Negara maritim ialah negara yang berada dalam kawasan laut yang luas. Secara geografis Indonesia masuk dalam kategori tersebut. Aspek maritim sangat penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, salah satu buktinya ialah kerajaan- kerajaan Nusantara pada masa lampau yang pernah mengalami masa keemasan karena memanfaatkan potensi kelautan.
Ir. Soekarno pernah berkata bahwa bangsa Indonesia tidak bisa menjadi bangsa yang kuat jika memunggungi laut. Salah satu visi presiden Jokowi pada tahun 2014 silam ialah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Namun, konsep tersebut dapat dikatakan belum terealisasi. Lalu, bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk membangun kembali negara maritim Indonesia agar dapat menjadi poros maritim dunia? Berikut wawancara khusus reporter PK Identitas Unhas, Irmalasari dengan salah satu dosen Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, Abd. Rahman Hamid melalui aplikasi Whatsapp, Kamis (30/7).
Secara geografis, Indonesia termasuk negara laut terbesar di dunia. Luas wilayah lautnya 3,1 jt KM dengan panjang garis pantai 81.000 KM. Dalam perspektif sejarah maritim, bagaimana seharusnya memanfaatkan potensi laut yang luas tersebut?
Pengalaman sejarah bangsa kita menunjukkan bahwa siapa pun yang mampu memanfaatkan dan mengontrol laut akan mencapai kejayaan. Pusat-pusat kejayaan berada di kawasan laut yang startegis, misalnya Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Makassar, Selat Sunda, Laut Flores, Laut Banda, dan Laut Maluku. Karena kawasan laut melalui peran pelaut dan pedagang menjadi medium interkoneksitas antar kawasan (geografi) dan sosial budaya (manusia), maka pembangunan sistem pertahanan negara kita harus berbasis maritim, baik dalam hal struktur pertahanan (pusat kekuatan maritim: Angkatan Laut) maupun jumlah personil militer (marinir).
Terdapat tiga persoalan mendasar dalam dunia maritim Indonesia, yakni ketimpangan agraria kelautan, kerentangan pencurian ikan, dan ketimpangan infrastruktur. Dalam perspektif sejarah maritim, bagaimana mengatasi tiga persoalan mendasar tersebut?
Terjadinya pencurian ikan di perairan Nusantara menunjukkan masih lemahnya pertahanan laut (naval power) kita dalam menjaga keamanan dan sumber daya perikanan. Hal ini terkait dengan struktur dan personil pertahanan laut kita.
Secara konsep, archipelagic states masih dipahami dari perspektif darat/tanah atau “negara kepulauan” sehingga pembangunan pun berbasis darat. Hal ini juga terlihat dari struktur pertananan (TNI) kita yang lebih dominan pada TNI-AD. Bila kita memahami dengan baik archipelagic state (negara maritim) dan menjiwainya, maka kebijakan pembangunan negara kita harusnya mengutamakan aspek kemaritiman.
Salah satu visi presiden Jokowi ialah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Selain menyelesaikan tiga persoalan mendasar yang disebutkan sebelumnya, hal apa saja yang harus dilakukan Indonesia agar bisa kembali ke masa kejaayaan seperti zaman dahulu dan menjadi poros maritim dunia?
Mengutamakan laut dalam kebijakan pembangunannya. Selain menguatkan struktur pertahanan (TNI-AL), juga pemelancaran trasportasi (kapal/perahu) laut antar pulau dan sistem laut, serta pemajuan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia sebagai simpul utama kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Kejayaan maritim kita di zaman bahari (red: dahulu kala) berpangkal pada pemanfaatan dan penguasaan kawasan laut yang strategis dalam arus sejarah bangsa Indonesia.
Pelabuhan adalah simpul utama negara maritim, dan karena itu harus diutamakan pemajuannya.
Indonesia seringkali mengalami sengketa batas laut, seperti yang terjadi baru- baru ini, sengketa laut Natuna. Menurut Anda, apa saja yang perlu dilakukan Indonesia agar kedepannya terhindar dari hal tersebut?
Memperhatian pembangunan wilayah dan masyarakat di pulau-pulau terdepan dalam kawasan laut strategis, yang disertai berbagai kajian ilmiah dari lintas ilmu, sehingga kita mempunyai kekayaan pengetahuan terhadap kawasan tersebut. Hasil kajian itu selanjutnya dijadikan acuan oleh pemerintah dalam pembangunan negara kita.
Kajian sejarah maritim dalam hal itu, sangat penting untuk memahami proses historis kawasan laut tersebut menjadi bagian integral dari laut teritorial Indonesia.
