Rektor Unhas, Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu MA, yang juga merupakan Guru Besar Sosiologi Unhas, kembali membuat karya berupa buku berjudul: “Damai di Bumi Sawerigading”. Buku setebal 243 halaman ini merupakan hasil penelitian penulis terhadap konflik komunal yang terjadi di Luwu pada rentang waktu 1998 – 2000.
Buku tersebut merupakan hasil disertasi Prof Dwia ketika menempuh pendidikan doktoral. Usai merampungkan disertasi, Prof Dwia yang kemudian fokus membahas fenomena konflik sosial dan perdamaian ini terus mengembangkan kajian teoritis dan fenomena aktual yang terjadi di masyarakat.
“Saya sebenarnya sudah melupakan untuk menerbitkan buku ini, apalagi realitas yang terjadi di tanah Luwu sudah jauh berbeda, termasuk telah terjadi pemekaran wilayah. Namun kolega saya, Pak Hasrullah, terus mendorong untuk menerbitkan. Saya berubah pikiran setelah menemukan kata-kata inspiratif dari suatu blog tentang perlunya ilmu itu diwariskan,” kata Prof Dwia.
Prof Dwia mengaku, kata-kata inspirasi yang dimaksud adalah ungkapan dari Imam Abdul Jauzi. Beliau mengatakan “Orang miskin yang paling miskin adalah orang yang menghabiskan umurnya untuk mencari ilmu yang tidak ia amalkan, sehingga ia kehilangan kelezatan dunia dan kebaikan akhirat”.
Secara garis besar, buku ini mengulas tentang konflik komunal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia paska Krisis Ekonomi 1998, dengan fokus kajian pada konflik di Tanah Luwu. Ketika itu, akibat tekanan ekonomi menyusul situasi perekonomian global yang menghantam Indonesia, konflik komunal merebak di berbagai daerah.
“Damai adalah suatu upaya dan proses, bukan semata suatu hasil. Situasi damai tidak hadir begitu saja, demikian pula konflik sosial atau konflik komunal. Di balik fenomena situasi damai dan konflik komunal, ada banyak kisah,” kata Prof Dwia dalam rilis yang diterima.
Buku ini secara khusus menjelaskan konflik yang terjadi di Tanah Luwu pada rentang waktu Agustus 1998 hingga Agustus 2000. Dalam catatan Prof Dwia, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi eskalasi konflik ketika itu, baik itu faktor ekonomi, politik, maupun sosial budaya.
“Pada akhirnya, saya melihat bahwa konflik ketika itu menjadi tidak realistis lagi. Pada saat yang sama terjadi situasi memudarnya peranan pemimpin informal. Padahal, dalam pendekatan manajemen konflik berbasis kearifan lokal, peran tokoh dan pemimpin informal ini sangat kuat,” tulis Prof Dwia.
Dengan memaparkan data yang ada, Prof Dwia menguraikan struktur konflik dan skenario perdamaian yang terbangun. Analisis yang dipaparkan dalam buku ini, memberi banyak inspirasi konseptual untuk kajian masa kini dan mendatang. Sebagai hasil penelitian, buku “Damai di Bumi Sawerigading” dapat menjadi referensi historis, terutama dalam rangka membangun masa depan bersama.
Wandi Janwar
Discussion about this post