Pengobatan sindrom metabolik hingga saat ini belum optimal, membuat banyak peneliti melakukan riset pengembangan pengobatan. Sindrom metabolik adalah kondisi kelainan metabolik dalam tubuh berupa peningkatan tekanan darah, gula, lemak tubuh, serta kadar kolestrol terjadi dalam waktu yang bersamaan. Berdasarkan data Himpunan Studi Obesitas Indonesia (2008), jumlah kasus sindrom metabolik di Indonesia sebesar 13,13% dari total penduduk Indonesia dan cenderung terus meningkat.
Olehnya itu, dalam pengembangan pengobatan, objek penelitian sangat dibutuhkan sebelum hasilnya diberikan kepada manusia. Biasanya, tikus menjadi model hewan uji coba dalam percobaan penelitian. Tikus sebagai pilihan utama model hewan karena memiliki banyak fungsi anatomi mirip dengan yang dimiliki manusia.
Seiring dengan meningkatnya jumlah riset, maka kebutuhan ketersediaan pakan tikus tinggi lemak juga semakin meningkat. Umumnya, pakan tikus laboratorium yang dibuat oleh peneliti memiliki kadar air yang tinggi sehingga tidak tahan disimpan pada suhu ruang.
Menyadari hal ini, Amalia bersama tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) berpikir untuk menciptakan inovasi pakan tikus laboratorium dengan bahan baku berupa serbuk jagung, serbuk kedelai, kuning telur bebek, dan lemak sapi yang diformulasikan ke dalam bentuk pelet. Penggunaan kuning telur bebek dapat lebih mudah memicu kondisi sindrom metabolik.

Pa’commo, sebuah nama dari inovasi yang dikembangkan Amalia dan kawan-kawan. Nama tersebut diambil dari bahasa Bugis-Makassar yang berarti penggemuk. Menurutnya, hal ini sebagai bentuk pelestarian budaya dan kearifan lokal Sulawesi Selatan serta interpretasi dari salah satu tanda terjadinya sindrom metabolik, yaitu penambahan berat badan atau kegemukan.

Produk Pa’commo hadir dengan dua varian, yakni varian sindrom metabolik dan varian standar. Varian standar digunakan untuk pakan harian tikus, usaha ini memiliki target pasar yang lebih luas dengan tidak hanya menjangkau para peneliti dan laboratorium. Namun juga peternak tikus dan toko pakan hewan.
Pa’commo dikemas menggunakan plastik kedap udara dengan tambahan silica gel untuk memperpanjang masa simpan. Selain itu, praktis untuk digunakan, harga terjangkau, serta mengandung nutrisi kompleks yang dibutuhkan tikus dalam pemodelan sindrom metabolik dan obesitas.
Pakan tikus laboratorium Pa’commo hadir sebagai inovasi yang bermanfaat dari segi kualitas untuk menaikkan kadar kolesterol, tekanan darah, gula darah, dan lemak pada tikus, serta lebih ekonomis dalam penyediaannya. Inovasi ini mengandung kadar air rendah (<5%) dengan masa simpan hingga mencapai enam bulan pada suhu ruang, mudah dikonsumsi oleh tikus, serta waktu penyediaan pakan juga lebih singkat.
Pembuatan pakan tikus Pa’commo ini tidak memerlukan waktu yang lama selama bahan-bahan yang dibutuhkan telah tersedia sehingga dapat langsung dicampur dan dicetak. Namun, memakan waktu pada proses pengeringan.
Amalia menggunakan 20 gram/tikus untuk satu kali pemberian pakan. Estimasi jumlah tikus yang digunakan paling sedikit 15 ekor, sehingga ia hanya menggunakan 300 gram/hari atau 9 kg/bulan.
Berdasarkan beberapa keunggulan yang termuat dalam laporan penelitiannya, ia merasa sudah memenuhi kriteria dalam penawaran produk yang didukung oleh beberapa percobaan yang telah dilakukan. Di balik kesuksesan penjualan pakan tikusnya, kendala yang menghampiri Amalia bersama tim yakni dari segi harga bahan baku tidak menentu atau musiman, serta kapasitas oven yang terbatas.
Diakhir wawancaranya, Amalia berharap penelitian ini tetap berlanjut agar menjadi peluang usaha bagi orang lain dalam hal produksi dan pendistribusian produk.
Nursayyidatul Lutfiah
Discussion about this post