Makassar, identitasunhas.com – Bagi kamu mahasiswa Unhas atau mahasiswa Makassar yang pernah bertandang dan mengikuti kegiatan di Unhas, tentunya kamu sering mendengar sejumlah nama auditorium atau aula yang ada di kampus merah. Seperti Baruga Andi Pangeran Pettarani, Auditorium Prof Amiruddin dan Aula Prof Mattulada.
Namun selain 3 nama itu, masih ada beberapa tokoh yang namanya diabadikan menjadi nama aula atau auditorium di kampus merah. Mari mengenal pribadi dan sepak terjang dari sejumlah tokoh tersebut.
1. Baruga Andi Pangerang Pettarani
Kamu mahasiswa Unhas pasti sudah familiar dengan bangunan besar yang satu ini. Terletak di samping Fakultas Sosial dan Politik, bangunan ini berdiri kokoh dan menjadi salah satu bangunan terbesar di Unhas. Menjadi tepat untuk acara-acara besar seperti wisuda, seminar atau tempat berlangsugnya kegiatan mahasiswa.
Ya, apalagi kalau bukan Baruga Andi Pangeran Pettarani. Namun tahukah kamu siapa Andi Pangeran Pettarani, mengapa dia menjadi nama salah satu bangunan yang paling besar di Unhas ini?
Andi Pangeran Pettarani adalah orang yang memberikan kontribusi besar sehingga Unhas dapat didirikan. Seperti yang diungkapkan oleh M Dahlan Abubakar, mantan Kepala Hubungan Masyarakat Unhas.
“Dia banyak memberikan kontribusi pada Universitas Hasanuddin, dalam hal ini membantu pengadaan gedung dalam kapasitasnya sebagai gebernur, karena pada saat itu anggaran universitas tidak seperti sekarang” ujarnya pada identitas.
Dahulu, di kampus Baraya Unhas, salah satu bangunan yang sering digunakan untuk membuat pengelaran acara diberi bernama Sanggar Andi Pangeran Pettrani. Tempat itu merupakan satu-satunya gedung yang agak besar dan mewah.
Kemudian saat Unhas berpindah ke Tamalanrea dipindahkanlah menjadi Baruga Andi Pangeran Pettarani.
Menjabat sebagai gubernur pada 1956-1960, Pettarani dijuluki The Godfather karena kesederhanaan dan mampu menyatu dengan rakyat. Hal itu terlihat ketika ia dan anaknya akan pergi ke tukang cukur. Kemudian anaknya bergegas mengeluarkan mobil sedan. Pettarani melarangnya kemudian memanggil becak.
Di atas becak Ia menasihati anaknya untuk memperlihatkan pola hidup sederhana kepada masyarakat. Jika Ia naik mobil saat menjabat gubernur, masyarakat pasti akan mengatakan wajar. Namun ketika Ia naik becak setalah tidak jadi gubernur, orang akan berkata wajar kerena memang dia tidak lagi jadi gubernur.
Namun ketika masih gubernur naik becak maka setelah berhenti menjabat sebagai gubernur dan naik becak jadi biasa-biasa saja. Ceritera itu juga disampaikan M Dahlan Abu Bakar.
“Dia sangat pendiam dan gubernur yang sangat merakyat, ketika pergi ke suatu acara maka orang tidak akan berani pulang selama Pettarani masih berada pada acara tersebut, kerena segan dan beliau sangat dihormati,” kenang Dahlan.
2. Aula Laica Marzuki
Bagi kamu mahasiswa Fakultas Hukum Unhas, pasti udah familiar dengan Aula Laica Marzuki. Ruangan tersebut terletak di Fakultas Hukum Unhas. Namun tahukah kamu siapa Laica Marzuki? M Dahlan Abu Bakar yang juga salah satu senior identitas itu menceritakan latar belakang Laica Marzuki.
“Prof Laica itu, guru besar Fakultas Hukum yang namanya menjulang di tingkat nasional,” ungkap Dahlan.
Laica Marzuki memiliki karir yang cemerlang di tingkat Nasional. Laki-laki berdarah Sinjai, Sulawesi Selatan ini menjabat sebagai Hakim Agung RI hingga 2003. Selepas itu, Laica diangkat menjadi salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan terpilih sebagai Wakil Ketua MK hingga 2008. Hingga purna bakti, beliau menjabat sebagai Guru Besar dalam Mata Kuliah Bidang Ilmu Hukum Tata Negara.
Minat menggeluti dunia hukum diawali ketika ia masuk di Sekolah Menengah Kehakiman Atas Negeri (SMKAN) dan lulus tahun 1960. Kemudian menyelesaikan sarjana Hukum Unhas Sembilan tahun kemudian 1979. Selanjutnya selama setahun mengambil Program Sandwich di Leiden, Negeri Belanda (1984-1985). Menyelesaikan doktor di Universitas Padjadjaran (Unpad) Juli 1995.
Laica Marzuki sudah merambah pekerjaan dengan berbagai posisi. Setelah lulus SMAKN, dia diangkat sebagai Jaksa Muda pada Kejaksaan Negeri Sungguminasa (1960-1962).
Tugas awal yang memberinya pengalaman berinteraksi dengan kenyataan di ranah praktik. Agaknya, hanya tiga tahun mencoba menjalani ruang praktik hukum, Laica Marzuki melirik Fakultas Hukum Unhas guna melanjutkan pendidikan dan menjadi asisten dosen pada tahun 1963.
Sambil menjadi asisten, beliau menjalani perkuliahan dan mengantongi ijazah pada tahun 1979. Rupanya, dunia pendidikan tinggi lebih menggoda, tahun 1980 dia memutuskan hijrah ke Unhas.
Ketika berbicara tentang Laica, maka orang yang pernah bertemu dengan menggambarkanya sebagai orang yang sederhana dan cerdas. Gaya berpidato yang menarik mampu menghipnotis pendengar karena ia mampu menjelaskan fenomena hukum dengan kalimat yang sasatrawi sehingga lebih mudah dipahami.
“Low profile dan sangat kebapakan, beliau adalah seorang pakar hukum yang seniman, ketika dia berpidato enak sekali wacananya enak karena lebih sastrawi, ketika berpidato pasti kasus hukum dirakit menjadi kalimat-kalimat yang bernilai sastra,”cerita Dahlan.
3. Aula Harifin Tumpa
Satu lagi bagunan di Fakultas Hukum namanya Aula Harifin Tumpa. Seperti halnya Laica Marzuki, Harifin Tumpa juga salah satu alumni Fakultas Hukum yang namanya dikenal hingga Nasional.
Harifin Andi Tumpa adalah Ketua Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (2009-2012). laki-laki kelahiran Soppeng, pada 23 Februari 1942 Awalnya ia berkarier menjadi hakim di berbagai Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di berbagai daerah.
Pendidikan hukumnya diperoleh dari Sekolah Hakim dan Djaksa di Makassar pada 1959-1963, kuliah di Fakultas Hukum Unhas, selesai 1972, melanjutkan ke pascasarjana Universitas Leiden 1987, dan Magister Hukum di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta tahun 1998-2000.
Di akhir jabatanya sebagai Ketua MA, Ia meluncurkan buku yang berjudul “Harifin A Tumpa: Pemukul Palu Delta Sungai Walanae” yang menuliskan perjalanan hidupnya sejak kecil hingga berada di puncak karir. “Di Sini saya mencoba bagaimana hakim bisa memadukan antara hukum dan keadilan,”ujarnya saat peluncuran buku tersebut.
Pada masa jabatan Prof.Dr.dr.Idrus A Paturusi, ia mendapatkan gelar doktor kehormatan (honoris causa) dalam bidang Hak Asasi Manusia dan Peradilan. Kemudian pada moment tersebut Harifin menyampaikan orasi ilmiah bertajuk ‘’Transparansi Merupakan Pintu Keadilan dan Kebenaran’’.
