“Ada kalanya kita perlu bersabar dan menunggu lebih lama agar dapat merasakan arti dari sebuah perjalanan.”
Saat itu, matahari tepat berada di atas kepala dan kendaraan berlalu lalang memenuhi jalan poros Perintis Kemerdekaan.
Saya baru saja meninggalkan tempat kerja dari arah Pettarani bersama sedan kuning saya. Kami melaju dalam kecepatan rata-rata 20 sampai 40 km/jam, ditemani suara bising mesin dan knalpot yang bersahut-sahutan.
Tiba – tiba, mobil di belakang saya membunyikan klakson dan melesat dengan kecepatan kencang di jalur kanan. Melihat hal itu, saya langsung menyalakan lampu sein kiri lalu berpindah ke jalur tengah. Saya tidak ingin terburu-buru. Mobil tersebut melanjutkan perjalanannya dan menghilang seketika saking kencangnya. Beberapa kali saya harus memelankan sedan karena ada kendaraan yang keluar dari lorong atau mampir ke pinggir jalan.
Semuanya masih baik-baik saja, sampai saya menyadari mobil hitam di depan saya tidak bergerak. Akhirnya, saya menginjak pedal rem agak kuat supaya menghindari benturan.
Tidak sampai disitu, karena seorang pengendara motor mengerem mendadak hingga hampir saja menyundul pantat si mobil hitam. Untungnya, saya tidak sampai menabrak motor yang entah dari mana munculnya itu.
Bagaimana kalau saya tidak menjaga jarak sebelumnya, mungkin saja tabrakan beruntun bisa saja terjadi. Entah karena lampu rem mobil hitam tidak menyala atau terhalau dengan sinar matahari. Hal ini mengingatkan saya, betapa malasnya pengemudi menyalakan lampu hazard untuk sekedar memberitahu pengendara lain bila ada sesuatu yang mengharuskan berhenti, orang yang menyeberang jalan misalnya.
Saya tidak pernah tahu apa alasannya. Namun, sedetik setelah mobil saya berhenti lalu.. TAPPP!! Salah seorang pemotor menabrak bumper belakang mobil. Apakah karena ia tidak menjaga jarak atau kecepatannya yang terlalu tinggi. Tapi ya sudah lah.. nasib.
Apakah kamu salah satu orang yang menggunakan kendaraanmu untuk beraktivitas sehari-hari?
Entah beroda dua atau empat, kita mengendarainya untuk pergi bekerja, kuliah, maupun aktivitas lainnya. Saat berkendara pun kita melalui beragam medan untuk sampai ke tempat tujuan. Ada yang langganan macet, beraspal rusak, beruas jalan sempit, sampai jalanan aman tentram. Tetapi tidak ada yang lebih menyebalkan daripada pengendara yang membahayakan pengendara lainnya.
Saat berada di balik kemudi kendaraan, kita tidak bisa mengontrol apa yang terjadi di jalanan. Satu-satunya yang bisa dikontrol adalah kendaraan kita sendiri agar tidak membahayakan orang lain.
Untuk mengurangi resiko bahaya, setiap kendaraan telah dilengkapi dengan fitur keselamatan berkendara, seperti lampu sein, lampu hazard, dan klakson. Banyak kecelakaan dapat dihindari jika menggunakan fitur tersebut dengan baik dan benar. Tetapi kenyataannya seringkali ditemukan bahwa fitur-fitur kendaraan dihiraukan oleh pengendara. Akibatnya, bahaya di jalan tidak dapat dihindari.
Berkendara di jalan berarti memutuskan sesuatu dengan sigap. Apakah mobil di depan saya yang tiba-tiba melambat karena ingin mampir ke toko di pinggir jalan? Lalu pengendara motor yang sedikit menoleh ke samping berarti ia mau menyebrangi separuh jalan?
Semua itu adalah tentang mengambil keputusan. Keputusan yang salah tentu akan memberikan ruang bagi bahaya dapat terjadi. Kita sebagai pengendara, meski telah berhati-hati, tidak akan selalu bisa menangkap dan memahami tanda-tanda itu.
Itulah kegunaan fitur-fitur tadi. Fitur tersebut adalah cara kita berkomunikasi saat berkendara. Kita tidak bisa berkomunikasi seperti biasa dengan bahasa sehari-hari. Sehingga, dengan menyalakan lampu sein kiri berarti hendak belok kiri atau menyalakan lampu hazard berarti ada potensi bahaya sehingga memelankan kendaraan. Sesederhana itu sebenarnya cara berkendara. Kesadaran pengendara terhadap kendaraan dan lingkungan sekitarnya menjadi faktor utama keselamatan.
Terdapat pula faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya potensi kecelakaan di jalanan, yakni kurangnya etika dalam berkendara. Sama seperti etika berkehidupan sehari-hari, saat kita bersapa dengan orang yang lebih tua kita memberikan rasa hormat kepada mereka sambil berbicara dengan bahasa yang sopan, dalam berkendara juga terdapat etika. Misalnya, ketika sedang macet, daripada mengantre, sejumlah oknum pengendara menggunakan bahu jalan bahkan melawan arah supaya terhindar macet atau karena menganggap mobilnya lebih mahal dan lebih besar, dia merasa lebih berhak mengambil jalan duluan.
Tidak ada yang menginginkan kecelakaan terjadi. Dalam kecelakaan, baik pelaku atau korban, sama-sama rugi.
Setelah membaca ini, saya berharap pembaca bisa menyadari bahwa terlepas dari perilaku pengendara lain yang tidak patut ditiru, kita tetaplah menjadi pengendara yang mengutamakan keselamatan dan dewasa dalam berkendara.
Penulis, Muh. Yasril Aldilah Sudarmono
Mahasiswa Sastra Indonesia Unhas angkatan 2020,
Sekaligus Fotografer PK identitas Unhas
Discussion about this post