Menurut Anthony Reid (1999) kedudukan pelabuhan sangat penting dalam perdagangan maritim Asia Tenggara terutama pada pelayaran tradisional yakni memanfaatkan angin muson yang bertiup teratur sepanjang tahun. Namun, karena saat ini pola pelayaran sudah modern, apakah pelabuhan masih bisa dikembalikan eksistensinya seperti dahulu?
Selama fakta geografis Indonesia sebagai negara maritim (laut yang ditaburi ribuan pulau) belum berubah, karena sudah menjadi takdirnya, maka selama itu pelabuhan sangat penting sebagai simpul utara jaringan maritim antar kawasan/pulau di Indonesia.
Pengalaman sejarah, sekali lagi, mengajarkan kepada kita bahwa kejayaan kerajaan/kesultanan di Indonesia pada masa lalu sangat ditentukan oleh kemampaun kerajaan/kesultanan tersebut mengelolah dan mengembangkan pelabuhannya sebagai pintu utama perdagangan maritim antar kawasan (lokal, regional, dan global).
Indonesia memang dikenal memiliki kekayaan laut yang melimpah. Namun, ironinya kelompok masyarakat termiskin ialah masyarakat nelayan. Mengapa demikian?
Kemiskinan itu masalah budaya, bukan soal geografis. Negara kita kaya dengan sumber daya laut.
Bila kapal dan nelayan asing datang menangkap atau bahkan mencuri ikan di laut kita yang membuat mereka kaya, maka itu artinya kita punya potensi luar biasa untuk menjadi kaya bila masyarakat dan pemerintah secara sungguh-sungguh memanfaatkan hasil- hasil laut dan perikanan.
Hal apa yang dapat dilakukan agar generasi sekarang tertarik dengan sejarah maritim atau paling tidak tertartik tentang kemaritiman?
Belajar sejarah maritim agar mendapatkan pemahaman dan tumbuhnya kesadaran pentingnya laut dalam sejarah bangsa kita.
Mengubah paradigma kita terhadap laut, bukan sebagai halaman belakang yang sering menjadi tempat pembuangan sampah, melainkan sebagai halaman depan/utama yang harus dijaga kebersihannya.
Aksi-aksi cinta laut, seperti sosialisasi lewat media sosial untuk menjaga kebersihan laut, atau bergiat membersihkan pantai dan laut.
Kemah bakti bahari, yang selama ini lebih banyak di darat, di pantai atau pulau-pulau kecil supaya kita melihat keindahan laut dan memeroleh inspirasi untuk memanfaatkan dan mengembangkan di masa akan datang.
Bagaimana harapan Anda dengan dunia maritim ke depannya?
Saya yakin Indonesia dapat berjaya kembali di laut, seperti zaman bahari, bila kita tidak lupa belajar sejarah dan kesadaran maritim sebagai acuan utama dalam pembangunan negara maritim Indonesia.
Anugerah maritim yang luar biasa diberikan oleh Tuhan kepada kita seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi kemakmuran bangsa dan negara. Seperti kata Bung Karno, bahwa untuk menjadi negara yang kuat, sejahtera, sentosa, maka kita harus mencintai atau kawin dengan laut dalam arti lebih intim mengenal dan memperlakukan laut bagi kemaslahatan hidup umat manusia.
Data Diri
Nama Lengkap : Abd. Rahman Hamid
Tempat/ Tanggal Lahir : Maluku, 8 Oktober 1982
Agama : Islam
Riwayat Pendidikan
S1Pendidikan Sejarah UNM (2000-2004)
S2 Antropologi Peminatan Sejarah Unhas (2005-2007)
S3 Ilmu Sejarah UI (2013-2019)
Karir
Tim ahli sejarah Museum Nasional Indonesia untuk Pameran Europalia (2017-2018)
Tim ahli sejarah Penentuan Batas Indikatif Wilayah Laut Provinsi Sulawesi Barat (2018)
Dewan Penasihat Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Provinsi Sulawesi Selatan (2019-2020) & AGSI Provinsi Sulawesi Barat (2019-2020)
Koordinator Wilayah Program Keluarga Harapan – Kementerian Sosial RI di Provinsi Sulawesi Selatan (2010-2020).
Penulis buku Sejarah Maritim Indonesia (2013; Cet. IV 2018), Sejarah dan Budaya Maritim Indonesia (2020), Orang Buton: Suku Bangsa Bahari Indonesia (2011), Sabangka-Asarope: Tradisi Pelayaran Orang Buton (bersama Tasrifin Tahara dan La Ode Abdul Ganiu,2016), dan kontributor buku Archipel: Indonesia Kingdoms of the Sea (2017).