Sejak dulu hingga sekarang, masalah lingkungan hidup masih saja menjadi persoalan dan perbincangan hangat di berbagai kalangan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tren sampah plastik di Indonesia kian meningkat dengan persentase sebesar 16 persen. Terbayang bukan jika sampah-sampah ini terus bertambah dan semakin berserakan di muka bumi? Bahkan National Geographic saja mencatat terdapat lebih dari lima triliun kepingan plastik yang mengambang di lautan. Sebanyak 73 persen sampah pantai merupakan plastik, seperti filter rokok, botol, pembungkus makanan, dan kantung plastik.
Sebagai lembaga pendidikan, Universitas Hasanuddin sudah seharusnya mejadi garda terdepan dalam memberikan contoh gerakan peduli lingkungan. Terbukti dengan diberlakukannya gaya hidup zero waste di Fakultas Kehutanan. Namun, muncul pertanyaan mengenai seberapa potensi Unhas dalam menerapkan gaya hidup zero waste tersebut. Untuk menjawab itu semua, Reporter Penerbitan Kampus identitas, Wandi Janwar mendatangi Dosen Teknik Lingkungan Unhas yang ahli dalam Bidang Manajemen Persampahan, Dr Eng Ir Irwan Ridwan Rahim ST MT di ruangannya, Senin (20/1). Berikut hasil wawancaranya.
Bagaimana Anda melihat fenomena gaya hidup zero waste saat ini, khususnya di Unhas?
Secara tidak langsung kita sudah menerapkan gaya hidup zero waste. Karena sebenarnya konsep zero waste adalah bagaimana kita bijaksana dalam mengelola sampah. Kebanyakan dari kita, seringkali terjebak dengan istilah zero waste yang seakan-akan membuat kita berpikir bahwa sampah yang dihasilkan adalah nol. Padahal, sebenarnya zero waste merupakan perihal cara kita meminimalisasi limbah dan bijaksana dalam mengolah sampah setelah memproduksinya.
Dihubungkan dengan keseharian di lingkup Unhas, ini sangat ironis bagi kita. Seringkali dikaitkan bahwa orang yang lebih berpendidikan cenderung bijaksana dalam menangani masalah sampah. Bagi yang melakukan riset mengenai persampahan, kami mengenal lima pilar dalam hal pengelolaan sampah berkelanjutan. Pertama yaitu legal, harus ada aturan dan regulasi yang jelas tentang bagaimana pengelolaan sampah yang diterapkan pada sebuah daerah, misalnya daerah Unhas. Pilar yang kedua adalah teknik operasional. Hal ini mencakup peralatan, konsep dan sebagainya. Khusus di Unhas, untuk teknik operasional kami rasa tidak ada masalah. Tempat sampah dan lainnya cukup terpenuhi.
Pilar yang ketiga adalah pembiayaan. Jika diletakkan dalam skala besar, pilar ini kadang menjadi persoalan. Dalam skala Unhas, ini bukan hal yang prioritas. Seringkali dianggap bahwa pemerintah kota turun tangan dalam hal ini. Selanjutnya adalah pilar kebijakan pimpinan. Apabila pimpinannya mempunyai pengaruh dalam konsep pengelolaan sampah, maka tentunya yang dipimpin juga akan berpartisipasi. Pilar terakhir dan mungkin tersulit adalah keterlibatan masyarakat. Dalam lingkup Unhas adalah masyarakat kampus. Jika konsep zero waste mau diterapkan, maka kelima pilar tersebut harus terpenuhi.
Terkait lima pilar yang sebutkan, menurut Anda bagaimana keseriusan Unhas dalam menerapkan konsep zero waste tersebut?
Konsep ini sudah lama bergulir, tetapi menurut saya penerapannya belum maksimal. Pilar aturan, kebijakan dari pimpinan, masalah keterlibatan masyarakat kampus, dan finansial belum maksimal. Padahal jika ingin merealisasikan konsep zero waste yang baik, kelima pilar harus terpenuhi dan saling sinergis. Harapan kami adalah sivitas akademika dan pengambil kebijakan di Unhas bisa bekerja sama dan melihat ini sebagai hal yang urgen.
