Beragam peristiwa berkelindan sepanjang sejarah manusia. Tapi apakah kita dapat memaknai setiap peristiwa yang terjadi pada diri kita? atau yang terjadi di lingkungan sekitar kita? Yah, kebanyakan memang berlalu begitu saja, tanpa ada dokumentasi atau pemaknaan pada peristiwa masa lalu.
Padahal setiap persitiwa adalah sejarah. Dan sejarah akan menghilang begitu saja bila tak direkam dan didokumentasikan, entah menjadi video, gambar, atau sebuah tulisan. Dari dokumentasi tersebutlah, orang-orang di masa depan dapat belajar, tentang apa yang telah berlalu, dan bagaimana memaknai setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup. Saya memikiran hal ini setelah membaca buku kumpulan esai berjudul ‘Gerundelan Peristiwa’, yang ditulis Idham Malik.
Idham Malik, sosok yang tekun memaknai setiap peristiwa yang terjadi pada dirinya, atau di lingkungan sekitarnya, dengan cara menuliskan perenungannya menjadi esai. Hasilnya, pikiran-pikiran yang ia tuliskan sejak tahun 2010 hingga 2019, mengabadi menjadi sebuah buku setebal 256 halaman.
Di arena esai, Idham begitu lihai bermain-main. Ia bisa membawa pembaca menyusuri lorong waktu dan menemui kisah-kisah yang relevan dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Sebagaimana ilustrasi jam dan lautan di sampul bukunya. Idham bisa membentangkan peristiwa masa lalu dalam ruang terbatas penulisan esai. Kemampuan Idham memang sesuai dengan penjelasan Muhidin Dahlan, dalam buku Inilah Esai, yang mengatakan bahwa seorang esais senantiasa bersiasat dengan ruang terbatas agar dapat memberikan pencerahan, gugatan, informasi baru, atau bahkan mencairkan sesuatu yang dianggap baku.
Dalam esai berjudul ‘Rakyat’, misalnya, Idham memulainya dengan deskripsi keadaan kaum muda di masa kini yang berjarak dengan persoalan-persoalan rakyat. Lalu, perlahan, Idham membuat pembaca menengok kembali model pengorganisasian rakyat oleh mahasiswa angkatan 80an, pergerakan mahasiswa 90an, hingga penjelasan tentang adanya rekayasa rezim untuk membuat rakyat dan mahasiswa menjadi massa ‘mengambang’.
“Di tahun 2000-an, di kampus sendiri, mahasiswa semakin disibukkan dengan urusan akademik, dengan bertambahnya tugas-tugas kuliah. Di Makassar, mulai diterapkan jam malam, mahasiswa yang biasa berdiskusi pada malam hari akhirnya dibatasi ruang geraknya untuk membicarakan persoalan rakyat.” tulis Idham, di halaman 135.
Dalam esai-esai Idham, pembaca juga dapat melihat pertautan dari beragam tema besar. Mulai dari soal kebangsaan, agama, politik, sains, hingga filsafat. Serupa dengan tema-tema yang biasa ditampilkan Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggirinya. Namun, menurut saya, esai-esai Idham dalam buku Gerundelan Peristiwa lebih mudah untuk dimengerti oleh orang awam, dibanding esai yang ada di Catatan Pinggir. Esai Idham lebih ringan dengan bahasa sederhana, tapi tetap mendalam.
Selain itu, sebagai orang yang aktif bergelut di dunia konservasi dan pendampingan masyarakat, tulisan Idham juga kerap kali membahas persoalan lingkungan hidup. Seperti esai berjudul ‘Islam dan Ekologi’, ‘Perempuan dan Lingkungan’. ‘Sungai-sungai’, ‘Sampah’ dan ‘Hari Bumi’.
Dari lima puluh esai dalam buku ini, saya paling menyukai tulisan yang berjudul ‘Tarian, Batu-batu, dan Apa yang Ada Dalam Diri Manusia’. Dalam esai itu, Idham begitu pandai mengolah peristiwa yang biasa saja, menjadi lebih bermakna. Yah, bagi kebanyakan orang, melihat tari-tarian dan pameran pada perayaan hari ulang tahun kabupaten adalah hal yang biasa. Tetapi, di mata seorang esais seperti Idham, peristiwa itu bisa menjadi bahan tulisan. Idham mampu melihat sisi lain dari peristiwa tersebut, dan menghubungkannya dengan hal yang sedang hangat di masyarakat.
“Mungkin batu-batu ini menyihir jiwa mereka, seperti tarian menyihir jiwa saya. Batu-batu itu menjadi pelengkap, menjadi sajian jiwa, dengan dasar keindahan dan diselimuti kepercayaan berlatar kisah. Entah kisah itu betul adanya atau sekadar dibuat-buat. Tapi manusia memang butuh kisah, mungkinkah manusia modern saat ini, mengalami kehausan kisah, hingga batu-batu berkisah tiba-tiba menghidupkan hasrat purba mereka?” tulis Idham di halaman 183.
Begitulah pembacaan saya atas buku Gerundelan Peristiwa yang diterbitkan Penerbit Akasia. Buku ini memang tak bisa dibaca sekali duduk, tetapi buku ini dapat menjadi bacaan segar bagi kita di kala senggang. Anda dapat membacanya secara acak, tidak harus mendarasnya secara berurut. Karena setiap peristiwa yang dituliskan Idham, punya kisah-kisah dan pemaknaan yang menggugah dan mencerahkan. Selamat membaca!
Usman Salam
Data Buku
Judul: Gerundelan Peristiwa
Tebal: 256 halaman, 12 x 18 cm
Penerbit: Penerbi Akasia
Tahun Terbit: 2019