Aku jatuh hati padanya. Pada pria bermata teduh coklat pekat, pria berhidung mancung layaknya orang timur, pria gagah dengan tangan besar yang dimilikinya.
Sore ini pria itu duduk di halaman istana hijau. Ditemani secangkir kopi hitam kesukaannya dari Luwu Timur dan sebatang rokok di tangan kirinya. Asap yang menusuk keluar dari hidungnya, bagai orang ahli yang sudah menghabiskan ribuan batangan penyebab berbagai penyakit itu. Tatapan kosong terpancar dari matanya, sangat jelas ia memiliki masalah yang ku tahu takkan ia sampaikan pada siapa pun.
Kecapan kedua rokok itu beriringan dengan batuk yang ia keluarkan. Aku berdecak dari kejauhan. Akhir-akhir ini ia banyak bergaul dengan anak muda. Pengaruh merokok sepertinya ia dapat dari anak-anak muda itu.
Langit semakin jingga, kini kopinya tersisa seperempat gelas. Tak puas aku menatap setiap inci wajahnya yang kian menua. Helai rambut yang kini didominasi warna putih, mengingatkan ku kini ia tak lagi muda. Tak lagi setegap saat ia masih mengantarku sekolah tujuh tahun silam. Namun, semangat yang sama masih jelas ada. Kobaran api dari mata teduhnya masih terlihat saat hendak berangkat kerja.
Hingga aku duduk di bangku perkuliahan yang membuat ku tak jarang pulang larut malam. Karena itu, acap kali ia menanyakan jam kepulanganku. Bahkan menahan kantuk hanya untuk menunggu ku pulang hingga menjelang dini hari.
Pernah suatu malam, motor yang aku gunakan tiba-tiba saja mati di jalan menuju pulang. Aku yang selalu bergantung padanya, menelepon sambil menangis. Tak lama, ia datang menyalakan motor itu dengan satu kali hentakan kaki.
Malam itu ia melihatku yang memperhatikannya sambil tertawa kecil dengan mata sembab. Tertawa akan hal sederhana yang tidak bisa ku lakukan. Aku menangkapnya, matanya seakan menggerutu bertanya kenapa tak meminta tolong pada orang yang berlalu lalang di jalan ini. Paham kalau aku panik dan hanya dapat mengandalkannya, ia kemudian mengusap kepala ku dengan lembut.
Pernah juga aku menghubunginya melalui pesan singkat. “Aku terjatuh dari motor,” tulisku disertai simbol menangis melalui aplikasi WhatsApp. Selang beberapa menit, ia menyerangku dengan pertanyaan melalui telepon.
Padahal hanya ada goresan kecil di lutut dan telapak tangan yang perih. “Apanya yang sakit?,” tanyanya. Akhir dari ribuan pertanyaan yang sebelumnya tak satupun ku jawab. Pertanyaan singkat itu mampu membuat suaraku tertahan di tenggorokan menahan isak tangis.
Tidak. Bukan. Bukan karena goresan kecil itu. Kekhawatirannya membuatku mengeluarkan air mata tanpa suara. Perhatian kecil yang membuatku semakin jatuh hati padanya.
Selain itu, hal konyol juga sering kali terjadi. Pernah suatu waktu, ia mencari ponselnya sambil teriak bertanya-tanya. “Siapa yang melihat ponselku? Siapa yang terakhir gunakan ponselku?”. Pertanyaan itu ku jawab dengan menunjuk telingaku tanpa suara. Ia melihatku seakan paham jika ponselnya ia selipkan di antara helm dan telinga yang sempat ia gunakan menelpon beberapa menit lalu. Tanpa aba-aba, pria itu berangkat kerja sambil tertawa.
“Gilaaaa!,” teriakku dengan nada bercanda.
Peristiwa lain juga yang membuat ku geleng kepala. Ini terjadi di bulan Ramadhan ketika wanita pemegang kekuasaan tertinggi di rumah yang kusebut istana hijau ini menyuruhnya mencari makanan berbuka puasa. Aku juga disuruh ikut bersamanya.
Dalam perjalanan ini, tak sedikit orang membagikan takjil di sepanjang jalan yang dilewati. Ia kemudian dengan santainya menepi dan mengambil es buah itu. Aku merasa tak pantas menerima makanan itu karena ku pikir masih banyak orang yang lebih membutuhkan. Tapi apa boleh buat, aku hanya bisa menutup wajah ku di belakang helmnya.
Tak sampai disitu, masih di perjalanan mencari takjil, ada sekelompok orang lagi yang membagikan dos putih, kutebak berisi nasi, ayam, dan jajarannya. Lagi, dengan senyum yang merekah di bibirnya ia mengambil dos itu. Aku hanya bisa tersenyum kaku melihat orang yang membagikan itu dari belakangnya.
Sedari tadi aku sadar ia memperhatikan ku dari spion kiri. Tertawa melihat reaksi ku yang hanya diam. Aku hanya melihatnya sinis kemudian ikut tertawa. Frekuensi tawa yang ia ciptakan membuat ku sadar bahwa kebahagian itu diciptakan bukan dicari.
Namun tak jarang, dirinya yang usil juga kadang kala membuat aku jengkel. Bagaimana tidak, setiap pagi bahkan terlalu pagi, tak bosan-bosannya ia membangunkanku sekadar mengatakan ia akan berangkat kerja. Seringkali aku hanya membalasnya dengan bergumam setengah sadar.
Masih banyak peristiwa lain yang membuatku mengagumi sosoknya. Sosok penuh semangat, perhatian, dan sederhana membuatku tak henti merasa bersyukur, merasa gadis paling beruntung memilikinya. Darinya aku belajar, setiap kisah adalah pelajaran dan setiap kasih adalah pemahaman.
Nur Ainun Afiah
Discussion about this post