Jika kita berbicara tentang masalah persampahan bukan hanya datang dalam satu sisi. Konsep ini dilihat dari kampus Unhas, Fakultas Teknik akan lebih disorot karena mempunyai Departemen Teknik Lingkungan. Namun di satu sisi, kita juga membutuhkan program studi lain seperti pertanian, kesehatan masyarakat dan lainnya. Jika pihak departemen saling berharap, mungkin hal ini tidak berjalan maksimal.
Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tamangapa, kami khawatirkan karena di sana hampir tidak ada pengolahan sama sekali. Di sana sampah sudah penuh sejak tahun 2012 dan akan terus menumpuk. Unhas seharusnya bisa menjadi contoh bagi institusi lain, di mana kita harus menjalankan praktiknya, tidak hanya menjabarkan teori untuk mengolah sampah.
Salah satu fakultas di Unhas telah menerapkan gaya hidup zero waste, bagaimana pendapat Anda?
Itu sangat bagus, saya harap hal tersebut bisa menjalar di semua fakultas. Jika kita mengubah kebiasaan, yang dipertanyakan adalah apakah hal itu dilakukan dengan kesadaran akan urgensi sampah atau hanya melakukannya ketika di kampus saja. Seharusnya kita menyadari ada persoalan mengenai sampah dan ada program untuk itu. Jangan menerapkan program hanya untuk mengikuti tren atau sekadar ingin terlihat keren semata. Menurut saya persoalan persampahan ini harus dibicarakan dulu dan semua harus terlibat.
Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbanyak kedua di dunia berjanji untuk menurunkan peringkatnya. Menurut Anda, apakah konsep zero waste bisa membantu menurunkan peringkat ini?
Menurut saya itu bukan lagi berpotensi, tetapi merupakan konsep yang termudah untuk dilakukan. Sebenarnya posisi Indonesia ini diragukan karena hanya didasarkan perhitungan sampah plastik di lautan. Tidak semua sampah yang ada di lautan itu adalah sampah dari Indonesia. Logikanya, kita masih dibawah satu digit sekitar delapan kilogram perkapita pertahun. Negara-negara besar lain yang lebih maju dari Indonesia, mungkin lebih banyak menghasilkan sampah. Harusnya kita mencari cara untuk menanggulangi dan mengolah sampah. Namun Indonesia belum siap untuk memilah sampah-sampahnya.
Selain membawa tumbler dan sedotan stainless, langkah sederhana apa yang bisa dilakukan oleh sivitas akademika Unhas dalam mendukung gaya hidup zero waste?
Yang terpenting dan paling utama adalah memilah sampah. Menurut saya, ini harus dibicarakan dalam tingkat lain. Harusnya ada studi tentang karakter sampah di kampus Tamalanrea mengenai komposisi sampah yang paling banyak. Setelah itu baru dibicarakan strategi bahwa sampah ini akan dipilah berapa. Jika sudah dikumpulkan, maka akan lebih mudah untuk menentukan langkah selanjutnya. Ada baiknya perwakilan semua fakultas duduk membicarakan hal ini, agar pengolahan sampah bisa di lakukan secara maksimal.
Mengacu pada peraturan Menristekdikti tentang pelarangan penggunaan plastik sekali pakai, bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Ini harusnya menjadi motivasi untuk semua kalangan dan perlu direspon sebagai hal yang menjadikan kita lebih baik. Harapan saya ke depannnya, mari kita laksanakan bersama konsep ini. Jangan sampai hanya menjadi tren atau jargon semata. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, Unhas harus mempunyai unit untuk pengelolaan sampah berkelanjutan dan terkoordinir dengan baik.
Data Diri:
Nama : Irwan Ridwan Rahim
Tempat lahir : Pare-pare, Sulawesi Selatan
Tanggal lahir : 19 November 1972
Alamat : Jl.Onta Lama No.74, Makassar, 90312, Indonesia
E-Mail : Irwanrr@yahoo.com or Irwanrr@eng.unhas.ac.id
Discussion about this post