Semua bermula saat melihat pengumuman penempatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Aku yang memilih tema desa wisata cukup kaget melihat namaku terdaftar dalam program KKN di Toraja Utara. Pupus sudah harapan ber-KKn di Maros yang lokasinya cukup dekat dengan Makassar.
29 Desember 2022 perjalanan untuk memenuhi satuan kredit semeter KKN di mulai. Bersama dengan puluhan mahasiswa lain, kami menempuh waktu kurang lebih delapan jam menggunakan bus dari Makassar menuju Rantepao, Toraja Utara. Sesudah melakukan penyambutan di Kantor Bupati, kami melanjutkan perjalanan dari Kota Rantepao menuju desa tempat KKN.
Aku bersama teman-teman lain harus menggunakan truk untuk tiba di posko KKN. Jalanan yang menanjak dan berkelok cukup membuat kepala pusing. Udara yang berhembus terasa menusuk kulit saking dinginnya padahal saat itu masih siang.
Pada tengah perjalanan, truk yang kami tumpangi harus berhenti ketika berpapasan dengan mobil dari arah berlawanan. Saling mengalah untuk mempersilakan salah satunya lewat, dikarenakan jalanan yang sempit. Telinga bahkan terasa berdengung dan suara-suara orang lain mulai mengecil. Rupanya lokasi KKN saat itu memang di daerah Gunung Sesean.
Setelah menempuh waktu yang lama, aku bersama sepuluh mahasiswa yang lain akhirnya tiba di sebuah desa yang indah. Namanya Lembang Sesean Matallo, sekitar 14 kilometer dari Kota Rantepao. Lembang ini tergolong kecil karena hanya terdiri dari tiga dusun.
Kami tiba di rumah kerabat Kepala Lembang Sesean Matallo, masyarakat setempat lebih sering memanggilnya dengan sebutan Pak Lembang. Di halaman rumah ada dua tongkonan yang berdiri kokoh dan sembilan alang berjejer rapi. Di seberang jalan sana ada hamparan sawah dan pemandangan Gunung Sesean.
Kedatangan kami disambut baik oleh masyarakat setempat. Bahkan kami disuguhi hidangan berupa daging kerbau yang dibakar dan ballo’ (tuak) sebagai menu makan malam. Ballo’ adalah minuman khas Toraja yang berasal dari pohon enau.
Malam itu kami habiskan dengan bercerita bersama Pak Lembang tentang perjalanan kami menuju tempat KKN.
Selama melaksanakan KKN, tidak jarang beberapa anak yang masih duduk dibangku SD mendatangi posko. Mereka duduk di teras posko sembari bercerita tentang sekolahnya yang tidak memiliki guru Bahasa Inggris. Aku pun kembali mengingat ketika melaksanakan seminar program kerja di kantor desa, banyak masyarakat berharap agar anak-anak di desa juga diajarkan Bahasa Inggris.
Pernah satu waktu beberapa anak-anak itu datang ke posko untuk belajar Bahasa Inggris. Nampak di tangan mereka buku tulis dan pensil. Bahkan aku pun cukup terkejut mengamati buku tulis itu berisi nama-nama hewan dalam Bahasa Inggris. Mereka berkata, kalau nama-nama hewan itu disalin dari poster yang terdapat di sebuah TK yang sudah tidak terpakai.
Kejadiaan lainnya yang masih membekas di ingatanku adalah saat aku menemani temanku melatih siswa SD untuk menari, tiba-tiba aku dihampiri oleh seorang siswa yang kami ajar di kelas tiga. Namanya Gabriel, kala itu ia mengenakan seragam batik sekolah yang dipadukan dengan celana merah. Sambil memegang sebelah tanganku, ia meminta agar aku masuk mengajar di kelasnya karena gurunya sedang sakit.
Tidak seperti siswa yang biasanya senang bila gurunya tidak masuk agar bisa pulang cepat, ia justru memilih agar kelasnya tetap belajar. Gabriel bahkan rela menunggu di depan posko KKN tatkala aku pulang untuk mengganti sandal menjadi sepatu agar lebih sopan.
Banyak hal yang kupetik selama menjalani masa-masa KKN yang hanya 40 hari itu. Beberapa kali kami mendatangi acara adat, seperti acara lamaran dan kematian. Di acara kematian yang didatangi, kami para perempuan membantu ibu-ibu desa untuk melipat kertas. Sedangkan yang laki-laki mengangkat bambu dan atap seng untuk dibuat menjadi pondokan. Hal ini membuktikan bahwa jiwa sosial di sana masih sangat tinggi. Masyarakat ikut serta untuk saling membantu.
Tak sampai disitu, aku dan teman-teman KKN berkunjung ke beberapa tempat wisata di Sesean Matallo. Wisata Toderi adalah salah satu lokasi wisata yang sangat indah karena lokasinya yang berada di gunung dan seringkali dijadikan tempat camping. Dari sana dapat dilihat sebuah batu yang menyerupai wajah manusia.

Kami juga mengunjungi beberapa lokasi wisata lain seperti Pasar Bambu dan Rante Kokoa, di sana terdapat beberapa batu menhir yang ditanam ke dalam tanah. Ada cerita-cerita mistis dari wisata tersebut.
Hal ini juga menjadi salah satu pelajaran yang dipetik. Mengunjungi dan menjelajah tempat wisata mampu membawa kita pada sebuah sejarah yang tidak pernah diketahui sebelumnya.
Meskipun telah mendapat predikat sebagai Desa Wisata tahun 2021 lalu dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, masih ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dan perlu untuk dibenahi, salah satunya ketersediaan air.
Sering sekali air tidak mengalir sehingga kami harus menumpang mandi di rumah Pak Dusun. Masyarakat setempat pun hanya bisa bergantung dari sumber mata air karena PDAM tidak tersedia. Kami mesti menunggu beberapa saat sehingga lumut yang tertampung di dalam bak dapat mengendap.
Belum lagi masalah sinyal yang masih kurang baik dan pemadaman lampu yang bisa seharian. Fasilitas seperti lampu jalan di dalam desa juga tidak ada, sehingga saat berkendara di malam hari hanya ditemani oleh penerangan dari lampu motor.
Begitulah masa-masa yang kualami selama mengabdi di desa ini. Teras posko menjadi saksi betapa seringnya kami duduk di sana untuk sekadar bercengkrama dan menikmati secangkir kopi gula aren sembari menatap Gunung Sesean yang lambat laun tertutup embun.
Friskila Ningrum Yusuf
Mahasiswa Departemen Teknologi Pertanian angkatan 2019,
Bendahara Pk identitas Unhas
Discussion about this post