Menurut survei The Digital Reader 2020, minat baca di Indonesia kian meningkat. Hal ini kabar yang baik, mengingat selama ini tingkat baca di Indonesia cukup rendah. Peningkatan minat baca di Indonesia tidak terlepas dari efek perkembangan zaman yang menyediakan konten-konten digital, seperti artikel, jurnal, makalah dan lainnya. Tak hanya itu, Tulisan-tulisan fiksipun menjadi marak dikarenakan genre yang variatif serta mudahnya akses untuk membaca karya tersebut.
Kita tidak bisa mengabaikan bahwa hal tersebut justru menggeser eksistensi cerita rakyat sebagai kearifan lokal Indonesia. Padahal cerita rakyat adalah aset identitas kultural nusantara yang seharusnya dilestarikan. Maka dari itu, kaum muda seharusnya berperan lebih dalam mempertahankan aset negara ini. Terlebih jumlah cerita rakyat Indonesia mencapai ribuan.
Jika ditanya perihal cerita rakyat, kebanyakan orang akan menjawab tentang kisah Malin Kundang atau Tangkuban Perahu. Padahal cerita rakyat dari Sulawesi Selatan seperti La Dana dan kerbaunya, Sa Werigading dan We Tenriabeng memiliki sejarah dan pesan moral yang penting untuk pembentukan karakter. Sayangnya, publikasi ceritanya masih kurang ke masyarakat.
Menanggapi fenomena tersebut, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FIB), Universitas Hasanuddin, Andi Inayah Soraya SS MHum tergerak untuk meneliti cerita rakyat dari Sulawesi Selatan, Kisah Pangeran Barasa’. Cerita yang berkembang di Kabupaten Barru, Pangkep dan sekitarnya menceritakan eksistensi Kerjaan Barasa atau Kerjaaan Siang.
Inayah memaparkan beberapa hal terkait penelitiannya. “Fokus kami dalam penelitian ini adalah nilai-nilai sosial yang terjadi didalam masyarakat yang banyak terefleksi didalam karya sastra contohnya di cerita rakyat barasa’,” tuturnya.
Bersama dua mahasiswa bimbingannya, Nurani dan Amala Rosalind Anjanette, Ia menyampaikan bahwa dalam proses penelitian tidak mengalami kendala karena mengangkat penelitian pustaka, yang artinya menganilisis buku, sehingga hanya terfokus untuk membaca dan menganalisis.
Ia menjelaskan bahwa cerita rakyat ini dapat membentuk nilai-nilai sosial dalam karakter pembaca melalui resepsi. Dalam dunia sastra, resepsi yaitu bagaimana pembaca dapat menerima hal-hal yang ada didalam teks. Pendekatan ini digunakan oleh peneliti sehingga nilai-nilai sosial yang sebenarnya sudah ada didalam karakter tokoh, mampu diketahui dan bisa teraktulisasikan kepada para pembacanya.
Dengan memanfaatkan metode penelitian deskriptif kualitatif, peneliti membagi data penelitian menjadi dua jenis yaitu data primer dan sekunder. Data primer sendiri didapatkan dari kalimat-kalimat yang terdapat dalam buku cerita rakyat “Pangeran Barasa” yang ditulis oleh Nuraidar Agus. Serta data sekundernya diambil dari beberapa referensi bacaan yang terkait dengan penelitian.
Cerita rakyat Pangeran Barasa’ ini mengisahkan para bangsawan pada abad ke-17 di Kerajaan Barasa’ yang sedang dilema, dimana mereka harus memilih antara menjadi hamba kerajaan Gowa atau beralih kepada kerajaan Bone yang hendak melakukan pemberontakan untuk melepaskan diri dari tekanan kerajaan Gowa. Apabila para bangsawan memilih kerajaan Gowa, maka kerajaan barasa’ akan menjadi hamba selamanya.
Namun, apabila mereka memilih kerajaan Bone, maka akan ada kemungkinan mereka untuk merdeka. Dalam cerita ini terdapat banyak karakter, dengan karakter utama bernama I jo’ro. yang digambarkan sebagai ksatria yang memiliki nilai-nilai heroik. Ada jga beberapa karakter pendamping yang disoroti.
Setelah ditelusuri, dari cerita rakyat Pangeran Barasa’ beserta karakter-karakter dalam cerita, ditelaah sepuluh nilai sosial yang terkandung. Nilai-nilai tersebut antara lain ; pengabdian, tolong menolong, persaudaraan, kesetiaan, sopan santun, rasa memiliki, menghargai, empati, keadilan, dan kerja sama.
Dalam proses dan hasil penelitiannya, Ia menggunakan teori Zubaedi yang mengelompokkan nilai sosial kedalam 3 kategori, yaitu kategori kasih sayang, tanggung jawab dan keselarasan. “Sangat jelas dalam cerita yang menggunakan setting istana sentris, pasti ada nilai sosial pengabdian dan tolong menolong yang sangat kental. Nilai tersebut masuk dalam kategori kasih sayang,” ucapnya.
Nilai pengabdian tergambarkan pada jurnal melalui kutipan “Oppo, seandainya saya sebagai rakyat Kerajaan Barasa atau Siang, saya bersedia untuk ikut mendampingi Karaéngta Tunisomba, Aru Palakka,”(Agus, 2016:35).
Nilai tolong menolong yang ditampakkan oleh tokoh Oppo Pacellang yang bersedia menerima I Jo’ro’ untuk tinggal beberapa hari dirumahnya. “Silahkan kamu pergi, wahai Pangeran Jo’ro. Tinggallah di kediaman Oppoka Paccellang,” (Agus, 2016:34).
Inayah dan tim berharap hasilnya menjadi referensi bagi analisis karya sastra lainnya. Tidak hanya sebagai hiburan saja, Ia juga ingin memperlihatkan bahwa ada satu sisi dimana karya sastra mampu mengedukasi khalayak ramai, pembaca umum dengan memperlihatkan nilai sosial yang terefleksi dalam karakter karya tersebut.
Yaslinda Utari Kasim
Discussion about this post