Pusat Disabilitas (Pusdis) Universitas Hasanuddin (Unhas) merayakan ulang tahun keduanya di Arsjad Rasjid Lecture Theater, Kamis (26 Juni).
Kegiatan ini menghadirkan seorang guru sekaligus pegiat hak-hak disabilitas di bidang bahasa isyarat dan komunitas Teman Tuli, Filemon Aloysius Limba AMd Par sebagai salah satu pemateri. Pemuda yang akrab disapa Emon ini membuka materinya dengan pertanyaan, “Apakah semua aksesibilitas itu sama untuk setiap penyandang disabilitas?”
Emon menjelaskan bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki kebutuhan yang berbeda. Penyandang disabilitas Tuli, misalnya, membutuhkan visual dan tulisan yang jelas. Sementara itu, penyandang disabilitas fisik membutuhkan akses berupa bidang miring untuk memudahkan penggunaan kursi roda.
“Begitu pun dengan disabilitas yang lain, kebutuhannya berbeda-beda,” terangnya.
Menurut Emon, masih banyak orang yang menganggap istilah “tuna” dan “disabilitas” serupa, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda.
“‘Tuna’ itu artinya rusak. Misalnya, ‘tuna netra’ berarti yang rusak adalah matanya, dan ‘tuna rungu’ berarti telinganya yang rusak. Sementara ‘disabilitas’ menunjukkan identitas seseorang. Contohnya, istilah ‘orang Tuli’ atau ‘orang netra’ lebih terbuka dan dapat diterima oleh masyarakat umum,” tuturnya.
Pemandu wisata tersebut juga menekankan pentingnya aksesibilitas bagi Teman Tuli di destinasi wisata guna menciptakan pariwisata yang inklusif. Menurutnya, diperlukan pemandu yang menguasai bahasa isyarat serta penyediaan informasi visual yang jelas dan mudah dipahami.
“Misalnya saya ingin ke Pangkep dari Kota Makassar, akan lebih mudah jika ada papan informasi yang jelas,” tegas Emon.
Pemateri Teman Tuli itu menutup penyampaiannya dengan menegaskan bahwa disabilitas merupakan hal yang normal. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak menganggap penggunaan bahasa isyarat oleh Teman Tuli sebagai sesuatu yang tidak normal.
“Yang tidak normal itu ketika teman tuli tidur dan di saat bersamaan juga terbang,” tutupnya.
Syahrial
