Di masa penjajahan Belanda, tepatnya 4 Desember 1928, lahir seorang bayi dari pasangan Andi Makkasau dan Madditi Daeng Niati. Anak ke empat dari delapan bersaudara itu awalnya diberi nama Andi Pasinringi, namun entah mengapa namanya diganti jadi Andi Abdul Muis.
Andi Abdul Muis lalu tumbuh dan besar di sebuah pulau yang banyak ditumbuhi pohon kelapa sesuai dengan namanya, Pulau Kalukuang di perairan Pangkep. Di pulau Kalukuang, Andi Abdul Muis memulai pendidikannya. Awalnya hanya belajar membaca huruf lontora dan mengaji. Lalu kira-kira di usia 7 tahun, Andi Abdul Muis masuk ke Sekolah Rakyat. Namun di sana ia hanya sampai kelas 3.
Andi Muis berhenti karena harus ikut keluarganya yang memutuskan untuk pindah ke Makassar. Di Makassar, Andi Muis kembali melanjutkan pendidikannya. Berkat darah bangsawan ayahnya, Andi Muis diterima di Vervolg School, lalu pindah ke sekolah yang lebih berciri Belanda: Standaard School, Vervolg School Met Nederland. Selain itu, Andi Muis juga menimba ilmu di sekolah agama yang biasa disebut sekolah Arab di sekitar kampung Wajo kala itu.
Namun lagi-lagi, pendidikan Andi Muis harus tertunda. Baru 3 tahun Andi Muis bersekolah di Makassar, perang dunia II pecah. Demi menghindari bahaya, keluarga Andi Muis memutuskan untuk menepi ke Bone.
Di Bone, Andi Muis melanjutkan pendidikan dasarnya dan lulus pada tahun 1941. Setelah sempat magang di kantor distrik Palakka dan Watu Pallime, Andi Muis kembali melanjutkan pendidikannya di Makassar.
Saat itu, Jepang sudah mulai menguasai Indonesia. Andi Muis sempat bersekolah di sekolah Jepang Cugakko lalu berhenti untuk masuk ke sekolah pelayaran Jepang tahun 1943. Namun sekolah pelayaran Jepang tampaknya tidak memberi pendidikan formal seperti yang diinginkannya, hanya latihan baris berbaris, olahraga dan latihan alarm serta apel pagi siang dan malam dihadapan bendera Jepang, hinomaru. Andi Muis pun menyusun siasat kabur. Mulai dari membuat surat hingga kabur saat usai beribadah subuh. Saat itu Andi Muis bersekolah di Pare-pare dan kabur menuju Rappang.
“Itu adalah peristiwa yang sangat menegangkan dan mendebarkan. Kalau kami ditemukan polisi AL Jepang saat itu, mungkin kami sudah tidak hidup lagi sampai sekarang,” ujar Andi Muis.
Selepas dari sekolah pelayaran Jepang, Andi Muis kembali ke Bone. Perang masih berkecamuk. Waktu luangnya ia isi dengan kegiatan membaca buku-buku dan surat kabar propaganda Jepang untuk anak-anak, Kodomo Shimbun. Tak ingin menganggur dalam waktu yang lama, Andi Muis ke Makassar lagi, dan bekerja di sebuah kantor yang mengurus romusha (pekerja paksa). Ia bekerja di sana, hingga Jepang kalah dalam perang.
Setelah Jepang kalah dan Indonesia merdeka, Andi Muis kemudian melanjutkan pendidikannya di MILO di dekat Koningkelijk Plein (saat ini lapangan Hasanuddin). Namun karena bahasa Belandanya kurang bagus ia pun dicurigai sebagai anti Nica, anti Belanda.
Akhirnya Andi Muis pindah ke Sekolah Menengah Umum 4 tahun. Di sekolah ini, Andi Muis bertemu dengan Ahmad Amiruddin (saat itu bernama Ahmad Pabittei), Fachrudin, Mustamin Daeng Matutu dan M Parawansa.
Tahun 1949, Andi Muis lulus dengan kategori A. Masa itu, hanya kategori A yang dapat melanjutkan ke sekolah Voorbreidend Hogore Onderwijs (VHO), sebuah sekolah persiapan untuk ke perguruan tinggi. Pada tahun 1952, Andi Muis berhasil menyelesaikan pendidikannya di VHO yang mengambil jurusan ilmu sosial.
Ia lalu melanjutkan studi di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia. Di tengah menjalani perkuliahan, kondisi keuangannya kurang baik. Ia pun harus berhenti kuliah dan kembali ke Makassar.
Di kota daeng ini, Andi Muis bergabung dengan komunitas Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Selain itu, pada tahun 1956, ia dipercayakan menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Harian Tindjauan yang kemudian berubah menjadi harian Bara. Saat itu, ia aktif menulis kritikan soal kebijakan pemerintah. Bahkan, akibat tulisannya, ia sempat dikurung di Rumah Tahanan Militer Makassar selama setahun.
Setelah keluar tahanan, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum bagian Pengetahuan Masyarakat dan Hukum Unhas. Ia lulus pada tahun 1965. Suami dari Yohana ini lalu bergabung sebagai salah satu dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas. Di kampus ini jugalah, ia meraih gelar doktor hingga jabatan guru besar.
Prof Andi Muis meninggal di Rumah Sakit Umum Dr Wahidin Sudirohusodo, Sabtu malam 6/8/2005, pukul 22.00 Wita. Prof Andi Muis meninggal akibat pembuluh darahnya yang terganggu.
Keesokan harinya, Minggu 7/8/2005, Prof Andi Muis dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Mandai Kabupaten Maros.
Musthain Asbar Hamsah
Discussion about this post