Pada sebuah pertemuan profesor ahli antariksa dari Amerika, Rusia dan Indonesia di kantin gedung NASA, ketiga pakar luar angkasa itupun membanggakan kehebatan teknologi negara masing-masing.
“Pesawat antariksa dari Rusia yang paling canggih,” kata profesor Baco Gorbachev dari Rusia, “Sebentar lagi kami akan meluncurkan pesawat ulang alik berkapasitas sepuluh astronaut.”
“Itu belum seberapa…,” tukas Prof George Gemmezdech dari Amerika, “Saat ini NASA sedang mengembangkan pesawat luar angkasa yang mampu membawa 15 astronaut ke bulan.”
“Baru bisa ngangkut orang segitu aja sombong…” sahut Profesor Mukidi dengan senyum mengejek. “Di Indonesia, pesawat antariksa bisa ditumpangi 50 astronaut sekaligus.”
“What?, Impossible…” tanya profesor Rusia dan Amerika kaget. “Bagaimana caranya?” “Gampang,” jawab Profesor Mukidi, lalu menjelaskan. “Kami tinggal teriak begini pada para astronaut: Ayo duduknya rapat, yang kecil dipangku, yang tak kebagian tempat duduk, silahkan berdiri. Tolong itu agak geser dikit ya. Oke bagus… Ati-ati copet … Tareeeek….!!”
Anekdot tersebut di atas hanya sebuah ilustrasi belaka yang tidak ada keterkaitan dengan materi artikel ini dan tentang profesor yang pekan terakhir ini sedang ramai dibicarakan di berbagai media. Ada profesor yang diancam pemutusan tunjangan kehormatan karena tidak ada publikasi ilmiah internasionalnya, ada profesor ingin jadi gubernur, ada gubernur ingin jadi profesor dan pernah juga ada raja dangdut bergelar profesor.
Profesor pada sebuah Perguruan Tinggi merupakan motor penggerak transformasi dan pengembangan IPTEKS (Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni) dan mencerminkan salah satu tingkat kemajuan dan wibawa perguruan tinggi. Karya ilmiah berupa jurnal internasional merupakan salah satu indikator pelaksanaan peran tersebut. Berdasarkan data Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti, total profesor di Indonesia mencapai 5.463 orang, namun lolos publikasi ilmiah sesuai Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 hanya 1.551 orang. Kemristekdikti mengungkapkan lebih dari 60% jurnal internasional yang mengambil lokasi riset di Indonesia ditulis peneliti asing, bahkan lebih merisaukan bahwa hanya sekitar 10% jurnal internasional tentang Indonesia yang ditulis peneliti lokal. Dengan alasan tersebutlah pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberhentian tunjangan kehormatan bagi profesor yang tidak aktif melakukan publikasi di jurnal internasional dengan tenggang waktu hingga November 2019.
Profesor adalah jabatan fungsional, bukan gelar akademis dan merupakan jabatan akademik tertinggi dalam dunia pendidikan tinggi khususnya bagi akademisi. Seorang dosen agar segera dapat mencapai puncak karier tertinggi yakni profesor dituntut untuk produktif dan bisa melakukan penelitian ilmiah berkuailtas, sekaligus terampil dalam menulis. Jabatan akademik profesor tentu bukanlah perkara mudah, sehingga jabatan profesor tidaklah cukup hanya karena berhasil dalam suatu jabatan birokrasi melainkan memiliki dedikasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan.
Jabatan profesor dicapai setelah dosen melalui tahap pencapaian angka kredit secara berjenjang dari jabatan fungsional akademik Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala dan Profesor/guru besar (nilai kum minimal 850). Dari Lektor Kepala ke profesor melalui beberapa syarat, yakni, memiliki pengalaman kerja sebagai dosen tetap paling singkat 10 tahun; berpendidikan S3; paling singkat 3 tahun setelah memperoleh ijazah doktor (S3); paling singkat 2 tahun menduduki jabatan Lektor Kepala; telah memenuhi angka kredit; memiliki karya ilmiah yang dipulikasikan dalam jurnal ilmiah internasional bereputasi sebagai penulis pertama; dan memiliki kinerja, integritas, etika tata krama, serta tanggung jawab.
Penyebutan profesor sebagai gelar memang dimungkinkan untuk profesor kehormatan (honorary professor-HP). Beberapa perguruan tinggi di luar negeri memberi gelar HP pada orang-orang terkenal seperti artis, atlet, dan orang-orang yang punya pencapaian istimewa lainnya, meskipun untuk mendapat gelar tersebut mereka tidak melakukan pekerjaan akademik di universitas yang memberikannya.
Pada Permendikbud Nomor 40 tahun 2012 menyebut bahwa menteri dapat menetapkan seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa untuk diangkat sebagai Profesor Tidak Tetap pada perguruan tinggi berdasarkan pertimbangan Dirjendikti. Profesor tidak tetap tersebut berstatus dosen tidak tetap, tidak dituntut untuk kerja penuh waktu, tidak ada beban kerja dosen, tidak ada tunjangan dan tidak ada batas pensiunnya. Dengan demikian menjadi kewajiban bagi perguruan tinggi pengusul untuk memanfaatkan guru besar tidak tetap itu sehingga dapat mengembangkan kebiasaan yang tidak terstruktur (tacit knowledge) menjadi pengetahuan yang terstruktur (explicit knowledge).
Andi Iqbal Burhanuddin
Penulis merupakan Anggota Dewan Guru Besar Unhas
Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan