Berjalan, lalu menyaksikan setiap bagian yang indah secara detail, suatu kelegaan tersampaikan.
Sebuah lukisan ibu tua menyaksikan ku makan indomie goreng, sontak kuperhatikan bagian darinya secara detail. Kubayangkan potret dari ibu tua yang tampak lesu itu sembari memegang pundaknya dari depan, membayangkan nasib anak-anaknya yang jauh dari rumah. Merindukan sentuhan jemari mereka menghampiri pundaknya, sembari anaknya menanyakan “Bu, masak apa hari ini?”, serta banyak skenario lain yang terlintas dari satu lukisan itu. Segera kuabadikan indomie dan lukisan dibaliknya.
Momen itu empat tahun lalu, acara keluarga menjadi alasan mengunjungi Ibukota. Kami tidak punya banyak keluarga disana, apalagi yang sepantaran denganku. Setelah acara inti selesai, untuk pertama kali, aku menyusun agenda menikmati Ibukota sendirian.
Caraku menikmati kunjungan suatu tempat bukan hanya pada tempat yang kutuju, tapi dari proses perjalanan yang kulewati tiap mengunjungi tempat tersebut. Sebenarnya pernah beberapa kali ke Ibukota, tapi sudah dengan agenda yang sudah ditentukan. Tidak ada jalan-jalan sendirian.
Maka, mulailah kususun tempat apa saja yang bisa dikunjungi secara gratis dan menyenangkan, awalnya pilihan-pilihan itu bukan tujuannya. Tujuannya adalah merasakan berlama-lama jalan sendiri, naik ojek online kesana-kemari sendiri, antri kereta, hingga menunggu di halte.
Setelah jadi pustakawan, perpustakaan nasional menjadi pilihan pertama yang wajib aku kunjungi saat itu, karena daerahnya berdekatan dengan beberapa tempat umum lainnya seperti monumen nasional, galeri, dan museum. Maka kuagendakan untuk mengunjungi semuanya sekaligus.
Entah berapa kilo kutempuh dengan berjalan kaki dari perpustakaan berurut galeri. Saat hendak ke galeri inilah kubertemu lukisan itu di warung. Setelah makan, kakiku melangkah memasuki gedung pameran yang sedang dibuka. Ternyata, tiap waktu pameran yang tersedia akan berganti. Maklum, baru pertama jadi belum tau banyak hal tentang ini.
Saat di dalam, tak banyak orang yang kutemui. Bahkan nyaris sejauh mata memandang tidak ada, hanya ada penjaga registrasi di pintu. Lantas dengan kesunyian itu, kusaksikan dengan seksama tiap hal yang ada di dalam gedung.
Pertama, sebuah maket rumah kayu yang digotong berpindah oleh banyak orang. Mengingatkan bahwa orang pada dulu yang ternyata memiliki nilai gotong royong sangat besar. Bahkan rumah yang boleh dikata berat, milik seseorang digotong bersama.
Kedua, sebuah kolase yang ditempel satunya koran-koran lama, satunya lagi cuplikan video. Koran itu ditempel berada pada tembok putih, cuplikannya pada tembok hitam. Sontak juga kuberpikir, bahwa jelas tiap individu memiliki keunikan dan rasa kegemaran yang berbeda.
Ketiga, potret beberapa anak-anak yang terdampak konflik, serasa bisa menyaksikan seberapa keras mereka berusaha untuk tersenyum setiap harinya.
Begitu selanjutnya, hal sederhana jika kuperhatikan secara detail memiliki makna yang tersirat. Entah itu makna dari interpretasi diri sendiri atau makna yang memang ingin disampaikan oleh seniman yang membuatnya.
Sejak saat itu, saya secara sontak mendeklarasikan diri sebagai penikmat seni. Setiap pameran yang bisa kujangkau akan kudatangi. Pameran apapun itu.
Setahun setelahnya, aku ke Yogyakarta menghadiri kegiatan. Kebetulan saat itu dilaksanakan Art Jog, sebuah festival, pameran, dan pasar seni rupa kontemporer yang digelar tahunan sedang berlangsung. Sebuah keberuntungan yang membahagiakan.
Saat menghadiri pembukaannya, ratusan orang antri berdesakan untuk berfoto, sekadar melihat atau berinstastory di Art Jog. Setiap orang memiliki kebebasan bagaimana menikmati sesuatu itu. Entah menyimpannya sendiri, memamerkannya ke media sosial, atau merekamnya hanya dalam pikiran.
Kemudian, di tahun ini, berkesempatan lagi mengunjungi Ibukota untuk sebuah kegiatan. Segera, setelah kegiatan, pulang ke Makassar kutunda untuk bertemu beberapa teman dan berwisata sendiri. Kunjungan ke Museum dan Galeri menjadi tempat yang wajib bagiku, bahkan kumencari beberapa pameran lain yang bisa kukunjungi secara gratis.
Di Galeri Nasional kemarin, yang kebetulan dipamerkan adalah ‘’Botani Art’’, banyak lukisan akan keanekaragaman tumbuhan yang ditunjukkan secara detail dan menawan. Kemudian, pameran lukisan-lukisan sejarah lainnya. Salah satu yang menarik bagiku, instalasi sebuah patung-patung harimau yang di depannya ada sebuah TV yang menayangkan semut yang sedang antri berjalan. Alangkah indahnya, jika manusia ini seperti semua.
Semua hal itu sungguh suatu vitamin jiwa bagiku. Tapi, jika kuceritakan seperti ini bukan berarti aku mengetahui tiap bagian yang kulihat. Ahli seni sekali, tidak. Aku hanya penikmat, bahkan lukisan empat tahun lalu yang kusaksikan itu, setelah kutelusuri melalui google lens adalah lukisan milik Affandi. Maestro Lukis Indonesia, namanya pun baru pertama kutau saat itu.
Mengunjungi pameran, hal selain buku yang membuatku bisa merasakan menikmati berbagai tempat di dunia walau tidak menyaksikannya secara langsung, bahkan bisa lintas berbagai tahun. Seperti yang kuingat juga, di sebuah tulisan “Muliakanlah Tuhan dan cintailah sesama manusia,’’ Raden Saleh, 1848.
Maka, dari ini merdekalah kita untuk bisa menikmati tiap hal yang indah. Menyelami tiap hal dengan seksama. Tak harus sebenarnya dari pameran, cukup dari hal kecil yang ada disekitar dan bisa menjadi makna yang besar. Seperti memperhatikan rural atau lukisan yang ada di tembok gang di jalanan adalah hal yang bisa kita maknai sendiri.
Mengunjungi pameran, mengunjungi ruang imajinasi yang tertutup akan kesesakan kondisi yang terjadi.
Penulis Nurul Hikma
Merupakan Mahasiswa Agroteknologi Fakultas Pertanian Unhas,
Angkatan 2019
Sekaligus Koordinator Desain dan Sosial Media PK identitas Unhas 2022