cinta Indonesia” atau paling banter, “NKRI Harga Mati.”
Bagaimana, jika Nasionalisme itu hanya rasa ‘sadar’ akan situasi yang relatif? Hadir pada suatu waktu dan tempat tertentu saja? Apakah rasa itu nyata atau benar hanya sebatas bayang-bayang? Sebelum jauh melontar tanya dan berasumsi tentang nasionalisme, berikut secara harfiah, nasionalisme versi KBBI elektronik; “ajaran (paham) untuk mencintai Bangsa dan Negara sendiri.” Dari pemaknaan yang notabene telah jadi pedoman umum tersebut, kiranya kurang relevan dengan nasionalisme pada hakikatnya.
Ada apa gerangan nasionalisme? Bibit yang membenihkan nasionalisme bermula pada kisaran abad ke-16 di Eropa. Sebagai dampak dari laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada ‘zaman revolusi-revolusi’, seperti ungkapan Francis Bacon (1561-1626) bahwa “cetakan telah mengubah tampilan dan keadaan dunia”. Adalah Kapitalisme cetak, yang mashur diberdayakan di kalangan elit agama katolik, berikut kontradiksinya terhadap kehadiran agama protestan guna penyebaran wacana keagamaan. Selanjutnya berkembang sebagai lahan bisnis bagi suatu otoritas, dalam hal ini, pihak kapitalis. Dengan pemberdayaan media bahasa sebagai subjek penyebaran warta, lambat laun lahirlah bahasa ibu sebagai identitas pemersatu. Jadi, tak perlu heran ketika mendapati fenomena terkait, mengenai beberapa orang yang lebih mudah akrab, hanya karena kesamaan bahasa maupun dialek di suatu tempat yang masih tergolong asing bagi mereka.
Setidak-tidaknya, menurut Benedict Anderson (2001) ada tiga faktor permulaan yang mendasari adanya kesadaran nasional, yang pertama, pengaruh dan penggunaan Bahasa Latin pada media cetak, mengimplikasikan adanya sifat ekslusif dari suatu bahasa, yang hanya dapat dipahami oleh kelompok tertentu saja. Kedua, terjadinya reformasi agama di Eropa, yang pada perkembangannya melahirkan tendensi perihal ‘iman’. Faktor ketiga, mengenai persebaran geografis di dataran Eropa, akibat bermunculannya bahasa ibu yang berbeda-beda, melalui teknik penyandian bahasa oleh Leksikografer kenamaan.
Dapat kita tarik benang merah, bahwa sifat ‘nasion’ atau ‘bangsa’ tak lepas dari aspek ruang dan waktu, yang melibatkan pengalaman-pengalaman (empiris) manusia terhadap keadaan sosial, ekonomi, politik yang akhir-akhir ini di bumi pertiwi (Indonesia) mulai merembes pada penyalahgunaan ayat-ayat ilahi atau dalil-dalil agama tertentu. Bahkan telah sampai pada manifestasi radikalisasi yang bisa dikata premature. Mengapa? Sebab beberapa oknum membalut nuansa itu (rohani) dengan bumbu-bumbu nasionalisme sekena KBBI di muka, tentang bagaimana semestinya berbangsa dan bernegara.
Lalu, bagaimana cikal-bakal nasionalisme di Indonesia? Saya harap, masih terang di ingatan kita sebagai warga negara yang pernah mengenyam pendidikan dasar, perihal permulaan kebangkitan nasional oleh pemuda pada permulaan abad ke-20 atas dasar semangat melawan kolonialisme, salah satunya melalui media bahasa yang digaungkan Tirto Adhi Soerjo dalam ‘Medan Priaji’-nya. Tak lupa, hasil kongres pemuda II tahun 1928 yang melahirkan ‘sumpah pemuda’, sebagai pernyataan kesamaan identitas dalam hal bertanah air, berbangsa dan berbahasa yang satu. Bilamana dikerucutkan, bahwa nasionalisme awal Indonesia adalah bahasa propaganda melawan penjajahan, meski pada saat itu masih sangat kental pengaruh kedaerahan.
Di Indonesia, fenomena nasionalisme pasca proklamasi kemerdekaan 1945 sampai hari ini kian mengalami pendangkalan makna, apalagi jalan berat yang dilalui dari satu rezim ke rezim lainnya, membuat ‘akal’ kita semakin buta akan pemaknaan ‘ideal’ nasionalisme. Pun tak jarang dikesampingkan oleh si ‘idealis’. Dengan anggapan bahwa nasionalisme itu tak ubahnya sebuah paham, yang kontradiksi terhadap islamisme, sosialisme/komunisme dan ideologi-ideologi tertentu yang mereka anut. Adapula ‘alternatif’ lain daripadanya, menurut Leo Suryadinata (2010), antara lain nasionalisme-sekuler yang agak liberal dan nasionalisme-islam yang bertujuan membangun landasan bangsa atas dasar agama.
Bahkan, sekadar melacak akar Nasionalisme di Indonesia seyogianya pekerjaan rumit, semisal sosok Tan Malaka (1926) yang mengalami kebingungan ketika menerka penduduk asli Indonesia, Apakah ia si penganut animisme, hindu, budha atau islam yang datang belakangan? Kebingungan ini menjadi relevan ketika berbicara dalam konteks nenek-moyang dan asal mula ‘bangsa’, yang saban hari masih hangat diperbincangkan di dunia akademis bahkan di tengah pasar sekalipun.
Kembali, pada kutipan di awal tulisan, bahwa nasionalisme terlepas dari wujudnya sebagai ideologi, adalah suatu komunitas terbatas yang ada, ketika manusia mulai membayangkannya (Imagined Communities). Lantas, di mana kiranya ruang dan waktu yang signifkan ‘rasa’ nasionalisme itu ada secara jelas?
Sebagaimana pada seorang pelajar Indonesia yang melanjutkan studi di luar negeri, seorang tua yang ziarah ke Mekah, atau si muda yang tengah menonton laga ‘Piala Dunia’ di Kazan Arena. Dan tentu, pada hari peringatan proklamasi yang menandai tercapainya kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa yang berdikari, 17 Agustus. Sederhananya, menghadirkan nasionalisme bukan sebatas slogan-slogan romantik yang mampu kita teriakkan dengan lantang, di ambang jalan atau di tengah lapang.
Penulis : Ibnu Khair
Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Unhas.
Direktur Unit Kegiatan Mahasiswa Menulis (UKM Menulis KMFIB UH) Periode 2018.
Discussion about this post