Harifin adalah orang ketujuh dan alumni Unhas pertama yang menerima gelar seperti itu. Gelar itu pertama kali menganugerahkan Presiden I Republik Indonesia, Ir.Soekarno.
Pemberian gelar kepada Harifin bukan tanpa alasan. Kiprahnya dalam penegakan hukum di Indonesia melalui tuntutan transparansi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan modern.
4. Aula Prof Mattulada
Menjadi ikon dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Aula Mattulada menjadi tempat yang strategis untuk kegiatan kemahasiswaan. Tapi tahukah kamu mengapa Aula tersebut menggunakan nama Mattulada? Menelitik lebih jauh ke sejarah Unhas didirikan, Mattulada adalah salah satu orang yang memberikan kontribusi sehingga Unhas berdiri.
Baca Juga: Prof Dr Mattulada, Berani Hentikan Mobil Menteri untuk Desak Unhas Didirikan
Mattulada ialah salah satu tokoh yang turut menghadap ke Presiden Republik Indonesia, Soekarno. Ia bertemu untuk mendesak berdirinya sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Makassar. Namun, sang presiden sedang ke Sumatera, Ia hanya sempat bertemu dengan Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI.
Tak lama setelah itu, Soekarno bertandang ke kantor gubernur untuk menyatakan pendirian PTN dan menamainya Universitas Hasanuddin. Beberapa bulan kemudian, Mohammad Hatta datang meresmikannya.
Mattulada kemudian menjadi mahasiswa pertamanya. Ia juga ikut merintis berdirinya Fakultas Sastra, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Fakultas Ilmu Budaya. Dua tahun setelah kelulusannya, Ketua Senat Akademik tahun 1990 ini juga menjabat sebagai Dekan FIB.
Dahlan Abu Bakar sebagai orang yang pernah bertemu dengan Prof Mattulada menggambarkan laki-laki kelahiran Bulukumba tersebut sebagai orang yang pemberani, karena pada saat itu ketika masa orde baru ia secara terang-terangan menyatakan bahwa Indonesia adalah negara penguasa. Pada saat itu tidak ada orang yang berani mengatakannya karena pasti akan ditangkap.
“Dia itu laki-laki bugis betul, jadi kalau dia ngomong dia tidak pusing,” cerita Dahlan.
M Dahlan Abu Bakar juga mengungkapkan bahwa Mattulada adalah orang yang cerdas sehingga ketika berbicara selalu ada hal baru dan dijelaskan dengan sangat masuk akal.
“Dia adalah antropolog dan budayawan yang sangat luar biasa, kalau dia ke rektorat selalu saya cari bahan untuk berdiskusi, karena saya suka menunggu responya dari apa yang mau saya tanyakan, dia akan menjelaskan dengan sangat logic, makanya gedung ini diberi nama gedung Mattulada untuk mengenang beliau,” cerita Dhalan.
5. Aula Prof Syukur Abdullah
Aula ini terletak di Fakulas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip). Menjadi tepat untuk kegiatan-kegiatan penting khususnya oleh Mahasiswa Fisip. Mungkin sebagian besar belum mengenal tokoh yang menjadi nama Aula tersebut. Nah Prof Syukur Abdullah adalah salah satu mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Pada masanya, Prof Syukur dianggap sebagai orang yang cerdas dan memberikan banyak sumbangsi untuk masyarakat. Kesedehanaan menjadikan ia teladan bagi civitas Unhas dan masyarakat. Dahlan Abu Bakar sebagai orang yang merasakan kepemimpinannya mengambarkannya demikian.
“Orang yang dianggap cerdas pada masanya, beliau juga seorang pemimpin kampus yang menjadi panutan pada masanya, orangnya juga sangat low profile, beliau semasa dengan Prof Mattulada,” jelas M Dahlan.
Pada masa 1950 dan 1960-an masih sangat sedikit orang yang berpendidikan seperti sarjana masih sangat minum. Pemerintah membantu dan memberikan kontribusi dari kaum terdidik tidak terkecuali Prof Syukur. Laki-laki kelahiran Enrekang ini banyak mengeluarkan ide dan gagasan untuk membangun daerah khususnya Kabupaten Enrekang.
“Saat itu bupati adalah penguasa tunggal sehingga apapun yang diinginkan bupati pasti jalan dan perguruan tinggi pada saat itu sangat dominan memberikan kontiribusi pada pemerintah daerah,” ujarnya.
M Dahlan juga menceritakan kepribadiaan Prof Syukur yang sangat sederhana dan kalem. “Beliau itu kan termasuk yang kalem dan tidak mudah mengumbar kata-kata, saya tidak mampu mengingat beliau tertawa dengan lepas, yang saya saksikan beliau selalu berbicara secara serius” kenang Dahlan.
Namun Prof Syukur Abdullah meninggal sebab kecelakaan mobil. Perjalanan dari Enrekang ke Makassar bersama sopirnya membawanya meninggal dunia. Walau kini ia telah pergi namun namanya tetap dikenang.
6. Aula Prof Amirruddin
Menjadi salah satu ikon Fakultas Kedokteran Unhas, Aula Prof Amiruddin menjadi tempat yang cukup mewah dalam melaksanakan berbagai kegiatan. Bagi orang awam mungkin menganggap Prof Amiruddin adalah seorang dokter.
Namun, melihat latar belakang pendidikannya, Amiruddin bukanlah seorang dokter, melainkan seorang ahli Kimia Nuklir. Lantas mengapa Ia jadi salah satu nama Aula di Fakultas Kedokteran?
Amiruddin adalah sosok dibalik berdirinya Kampus Tamalanrea. Pada saat itu ia mendapatkan banyak pertentangan dari berbagai pihak bukan hanya mahasiswa namun juga para guru besar.
Amiruddin memiliki pemikiran yang jauh ke depan yang terkadang tidak terfikir. Selain itu pantang menyerah terbukti dari usaha mewujudkan perpindahan kampus Unhas yang memiliki jalan berliku namun ia mampu merealisasikanya.
Kedisiplinan adalah hal yang melekat dalam dirinya. Hal ini diketahui semua orang khususnya wartawan. Ketika Amiruddin menjabat sebagai gubernur, para wartawan yang akan mengikuti kujungan bersamanya memilih tinggal di masjid karena jika terlambat pasti akan di tinggalkan.
Begitupun pada keluarganya ketika Amiruddin mengatakan pada anaknya jam enam berangkat maka tepat jam itu ia berangkan jika tidak akan ditinggalkan.
“Saya tahu persis bahwa ia adalah orang yang sangat on time, saya memiliki banyak pengalaman kalau urusan waktu, jangan perna coba-coba lewat ditinggalkan, jangan coba-coba datang terlambat,” kenang mantan kepala Humas Unhas yang juga wartawan senior, M Dahlan Abubakar.
Prof Amiruddin pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Hasanuddin ke-6 dari tahun 1973 hingga 1982, Gubernur Sulawesi Selatan dua periode 1983-1988 dan 1988-1993 serta Wakil Ketua MPR-RI pada 1992 hingga 1997. Tetap menjadikan Amiruddin sebagai orang yang rendah hati.
Amiruddin tidak pernah menggunakan supir setelah jam kerja. Ketika namanya digunakan sebagai Aula ia sangat menentang. Bahkan selama menjadi gubernur ia tidak pernah menandatangi prasasti kecuali sebuah taman kanak-kanak di Pacerakkang, Daya, itupun ia menggunakan nama istrinya.
“Beliau selalu menghindari penyambutan yang berlebih-lebihan, penyambutan yang dilakukan oleh bupati itu sendiri ada dibagian depan ternyata Prof Amir sudah lama dilokasi acara,” kenang M Dahlan saat bercerita tentang kunjungan Prof Amiruddin ke lokasi KKN mahasiswa di sebuah kabupaten.
Reporter: Norhafizah
Discussion about this post